Bekerjalah dengan Cinta! Review Buku: Sang Nabi, bagian “Seorang Peladang Datang Bertanya”
Oleh: Arizul Suwar
Pada bagian “Seorang Peladang Datang Bertanya” (hlm. 29-34), menceritakan seseorang datang dan meminta penjelasan tentang pekerjaan. Sang Guru—yang tidak lain adalah Kahlil Gibran itu sendiri—memberikan penjelasan tentang pekerjaan. Dalam review ini akan ditampilkan beberapa cuplikan jawaban tentang makna kerja. Mula-mula, Gibran memberikan “gambar besar” tentang perjalanan hidup manusia;
Namun, aku berkata bahwa hidup memang kegelapan, kecuali: jika ada dorongan. Dan semua dorongan buta belaka, kecuali: jika ada pengetahuan. Dan segala pengetahuan adalah hampa, kecuali: jika ada pekerjaan. Dan segenap pekerjaan adalah sia-sia, kecuali: jika ada kecintaan. (hlm. 31)
Melalui bait-bait di atas, Gibran menegaskan, bahwa hidup tidak akan bermakna tanpa ada harapan dan semangat dalam diri seseorang. Keduanya juga tidak akan terarah tanpa adanya pengetahuan. Namun, pengetahuan semata juga hampa, tanpa usaha dan perjuangan sungguh-sungguh yang terejawantah dalam tindakan dan pekerjaan nyata. Tidak sebatas itu, pekerjaan juga tidak dapat dinikmati jika tidak ada cinta di dalammya.
Jikalau kau bekerja dengan rasa cinta, Engkau menyatukan dirimu dengan dirimu. Kau satukan diri dengan orang lain, dan sebaliknya, serta kau dekatkan dirimu kepada Tuhan. Dan apakah itu, bekerja dengan rasa cinta? Laksana menenun kain dengan benang yang ditarik dari jantungmu. Seolah-olah kekasihmulah yang akan mengenakan kain itu. (hlm. 31)
Cinta memiliki energi untuk menyatukan dan mengutuhkan. Dengan
cinta, seseorang tidak akan terserak dan terperosok ke dalam keterasingan
dengan diri dan ke-dunia-annya. Dengan cinta, kemanusiaan dan ketuhanan
direngkuh dalam satu pelukan yang sama. Dan, “apakah itu bekerja dengan rasa
cinta?” jawaban yang sangat indah diberikan oleh Gibran, yaitu “laksana
menenun kain dengan benang yang ditarik dari jantungmu.” Bekerja dengan
cinta berarti memberikan yang terbaik. Pemberian yang berasal dari sumber
kehidupan itu sendiri. Jantung adalah simbol kehidupan, nafas manusia adalah
bukti kerja jantungnya. Karya yang terbaik adalah karya yang berasal dari denyut
nadi kehidupan. Karya yang terbaik laksana suatu persembahan bagi kekasih.
Bagai membangun rumah dengan penuh kasih sayang, seolah-olah kekasihmulah yang akan mendiaminya di masa depan. Seperti menyebar benih dengan kemesraan, dan memungut panen dengan kegirangan, seolah-olah kekasihmulah yang akan makan buahnya kemudian. Patrikan corakmu pada semua benda, dengan napas dari semangat pribadimu. Ketahuilah bahwa semua roh suci sedang berdiri mengelilingimu, memperhatikan dan mengawasi, serta memberi restu. (hlm. 32)
Bekerja dengan Cinta
Pada bait-bait selanjutnya, Gibran memberikan ilustrasi
dari wujud kerja dengan cinta. Apa pun yang kita lakukan, membangun rumah,
menebar benih, memasak, dan lain sebagainya, kerjakan seolah-olah hasil dari
itu semua adalah kekasih kita yang menikmatinya. Sehingga kita benar-benar memberikan
yang terbaik, tidak sebatas menggugurkan kewajiban, atau hanya sebatas kegiatan
transaksi kering nan gersang. Sesuatu menjadi bermakna dan bernilai ketika
ianya adalah hasil jerih payah, keringat, dan bahkan air mata yang kita
curahkan. Bisa saja sesuatu dinilai oleh orang lain sebagai sesuatu yang berharga,
namun ketika sesuatu itu adalah hasil dari kecurangan—dalam arti
seluas-luasnya— maka ia sama sekali tidak bermakna.
Kerja adalah cinta yang mengejawantah. Dan jika kau tiada sanggup bekerja dengan cinta, hanya dengan enggan, maka lebih baiklah jika engkau meninggalkannya, lalu mengambil tempat di depan gapura candi, meminta sedekah dari mereka yang bekerja dengan sukacita. Sebab bila kau memasak roti dengan rasa tertekan, maka pahitlah jadinya dan separo mengenyangkan. (hlm. 33-34)
Kerja yang dilakukan dengan sepenuh hati adalah pengejawahtahan cinta. semangat Gibran adalah profesionalitas. Dan jika engkau tidak mampu seperti itu, maka Gibran menyarankan “lebih baik jika engkau meninggalkan (pekerjaan) itu.” Daripada engkau melakukan suatu pekerjaan, namun terhadapnya engkau enggan dan bahkan menderita, ada baiknya engkau “meminta sedekah dari mereka yang bekerja dengan sukacita.” Gibran ingin menegaskan bahwa, dalam hal ini, carilah sesuatu yang engkau dapat menikmatinya. Namun, yang tidak boleh dilupakan ialah, sesuatu itu dapat kita nikmati atau tidak, sangat berkaitan dengan cara kita memaknainya. Lihatlah ke dalam diri masing-masing, jika sifat suka menuntut masih banyak, berarti bukan pekerjaan atau semacamnya yang bermasalah, melainkan diri sendiri yang harus diperbaiki. Sifat cinta adalah memberi dan bukan menuntut. Semakin seseorang banyak menuntut, maka semakin jauh pula dia dari cinta.
Bilamana kau menggerutu ketika memeras anggur, gerutu itu meracuni air anggur. Dan walau kau menyanyi dengan suara bidadari, namun hatimu tiada menyukainya, maka tertutuplah telingan manusia dari segala bunyi-bunyian siang dan suara malam hari. (hlm. 34)
Bait-bait di atas menggambarkan alasan mengapa Gibran menasehati agar seseorang meninggalkan pekerjaan yang dilakukan dengan setengah hati, enggan, dan formalitas semata, hal itu dikarenakan tindakan yang demikian akan merusak citra dan makna dari pekerjaan tersebut, sebagaimana “gerutu meracuni air anggur.” Ketika seseorang tidak profesional terhadap pekerjaannya, maka yang menjadi korban bukan orang itu saja melainkan citra pekerjaan dan bahkan orang lain yang memiliki hubungan dengan pekerjaan tersebut. Suatu pekerjaan atau profesi akan dinilai rendah bahkan buruk, bukan karena pekerjaan itu sendiri melainkan karena orang-orang yang berada di dalamnya tidak profesional. []
* Kahlil Gibran, Sang Nabi, terj. Sri Kusdyantinah. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia, 2016.