Mereka Bilang "Menerima Itu Mudah" Bagaimana dengan Menerima Kekurangan?
Oleh: Arizul Suwar
Yang memberi hanyalah yang memiliki. Begitulah bunyi hukum eksistensi. Tak ada yang bisa memberi "sesuatu" jika dia tidak memiliki "sesuatu". Pernyataan sebelumnya seolah-olah menunjukkan bahwa memberi lebih superior daripada menerima, karena kebanyakan kita seringkali memperlawankan istilah memberi dengan menerima. Memberi dianggap aktif sedangkan menerima dianggap pasif.
Konsekuensi dari cara pandang demikian membuat sikap penerimaan dipandang remeh dan enteng. "halah, hanya menerima saja, apa susahnya" begitulah kira-kira ilustrasi kalimat yang seringkali dilontarkan. Namun, mari kita coba bertanya lebih jauh, benarkan menerima se-enteng dan semudah itu? Benarkah menerima sepasif itu? Okelah jika yang kita terima itu sesuai dengan keinginan dan harapan kita, bagaimana jika kita harus menerima sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan, tidak sesuai dengan harapan, masihkan menerima dianggap mudah?
Menerima tidak selamanya mudah. Kehilangan orang terkasih, kesalahan dan penyesalan masa lalu, kecacatan atau aib diri semua itu bukanlah hal yang enteng untuk diterima. Hal-hal demikian membutuhkan energi ekstra dan tak jarang butuh waktu lama untuk mampu menerimanya. Dari sini, kita melakukan gugatan terhadap klaim yang menyatakan bahwa "yang namanya menerima itu semuanya mudah".
Setiap orang mampu menerima keuntungan, tapi tidak semuanya mampu menerima kerugian. Setiap orang mampu menerima kelebihan orang lain, tapi tidak semuanya mampu menerima aib dan kecacatan. Setiap orang mampu menerima kebaikan, tapi tidak semua mampu menerima keburukan. Setiap orang mampu menerima kemenangan, tapi tidak semua mampu menerima kekalahan. Jika seseorang mampu menerima kerugian, pasti dia akan mampu menerima keuntungan, namun tidak sebaliknya. Jika seseorang mampu menerima kekurangan dan kecacatan pasti dia mampu menerima kelebihan, namun tidak sebaliknya. Jika seseorang mampu menerima kekalahan pasti dia mampu menerima kemenangan, namun tidak sebaliknya, Tawuran, curang, tidak profesional adalah bukti dari ketidakmampuan seseorang untuk menerima sesuatu.
Kualitas seseorang dapat diukur dari kemampuannya untuk. menerima yang tidak menyenangkan, mampu menerima yang tidak sesuai keinginan. Dari sudut pandang ini, menerima tidak kalah superiornya ketimbang memberi. Menerima tidak lagi disifati sebagai pasif melainkan menjadi aktif.
Selain diperlawankan dengan memberi, menerima juga terkadang diperlawankan dengan menolak. Menerima tidak sama dengan berpangku tangan apalagi berputus asa. Kedua sikap yang disebut terakhir bukanlah bentuk penerimaan melainkan penolakan. Berpangku tangan merupakan penolakan terhadap kemampuan diri, dengan kata lain, menolak untuk berjuang. Putus asa merupakan bentuk penolakan terhadap kesempatan dan tempaan mental untuk lebih matang.
Menerima, tidak semudah itu kawan. Jika yang bisa memberi adalah yang memiliki maka yang bisa menerima juga adalah yang memiliki. Ketika memberi, seseorang butuh kepada sesuatu untuk diberi. Ketika menerima, seseorang butuh kepada sesuatu untuk menampung dan menahan. Penerimaan adalah ketahanan. Menerima, tidak semudah kata mereka. Dalam kehidupan, banyak kasus menunjukkan bahwa ketidakmampuan menerima lebih berdampak pada penderitaan seseorang ketimbang ketidakmampuan untuk memberi. Ketidakmampuan untuk menerima kekurangan atau aib diri misalnya, lebih menimbulkan penderitaan daripada ketidakmampuan untuk memberi kepada orang lain.
Memberi dan menerima pada dasarnya adalah pasangan. Keduanya tidak bisa diperlawankan atau dikotak- kotakkan secara ekstrim. Kemurnian pemberian hanya berasal dari diri yang mampu menerima, Diri yang tanpa pamrih dan tanpa harap kembali pada yang diberi. Jika pemberian tidak berasal dari diri yang mampu menerima maka pemberian itu tidak lebih dari sekedar transaksi dan pamrih. Demikian juga kemurnian menerima, hanya mampu dipraktikkan oleh diri yang mampu memberi secara murni. Orang tua, mereka adalah sosok yang mampu menerima bagaimanapun anak- anaknya.
Tidak peduli berbagai kekurangan dan kecacatan muncul pada anak-anaknya. Orang tua mampu menerima dengan murni, karena mereka telah berhasil memberi dengan murni pula. Memberi yang terbaik tanpa pamrih berharap kembali.
Menerima yang paling susah adalah menerima kekurangan dan aib diri. Mengapa demikian? Karena seseorang tidak akan pernah mampu menerima kekurangan orang lain sebelum dia mampu menerima kekurang dirinya sendiri. Orang-orang yang sudah mampu menerima kekurangan orang lain-pasti hukumnya dia tentu telah mampu menerima kekurang dirinya sendiri. Banyak orang yang mungkin kita kagumi, namun seketika setelah melihat kekurangan dia, kagum itu pun hilang. Sebabnya hanya satu, karena kita belum mampu menerima kekurangan. Kekurangan, bukanlah sesuatu yang mudah untuk diterima.
Namun, coba kita perhatikan dengan jeli di sekeliling kita, orang-orang yang telah mampu menerima kekurangan dirinya, telah mampu berdamai dengan dirinya, biasanya kekurangan pada orang tersebut entah bagaimana dapat ditransformasikan menjadi kelebihan. Tidak sulit mencari contoh seperti itu. Kecacatan pada fisik adalah kekurangan, jika dibandingkan dengan fisik kebanyakan orang yang sempurna. Namun, dengan kecacatan fisik itu, dia mampu menghasilkan banyak karya yang tidak mampu dibuat atau dihasilkan oleh orang-orang yang memiliki kesempurnaan pada fisiknya.
Menerima tidaklah mudah, apalagi menerima kekurangan. Hanya orang-orang yang punya ketahanan dan keikhlasan yang mampu mengatakan pada dirinya "aku terima diriku sendiri apa adanya!" dan pada akhirnya, "menerima tidak semudah kata mereka" []
Kelebihan dan kekurangan ada dalam satu paket untuk setiap individu.