Konsep Ilmu Pengetahuan: Dari Terminologi Dikotomi Ilmu Dunia dan Akhirat sampai Fardhu ‘Ain dan Kifayah
Dikotomi adalah pemisahan secara teliti dan jelas dari suatu jenis menjadi dua yang terpisah. Terminologi dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama sudah begitu populer di kalangan masyarakat. Biasanya, masyarakat menyebutkan dengan istilah ilmu dunia dan ilmu akhirat. Sebagaimana orang yang belajar Alquran, hadis, imu fiqh, ilmu tauhid, tasawwuf, tarikh, bahasa Arab, dan semacamnya disebut sedang mendalami ilmu akhirat. Sedangkan, orang yang belajar ilmu pertanian, ekonomi, biologi, fisika, kimia, cara membuat pesawat terbang, dan sejenisnya, disebut sedang mendalami ilmu dunia.
Secara tidak sadar, termionologi dikotomi ilmu telah membawa kepada mempertentangkan antar disiplin keilmuan dalam klasifikasi ilmu agama (wahyu) dan ilmu umum, yang menyebabkan krisis nilai, kesenjangan, dan kemunduran umat Islam.[1] Disamping itu, puncak kejayaan Islam dengan maraknya ilmu pengetahuan itu menandakan bahwa pada saat itu para filsuf dan ilmuwan muslim juga tidak pernah beranggapan bahwa terdapat superioritas pada sebuah ilmu pengetahuan dan inferioritas pada ilmu pengetahuan yang lain, sebagaimana yang telah disalah pahami oleh kebanyakan masyarakat Islam dalam berilmu pengetahuan.
Bahkan menurut hemat penulis sendiri, ilmu astronomi yang acapkali dianggap sebagai ilmu dunia begitu sering dibahas secara mendalam pada kajian kitab-kitab tafsir. Seperti kejadian penciptaan langit yang diciptakan dengan kekuasaan-Nya kemudian diperluas secaa terus-menerus sesuai dengan keterangan pada surah Adz-Dzariyat ayat 47. "Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya." Fakta ini dibuktikan oleh Hubble, seorang astronom asal Amerika. Dia mengumpulkan dan menginterpretasikan data hasil observasi dengan menggunakan teleskopnya. Hubble menemukan bahwa bintang dan galaksi bergerak saling menjauh satu sama lain dengan menginterpretasikan spektrum galaksi yang bergeser ke arah warna merah (redshift). Redshift yang terjadi disebabkan oleh pergeseran Doppler dengan kecepatan radialnya menjauhi kita. Penyataan ini disimpulkan dengan hukum Hubble.
Hal ini mempertegas bahwa dalam Alquran sendiri tidak mengenal istilah dikotomi antara ilmu pengetahuan umum dan agama sebagaimana yang disalahpahami oleh masyarakat umum dewasa ini. Perlu diketahui bahwa dalam prespektif epistemologis, Islam juga tidak mengenal adanya dikotomi ilmu pengetahuan. Tentunya ajaran agama Islam adalah bersifat universal yaitu mencakup semua aspek kehidupan dan berfungsi sebagai rahmatan lil-‘alamin. Pengembangan ilmu pengetahuan melalui ayat-ayat kauniyah memerlukan pemahaman yang komprehensif dalam ilmu-ilmu keislaman sebagai fondasinya. Sehingga kemajuan ilmu-ilmu rasional tidaklah bertentangan dengan agama bahkan justru mendapatkan landasan kuatnya dari agama.[2]
Demi kemajuan ilmu pengetahuan, umat Islam seharusnya banyak mempelajari ilmu pengetahuan yang dikemukakan Alquran. Namun dalam hal ini tidak mungkin rasanya semua ilmu harus digeluti bersebab kapasitas manusia untuk memproses informasi juga memiliki batasan, sehingga tidak mungkin untuk mempelajari semua bidang ilmu pengetahuan dalam waktu yang terbatas. Selain itu, pengetahuan terus berkembang dengan cepat dan masing-masing bidang memiliki tingkat kompleksitas yang berbeda-beda. Oleh karena itu, setiap umat muslim dirasa perlu memahami lebih dalam terkait konsep ilmu pengetahuan untuk menjadi umat muslim pembelajar yang baik.
Jika penulis melihat kepada berbagai fenomena dan realitas yang terjadi dalam masyarakat dewasa ini mereka masih belum sepenuhnya memahami konsep ilmu pengetahuan. Dampaknya seakan mereka masih sedikit meraba raba untuk mengenali apa saja ilmu yang seharusnya dipelajari dan prioritaskan terlebih dahulu. Dalam hal ini, Imam al-Ghazali sebagai salah satu tokoh terkemuka dan banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia melalui pemikirannya telah menawarkan konsep klasifikasi ilmu pengetahuan agar memudahkan setiap umat Islam untuk mempelajari ilmu pengetahuan dengan keterbatasan akses terhadap keseluruhan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Klasifikasi tersebut diklasifikasikan oleh Imam al-Ghazali agar memudahkan umat muslim dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang menjadi dasar segala kebahagiaan di dunia sekarang maupun di dunia yang akan datang (akhirat). Konsep Imam al-Ghazali tawarkan dari jauh-jauh hari sebelumnya merupakan penawaran atas solusi menghadapi fenomena yang tersebut diatas tadi.
Klasifikasi ilmu oleh al-Ghazali berdasarkan kewajiban individu dan kemaslahatan umat Islam dapat dibagi kepada dua yaitu ilmu fardhu ain dan ilmu fardhu kifayah. Ilmu fardhu ain adalah ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap Muslim untuk menjalankan ibadah dengan benar. Contohnya seperti ilmu tentang tata cara shalat, puasa, zakat, haji, membersihkan najis, bersuci dan sebagainya.
Sedangkan, ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang jika sudah dipelajari oleh beberapa orang dalam sebuah komunitas, maka kewajiban untuk mempelajari dan mengamalkannya tidak lagi berlaku bagi seluruh anggota masyarakat tersebut. Contohnya seperti ilmu kedokteran, ilmu hukum, ilmu astronomi dan sebagainya. Klasifikasi ini adalah berdasarkan hadis tentang kewajiban menuntut ilmu yang dibebankan atas umat Islam yang telah masyhur dikalangan umat Islam yakni:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Mencari ilmu wajib bagi setiap orang Islam (muslim)
Pada akhirnya al-Ghazali menyimpulkan bahwa kewajiban mencari ilmu tidaklah terhadap setiap ilmu yang ada, melainkan lebih dikususkan pada ilmu amal. Dimana dalam hadis nabi kata “ilmu” dikhususkan dengan alif lam yang membatasi keumuman kata tersebut. Artinya, bukan ilmu dalam keseluruhannya, karena akal manusia tentunya memilki keterbatasan yang berbeda-beda antara setiap individu.
Disamping itu, fenomena masyarakat yang terlalu mengedepankan fardhu kifayah daripada fardhu ain juga dapat berdampak negatif pada pembangunan sosial dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini terjadi karena masyarakat terlalu fokus pada peningkatan kualitas kolektif atau sosial, tanpa memperhatikan pentingnya pembangunan individu dalam menjalankan ibadah secara benar bagi pribadi sendiri.
Contohnya, masyarakat yang terlalu mengedepankan fardhu kifayah dalam hal pendidikan, di mana individu lebih fokus pada pembangunan keahlian dan keterampilan yang dibutuhkan dalam dunia kerja, tanpa memperhatikan peningkatan pengetahuan agama dan moral yang diperlukan sebagai landasan dalam menjalankan ibadah sehari-hari. Selain itu, mereka yang terlalu fokus pada kegiatan sosial seperti membantu sesama, dan praktik-praktik agama yang sifatnya fardhu kifayah dikhawatirkan akan kurang memperhatikan hal-hal yang menyangkut keabsahan ibadah-ibadah yang menjadi kewajiban pribadi nya sendiri, seperti shalat, puasa, zakat dan sebagainya.
Oleh karena itu, dengan memahami konsep ilmu pengetahuan yang ditawarkan al-Ghazali dan meninggalkan stigma dikotomi antara ilmu dunia dengan ilmu akhirat dapat membangun masyarakat pembelajar yang lebih maju dan sejahtera. Dan terma ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama seharusnya lebih relevan dengan konsep klasifikasi yang ditawarkan al-Ghazali yaitu ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah. Sehingga tidak terkesan adanya superioritas dalam sebuah ilmu dan inferioritas dalam ilmu yang lain.
Dan harapan kedepannya setiap individu dapat menyeimbangkan keilmuan fardhu ain dengan fardhu kifayah kemajuan ilmu pengetahuan dan kebangkitan umat Islam.
[1] Samrin, Dikotomi Ilmu dan Dualisme Pendidikan, (jurnal al-ta’dib, Vol. 6, No. 1, 2013), hlm. 189-190.
[2] St. Noer Farida, Dikotomi Keilmuan dalam Islam abad pertengahan Telaah Pemikiran Al-Ghazali dan Al-Zarnuii, (Jurnal dinamika penelitian: Vol. 16,
No. 2, 2016), hlm. 384
👍👍👍