Pengaruh Negatif Individualisme
Oleh: Tuhfatul Athal*
Hadirnya teknologi dianggap sebagai dalang yang menyebabkan kebanyakan orang menjadi individualis, padahal tentu saja ini adalah salah satunya, tuduhan ini beralasan karena individualisme sendiri mulai populer bersamaan dengan renainssance. Individualisme memang membawa kemajuan terhadap peradaban Barat, namun tetap saja ada banyak pihak gencar mengkritik paham ini, karena selain membawa efek positif, efek negatif juga banyak yang ikut serta.
Indivualis dikenal memiliki sikap lebih mementingkan diri sendiri, tidak terlalu peduli terhadap penilaian orang lain, juga tidak suka mengusik masalah orang lain. Alhasil, seorang individualis merasa lebih percaya diri, bebas melakukan apa saja untuk kesenangan pribadi tanpa terganggu dengan opini orang lain, lebih fokus, dan tidak mudah terpengaruh, demikian sederet dampak positif indivualisme. Namun di sisi lain paham ini juga menurukan kemampuan bersosialisasi, penganutnya menjadi egois, tidak kolaboratif, serta berpotensi memudarkan solidaritas.
Walau individualime telah membawa peradaban Barat menuju puncak kejayaan, tetap saja paham ini kurang cocok untuk dianut bangsa Indonesia, selain berpotensi menghilangkan tradisi, juga tidak satu pun agama resmi yang diakui di Indonesia yakni Islam, Kristen, Katolik, Buddha, dan Konghucu yang akur dengan individualisme. Namun, kita hidup di zaman banjir informasi, bebas akses ke mana saja, kita bisa tahu pemikiran siapa pun selama pemikirannya diunggah oleh dirinya sendiri atau orang lain. Karenanya, individualisme mulai menjangkiti masyarakat kota-kota besar di Indonesia perlahan-lahan, sehingga masyarakat Indonesia berasumsi bahwa hidup di kota itu bebas karena masyarakat perkotaan tidak suka mengusik kehidupan orang lain.
Akar masalah inilah yang kemudian melahirkan tingginya angka kriminal di kota dibandingkan dengan di desa, pergaulan bebas, narkoba, begal, dan sebagainya. Penyebabnya, masyarakat yang cenderung individulis menganggap bahwa dirinya hanya bertanggung jawab untuk mendidik dan mengajar anak kandungnya, sedangkan jika ada anak tetangga yang melakukan hal-hal terlarang mereka tidak akan menegurnya karena merasa tidak bertanggungjawab atau merasa malas mencampuri urusan keluarga orang lain. Efeknya, anak-anak hanya merasa takut kepada orang tuanya saja di rumah, ketika di luar rumah ia luput dari pantauan orang tua dan bebas melakukan apa pun tanpa harus takut kepada siapapun karena tidak pernah ada yang menegur mereka selain orang tuanya. Tidak heran, sering dijumpai pemandangan anak-anak ngelem di gang-gang kecil, pasangan non-muhrim berduaan di gang gelap, perjudian di sudut kota, hingga anak gadis berpakaian suka-suka, warga sekitar memilih abai saja tanpa berinisiatif untuk menegur.
Demikianlah potret sosial yang sudah diambang kemerosotan, dimana masyarakat berasumsi bahwa yang bertugas menegakkan agama hanya tokoh agama saja, bukan tanggung jawab bersama. Padahal Islam telah mengatur tatanan sosial Islam dengan begitu indahnya, sebagaimana tercermin dalam sebuah hadis Baginda Rasulullah saw berikut:
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ, قَا لَ: سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ يَقُوْلُ: مَنْ رَأَى مِنْكُمْؤ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ, فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ, فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَ ذَلِكَ أَضْعَفُ الإِمَانِ. رَوَاهُ مُسْلِمْ.
Dari Sa’id Al-Khudri raḍiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Siapa saja dari kalian yang melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, no. 49)
Mencegah atau memperbaiki kemungkaran adalah kewajiban umat Islam besama, cara-caranya telah Rasulullah paparkan dalam hadis di atas. Berdasarkan hadis dari Matan Arba’in ke-34 tersebut Rasulullah menjelaskan bahwa cara yang dianjurkan untuk mengubah kemungkaran adalah dengan tangan, ulama mengatakan bahwa maksud mengubah kemungkaran dengan tangan adalah mengubah kemungkaran dengan memanfaatkan kekuasaan bagi orang-orang yang memiliki wewenang, seperti membuat kebijakan-kebijakan tertentu, penggalan teks tersebut juga dapat bermakna melawan kejahatan dengan tenaga apabila memili fisik yang kuat. Jika tidak sanggup berbuat demikian, maka ubahlah kemungkaran dengan lisan, berupa teguran atau dakwah di mimbar-mimbar. Jika cara kedua juga tidak disanggupi, maka cukup membenci dan mengingkari perbuatan tersebut.
Dalam konteks permasalahan yang dibahas di muka, yaitu merajalelanya kemaksiatan generasi muda yang haus akan pengajaran, mereka sangat butuh kepada teguran, karena teguran demi teguran akan membekas di jiwa mereka bahwa perbuatan yang sedang dilakukannya itu salah. Mereka yang sedang ngelem butuh hal sesimpel teguran “Pulang! Pulang! Saya lapor sama orang tua kalian satu-satu ya!” di kala orang tuanya sibuk bekerja, remaja yang sedang berdua-duaan di gang gelap yang bahkan orang tuanya tidak tahu butuh kepada teguran warga, hal inilah yang kemudian hari memupuk rasa malu mereka jika setiap kali menerima tegura demi teguran.
Hal sesimpel teguran warga terhadap anak-anak yang mulai menunjukkan maksiat sangat memberi dampak. Jika warga berlepas tangan terhadap hal sesimpel teguran, maka anak-anak hanya takut untuk bermaksiat di dalam rumah, begitu keluar dari rumah mereka merasakan sangat bebas. Untuk menegur anak-anak tidak perlu menyampaikan materi bak dakwah di atas mimbar, meraka hanya perlu teguran yang mengekspresikan bahwa perbuatan itu salah. Maka marilah sama-sama warga muslim bangkit untuk membentuk generasi muda Islam yang salih, karena jika sedari kecil sudah meresahkan maka ketika dewasa mereka akan benar-benar keras, susah ditegur, dikhawatirkan akan berkhinat kepada agama dan negara, bahkan menjadi dalang kejahatan. Na’uzubillah.
* Mahasiswa Manajemen Pendidikan Agama Islam, IAIN Lhokseumawe