Penindasan dan Pembebasan
Oleh: Arizul Suwar*
F. Danuwinata, dalam prawacana pada buku Pendidikan Kaum Tertindas karya Paulo Freire yang diterbitkan oleh Pustaka LP3ES menulis;
Kaum tertindaslah yang mampu memahami makna penindasan yang mengerikan, karena merekalah yang menanggung dan mengalami beban penindasan. Merekalah yang bisa lebih memahami keharusan pembebasan. Perjuangan pembebasan itu akan merupakan suatu tindakan cinta kasih melawan kebencian dan kemurahan hati palsu yang mewarnai kehidupan kaum penindas. Usaha pembebasan oleh kaum tertindas tidak tanpa bahaya. Pada tahap-tahap awal, kaum tertindas melihat pembebasan sebagai pergantian peran orang yang tertindas menjadi orang yang menindas. Itu disebabkan kaum tertindas menginternalisasi dalam dirinya gambaran kaum penindas. Persepsi mereka terbatas pada dua gambaran peran saja, yaitu menindas atau tertindas. Oleh karena itu, dalam tahap ini kaum tertindas tidak melihat adanya kemungkinan munculnya manusia baru yang tidak merupakan penindas atau tertindas. Mereka belum melihat pembebasan itu bukanlah pembalikan peran.¹
Paragraf di atas bertujuan untuk memberikan gambaran umum terhadap isi dari buku Paulo Freire tersebut. Ada beberapa paragraf, namun saya tertarik dengan paragraf di atas karena adanya ketajaman analisis dari Freire, dan juga ketika saya membaca paragraf itu, sebuah ide muncul di pikiran, karena itu saya mencoba untuk menuliskannya di sini, ide yang muncul setelah membaca paragraf tersebut.
Dalam film Sang Kyai, ada sebuah scene ketika KH. Hasyim Asy'ari (diperankan oleh Ikranagara) bersama santrinya sedang mengurus sawah. Saat itu, santri bertanya; pak Kyai, bukankah sampeyan punya banyak santri. Lantas mengapa sampeyan sendiri harus turun ke sawah, bukankah bisa saja memerintahkan para santri itu? Pak Kyai pun menjawab; dengan turun ke sawah, kita bisa menghargai jasa para petani dari setiap butir nasi yang kita makan.
Jawaban tersebut sangat menarik, karena memang jika kita perhatikan dengan seksama, kita menemukan bahwa manusia itu mampu menghargai sesuatu jika dia merasakan susahnya mendapatkan sesuatu itu. Nas Daily, dalam sebuah video pernah menyatakan bahwa dia sama sekali tidak suka dengan barang gratis, kenapa? Karena rasa untuk menghargai sesuatu yang gratis itu susah sekali muncul dalam jiwa.
Berkenaan dengan ini, kita dapat memahami mengapa Paulo Freire menyatakan bahwa yang mampu memahami makna dan kengerian penindasan adalah kaum tertindas itu sendiri karena merekalah yang mengalaminya. Pernyataan tersebut bukan berarti menyangkal bahwa orang yang tidak mengalami penindasan tidak mampu sedikitpun memahami makna dan kengerian penindasan, akan tetapi walau bagaimanapun, orang yang dalam hidupnya sama sekali tidak mengalami penindasan, tentunya pemaknaan dan refleksi tentang penindasan tidaklah sedalam orang-orang yang tertindas.
Kaum tertindas yang ingin keluar dari kondisi penindasan, pada awalnya hanya memiliki dua opsi, yaitu; melarikan diri atau melawan. Kedua opsi tersebut sama-sama tidak mudah. Melarikan diri, okelah kalau ada kesempatan dan syarat-syarat kemungkinan untuk melakukan itu terpenuhi, akan tetapi tetap saja kemungkinan terjadi penindasan tak bisa dihilangkan. Opsi kedua, yakni perlawanan, persis sebagaimana analisis Freire, di alam bawah sadar seseorang tindakan melawan bermotif pada keinginan untuk membalikkan peran, "jika kemarin anda menindas saya, sekarang saatnya saya menindas anda." Seperti itulah ilustrasi sederhananya. Nah, dari sini sangat jelas bahwa mempertanyakan motif bertindak amat penting. Apa yang dikatakan Nietzsche sebagai genealogi kehendak sangatlah penting untuk dilacak. Apa itu genealogi kehendak? Nietzsche mengatakan bahwa genealogi kehendak adalah mempertanyakan; Apa yang sebenarnya aku kehendaki saat aku menginginkan sesuatu? Dalam kasus aksi kaum tertindas untuk keluar dari penindasan ini, haruslah jelas terlebih dahulu jawaban akan genealogi kehendak sebagaimana dijelaskan Nietzsche. Jika memang yang dikehendaki dari aksi itu adalah membalas dan balik menindas maka tidak ada pembebasan disitu, yang ada hanyalah lingkaran penindasan yang tidak berakhir.
Jika pembahasan keinginan kaum tertindas untuk keluar dari penindasan ini--yang hanya berkutat pada pergantian peran--saya hubungkan dengan konteks tradisi di kebanyakan lembaga-lembaga pendidikan kita, dapat dilihat misal pada kasus bully. Para siswa yang sakit hati kepada seniornya karena di bully akhirnya membalas itu pada siswa junior mereka. Walau bukan pada sosok senior yang pernah mem bully mereka, tapi yang jelas, rantai pembullyan terus berlanjut. Dan di situ, alih-alih pembebasan, malahan balas membalas. Dalam kasus masyarakat misalnya, terlihat pada pembalasan seseorang pada anak dari orang yang pernah menindasnya. Kalau saya tidak bisa membalas kamu, maka akan saya balas pada anakmu.
Keinginan disusul aksi untuk meraih pembebasan adalah tujuan mulia. Semua itu harus dilakukan dengan--sebagaimana kutipan langsung di awal tulisan--tindakan cinta kasih melawan kebencian dan kemurahan hati palsu. Apakah ini mungkin? Jika berkaca pada Mahatma Gandhi, maka jawabannya adalah mungkin. Gandhi telah membuktikan itu melalui ahimsa (nirkekerasan) yang dia praktikkan. Walau bagaimanapun, perjuangan untuk meraih itu semua, tak pelak setiap orang harus terus menerus memperbaiki dirinya masing-masing, agar perjuangan untuk pembebasan itu bukan hanya slogan semata yang isinya penindasan yang berkedok pembebasan, melainkan pembebasan yang sesungguhnya.
¹ F. Danuwinata dalam Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, terj. Tim Redaksi (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2008), hlm. xix.
* Alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh Prodi Pendidikan Agama Islam