Relasi Sosial a la Filsuf Stoik
Oleh: Arizul Suwar*
Relasi sosial yang seringkali dibangun oleh masyarakat kita adalah relasi nalar pasar, dagang. Pemberian seringkali diikuti oleh keinginan untuk dibalas--minimal sekali rasa ingin mendengarkan ucapan terima kasih. Tak ada pemberian yang murni, dalam konteks ini, Derrida ada benarnya.
Contoh-contoh kecil yang seringkali bisa kita jumpai dalam masyarakat seperti; jika seseorang diundang ke kenduri, jika tidak datang, yang mengundang merasa kecewa, dia jengkel dengan itu dan timbul keinginan untuk membalas kelak "singoh hana kujak cit bak kanduri jih" (nanti saya juga tidak akan pergi ke kenduri dia). Ya, mungkin orang itu bisa berubah pikiran, tapi bukti bahwa nalar dagang yang dibangun itu bisa dilihat pada "membicarakan orang yang tidak datang sebagai tindakan yang 'tidak seharusnya", bahasa mudahnya 'menggosip'. Contoh lain seperti kebiasaan, bahkan kesenangan, untuk mengungkit-ungkit kebaikan yang sudah dilakukan kepada seseorang. Tak jarang, drama mengungkit-ungkit kebaikan itu cet langet seakan-akan kalau "aku tidak ada, dia tidak bisa hidup". Ngawur memang, tapi itu dianggap lumrah.
Relasi yang dibangun atas nalar pasar itu secara tidak langsung sudah dinobatkan sebagai relasi paling baik dan benar, tak ada lagi yang lain. Mungkin dapat disebut sebagai "bukti yang tak terbantahkan." Mungkin akan ada yang menyatakan; apa sih yang susah dengan mengucapkan terima kasih. Mengucapkan itu memang tidak susah, tapi keinginan supaya orang lain mengucapkan itu adalah penyakit!
Filsuf Stoik seperti Epictetos (meninggal 135 M) punya tawaran terhadap bagaimana relasi yang baik, sebuah relasi yang khas. Dalam tulisan ini, sedikit banyak akan menguraikan tentang itu, beserta implikasi-implikasi yang muncul dari bangunan relasi tersebut.
Relasi yang ditawarkan adalah _one sided relation_, relasi satu arah, bukan relasi timbal balik. Relasi satu arah secara sederhana dapat diilustrasikan sebagai dari saya untuk dia. Titik di situ, tidak ada sambungan dan hubungan timbal balik. Dalam relasi tersebut, seseorang tidak sibuk dengan orang lain dia fokus pada dirinya sendiri. Jika bisa, saya akan memberi, terlepas orang yang saya beri akan membalas atau tidak.
Implikasi yang sangat jelas dari relasi satu arah tersebut adalah tertutupnya kemungkinan untuk timbul kekecewaan kepada orang lain. Tanpa kekecewaan tiadalah penderitaan (apathos). Secara khusus, dalam pengalaman hidup saya, ada beberapa orang yang melakukan relasi semacam itu, tidak banyak tentu, tapi orang-orang itu telah memberi pengaruh secara tidak langsung terhadap penghayatan hidup yang saya jalani. Implikasi lain dari relasi satu arah ini adalah tertutupnya pintu untuk menggosip dan mengungkit-ungkit kebaikan yang sudah dilakukan. Bahkan lebih jauh, mampu menutup keinginan untuk menguasai orang lain. Seperti yang diwanti-wanti oleh Nietzsche.
Pertanyaan yang seringkali ditanyakan terhadap bangunan relasi satu arah ini seperti; tidakkah itu terkesan sangat egois? Tidak peduli dengan kebaikan orang lain? Jawaban saya; relasi satu arah lebih mampu menutup celah "penjajahan" terhadap orang lain. Relasi timbal balik pada dirinya sendiri, netral, tapi dalam praktiknya, relasi timbal balik berubah menjadi sebentuk "penjajahan" lain dalam kehidupan sosial. Jika seandainya relasi timbal balik yang dibangun tidak menimbulkan "penjajahan" maka itu dapat diandaikan lebih baik ketimbang relasi satu arah. Jika seandainya praktik relasi timbal balik tidak menimbulkan rasa kecewa, gosip-menggosip, ungkit-mengungkit kebaikan bahkan keinginan untuk menguasi orang lain, maka itu lebih baik.
Relasi timbal balik dengan nalar dagang itu bukan hanya menggerogoti kehidupan sosial sehari-hari, lebih jauh dia juga diimani dan dihayati oleh pejabat-pejabat negara di negeri ini. Di mana lagi realitas berjuang atas nama rakyat? Ketika "kursi" sudah didapat, dia jauh lebih egois daripada pengamal relasi satu arah. Mendaulat tindakannya sebagai perjuangan atas nama rakyat, mensejahterakan rakyat, berjuang bersama rakyat, sejauh mana itu nyata? Seringkali itu hanya sebatas iklan supaya dagangannya laku. Itu semua, mengutip Uncle Mutu di kartun Upin Ipin, tak lebih dari mana ada.
Sebagai penutup, relasi satu arah dapat menjadi jalan keluar dari kebuntuan relasi timbal balik dengan nalar dagang yang selama ini sudah kita anggap baik dan benar. Bagi pengamal, relasi satu arah menutup kemungkinan untuk timbulnya rasa kecewa, menggosip dan mengungkit-ungkit kebaikan dan terlepas dari keinginan untuk menguasai orang lain. Bagi orang lain, dia tidak merasa terbebani oleh rasa "hutang budi." Tapi bagi filsuf Stoik, tidak merasa perlu untuk menjawab apa manfaatnya bagi orang lain. []
* Alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh Prodi Pendidikan Agama Islam (PAI)
Relate sekali dengan kehidupan sehari hari
Terima kasih