Bisakah Kau Bernyanyi Untukku? (Bagian 2)
Oleh: Bilhamdi*
“Apakah anda yang bernama pak Sukardi?” Tanya seorang pemuda yang mengenakan kacamata hitam.
“Ya! Apa masalah saya dengan kalian? Kenapa kalian melempari domba-dombaku?”
“Pak Sukardi, saya hanya ingin mengatakan bahwa semua ladang di sini mulai sekarang adalah milik saya! Saya baru saja membelinya dari pemilik lahan ini. Jadi, saya harap bapak bisa segera menyingkirkan domba-domba bapak yang ada di sini.”
“Tapi... tapi saya tidak punya...”
“Bapak punya waktu tujuh hari untuk mengosongkan tempat ini. Jika tidak, bapak akan melihat banyak mayat domba di sekitar sini!” Potong pemuda itu dengan tangkas.
“Baiklah, tapi sebelum itu saya ingin menanyakan satu hal, nama anda siapa?”
“Namaku Leri Hartandi. Panggil aku Leri!”
Sore harinya, Sukardi pulang dengan wajah murung. Dia berjalan pelan dengan pikiran bercampur aduk. Raka sedang duduk di teras saat Sukardi sampai di rumahnya. Sesampainya di depan pintu, dia duduk menghadap ke jalan. Raka menyapanya dengan senyuman. Ia balik menyapa seadanya. Lalu mereka kembali tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mereka menatap langit yang sama. Namun mereka merasakan hal yang berbeda. Raka merasakan ketenangan yang teramat sangat. Sedangkan Sukardi merasa rapuh dan ingin hancur. Masalah demi masalah terus bermunculan di hidupnya.
“Hari yang buruk? Maksudku, apakah terjadi sesuatu?” Akhirnya Raka menyadari situasi.
“Apakah kau mengenal Leri?” Tanya Sukardi.
“Maksudmu?”
“Iya, Leri Hartandi! Apakah kau mengenalnya?”
“Itu kan nama pengusaha ternak terkenal! Kalau tidak salah, dia tinggal di kota Sukajadi. Tempat yang ingin aku tuju.” Jawab Raka dengan penuh semangat.
Sukardi pun menceritakan semuanya pada Raka. Tentang ladang, hutang di bank dan nasib hewan ternaknya. Mendengar itu, Raka sangat sedih. Ia telah banyak berhutang budi pada Sukardi. Dia berpikir kalau kehadirannya akan membuat Sukardi makin repot dan kesusahan.
“Malam ini, aku akan berangkat. Aku tak ingin merepotkanmu lagi,” ucap Raka dengan nada sedih.
“Jangan! Tetaplah di sini! Aku butuh teman untuk berbagi cerita,”
“Baiklah kalau begitu,”
“Oh ya! satu lagi, bisakah kau bernyanyi untukku?” pinta Sukardi.
Raka memainkan gitar dan mereka mulai bernyanyi. Malam itu tak ada bintang sama sekali. Namun, tetap saja musik yang mereka mainkan terasa indah. Langit yang gelap pun, rasanya punya keindahan yang tak bisa dilukiskan kata-kata. Mereka menghabiskan malam dengan bernyanyi di teras rumah. “Aku pasti akan membantumu,” Ujar Raka di sela-sela lagu. Tekadnya sangat kuat dan kokoh. Lebih kokoh dibandingkan gunung di hadapan mereka.
Tepat seminggu kemudian, pagi-pagi sekali Sukardi telah terbangun, ia tak ingin satu pun dombanya dibunuh oleh Leri dan anak buahnya. Setelah siap, ia bergegas menuju ladang. Namun sesampainya di sana, ia kaget melihat seorang pemuda berkemaja putih. Leri! ternyata dia sudah sampai di ladang lebih dulu. Namun kali ini, kelihatannya Leri hanya sendirian. Tak ada tanda-tanda anak buahnya. Akhirnya, Sukardi memberanikan diri menghampirinya. Tapi, belum lagi ia sampai, Leri telah berbalik menghadap ke arahnya.
“Pak Sukardi...,”
“Iya, saya tahu. Saya akan segera membawa semua domba-domba saya pergi,”
“Bukan... bukan itu, saya hanya ingin bertanya,”
“Kenapa lagi?” Tanya Sukardi sedikit ketus.
“Nama lengkap bapak, apakah Sukardi Purwoto?”
“Iya, kenapa anda bisa tahu?” Tanya Sukardi dengan heran.
“Apakah bapak mengenal Suminem Purwoto?”
“Tentu, dia adalah satu-satunya kakak perempuan saya!”
Mendengar hal tersebut, pemuda bernama Leri itu segera mengambil tangan Sukardi seraya meminta maaf atas perbuatan yang telah dilakukannya. Leri mulai menceritakan sejarah hidupnya dari awal. Leri dahulu adalah seorang yatim piatu yang hidup menggelandang. Dia tak memiliki cita-cita apapun. Yang ada dipikirannya hanyalah bagaimana bisa bertahan hidup sampai besok. Intinya, saat itu dia bukanlah apa-apa. Juga bukan siapa-siapa.
Sampai suatu hari, ia bertemu seorang perempuan yang menyelamatkan hidupnya. Seperti malaikat, perempuan itu merangkul Leri dan membawanya pulang bersamanya. Leri diberikannya makanan yang lezat, tempat tidur yang hangat dan beberapa potong pakaian yang ia beli di pasar. Untuk beberapa lama, Leri hidup bergantung pada perempuan itu.
Tidak hanya itu, perempuan itu juga mencarikan Leri pekerjaan yang layak. Leri mulai bekerja dan mendapatkan penghasilan. Setelah lima tahun, akhirnya Leri berhasil mengumpulkan uang. Dengan uang itu, dia berencana membangun bisnis di kota. Dia menceritakan rencananya pada perempuan itu dan bahkan di saat terakhir, perempuan itu masih saja menanam budi baik pada Leri. Ia memberi Leri sejumlah uang sebagai tambahan modal perjalanan.
“Dan sekarang aku tahu bahwa kau adalah adiknya.”
Sukardi tak mampu mengatakan apa-apa. Suasana menjadi sangat hening.
“Aku tidak akan melarangmu untuk menggembala di mana pun kau mau. Silahkan! semua tanahku adalah tanahmu juga,” ucap Leri dengan senyuman lebar di wajahnya.
Sukardi masih terdiam.
“Aku dengar kau punya masalah dengan bank, apa benar?”
“Iya, aku punya masalah hutang!” akhirnya dia bisa sedikit bernafas.
“Besok, aku akan datang ke bank untuk melunasi semua hutang-hutangmu. Aku juga akan memberikan sejumlah uang untukmu. Setelah itu, kita akan berlibur bersama! Apakah kau mau?”
Sulit bagi Sukardi untuk bernafas. Ia merasakan luapan kebahagiaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Tak ada yang bisa ia lakukan kecuali mengangguk perlahan.
“Baiklah, mulai besok tidak akan ada lagi yang mengganggu hidupmu!”
Sukardi hanya terdiam.
“Sampai jumpa besok!” Lanjut Leri penuh semangat.
Hari itu, Sukardi tidak melakukan apa-apa. Dia hanya duduk di akar pohon sembari memandangi domba-dombanya dari kejauhan. Dia memikirkan banyak hal. Dia tak menyangka nasib bisa sedemikian cepat berubah. Ada begitu banyak rahasia yang tak diketahui manusia. Siapa yang menyangka, kebaikan yang dilakukan kakaknya bertahun-tahun yang lalu bisa membantunya di saat sekarang? Siapa yang tahu? Siapa?
Menjelang sore, Sukardi pulang ke rumahnya dengan perasaan gembira. Dia tak sabar ingin menceritakan kabar baik itu pada Raka. Hari ini, langit sore terlihat sama seperti kemarin. Namun, di mata Sukardi itu adalah langit sore terindah yang pernah ia lihat. Hatinya terasa hangat. Kehangatan itu mempengaruhi seluruh anggota tubuhnya, bahkan alam semesta serasa ikut merayakan hari bahagianya itu.
Sesampainya di rumah, ia mencari-cari Raka namun tidak menemukannya. Dia berharap bisa mengadakan pesta kecil-kecilan malam ini. Mereka akan bernyanyi bersama hingga pagi. Setelah mencari ke sana kemari, dia tak kunjung juga menemukan Raka. Dia mulai berpikir, mungkin saja Raka sudah pergi. Tapi dia buru-buru membuang pikiran itu. Di hari yang sangat bahagia ini, dia hanya ingin memikirkan yang baik-baik. Namun benar saja, Raka menghilang entah kemana.
Bersambung...
* Mahasiswa Filsafat Islam STFI Sadra, Jakarta