Jangan Bandingkan Indonesia dengan Negara-Negara Eropa
Oleh: Tuhfatul Athal*
Seiring dengan meningkatnya kesadaran global akan perlindungan lingkungan, Indonesia sering kali dibandingkan dengan negara-negara Eropa yang dianggap sebagai teladan dalam hal pengelolaan sampah.
Masyarakat Eropa dinilai lebih berkontribusi terhadap perlindungan lingkungan secara global hanya karena lebih bijak mengelola sampah, benarkan demikian? Namun, kenyataannya adalah masyarakat di negara-negara Eropa tidak benar-benar peduli dengan lingkungan sebagaimana yang kita sangka selama ini.
Meskipun mereka memilah sampah organik, anorganik, bahan berbahaya dan beracun, serta sampah lainnya, pada akhirnya sampah anorganik, terutama plastik, diimpor ke negara-negara berkembang untuk diolah kembali menjadi barang-barang yang dijual di pasaran, salah satu negara yang menjadi tujuan mereka impor sampah adalah Indonesia.
Kita tidak bisa menyangkal bahwa Indonesia telah menghabiskan triliunan rupiah untuk membeli ratusan ribu ton sampah plastik dari negara maju setiap tahunnya. Sampah-sampah ini tiba di Indonesia dan diolah menjadi barang pecah belah yang kemudian dijual di pasaran.
Meskipun Indonesia harus membeli sampah dari negara maju karena sampah di Indonesia tidak dapat sepenuhnya diolah kembali, hal ini dikarenakan budaya masyarakat Indonesia yang tidak memilah sampah terlebih dahulu sebelum membuangnya ke tempat sampah. Terkait masalah ini kita juga perlu melihatnya dari sudut pandang yang lain.
Selama ini kita tahu bahwa masyarakat di negara-negara Eropa terlihat sangat ramah lingkungan. Mereka gencar mengkampanyekan "Go Green" dan seringkali menjadi contoh dalam upaya pelestarian lingkungan.
Namun, apakah kenyataannya demikian? Benarkah Indonesia sangat buruk dalam hal pengelolaan sampah dibandingkan dengan negara-negara Eropa?
Baru-baru ini, seorang mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di Belanda, Jerhemy Owen, mengunggah konten di media sosialnya. Owen yang berkuliah di Avans University of Applied Sciences di jurusan Teknologi Lingkungan untuk Energi Terbaharukan diketahui kerap kali mengunggah kontennya yang bertemakan peduli lingkungan.
Dalam salah satu kontennya, Owen berkolaborasi dengan temannya yang berasal dari Jerman, temannya tersebut menyampaikan beberapa hal yang membuat Indonesia lebih ramah lingkungan daripada Eropa.
Pertama, orang Indonesia lebih jarang membuang makanan daripada orang Eropa. Kedua, orang Indonesia cenderung memperbaiki barang-barang yang rusak sebelum membuangnya, terutama barang elektronik, sedangkan orang Eropa cenderung langsung membuang barang-barang yang sudah rusak. Ketiga, masih banyak orang Indonesia yang membungkus makanan dengan daun pisang, hal ini tentu saja merupakan praktik yang sangat ramah lingkungan karena mengurangi pemakaian plastik. Keempat, kebanyakan orang Indonesia masih memanfaatkan barang bekas seperti ban untuk dipergunakan kembali dengan cara menambalnya, sedangkan orang Eropa tidak demikian, teman Owen tersebut mengistilahkan masyarakat Eropa sebagai masyarakat “throw away”. Kelima, orang Indonesia cenderung tidak konsumtif, terutama dalam hal fast fashion, mereka cenderung memakai ulang baju yang sama, sedangkan orang Eropa tidak demikian.
Berdasarkan konten ini, kita dapat memahami dari penjelasan warganya sendiri bahwa masyarakat Eropa tidak seramah lingkungan yang kita kira.
Dalam konten lainnya, Owen juga membagikan konten yang senada dengan thumbnail "Kita semua ditipu oleh negara-negara di Eropa". Dalam konten tersebut, Owen menyatakan bahwa masyarakat Eropa tidak seramah lingkungan seperti yang kita bayangkan.
Owen kembali berkolaborasi dengan temannya, seorang jurnalis lingkungan dari Jerman. Temannya mengungkapkan beberapa fakta menarik yang mengubah pandangan kita.
Pertama, negara-negara Eropa menghasilkan lebih banyak sampah plastik daripada Indonesia, meskipun hal ini mungkin tidak berlaku untuk setiap negara Eropa, rata-rata produksi sampah plastik di Eropa terus meningkat setiap tahun.
Kedua, kebanyakan produk yang dikonsumsi oleh masyarakat Eropa, terutama produk plastik, tidak bisa didaur ulang, dan itulah salah satu alasan mengapa mereka mengirim sampah mereka ke negara-negara lain seperti Indonesia.
Ketiga, meskipun mereka sering menggaungkan tentang "Green Energy" dan sejenisnya, hal tersebut tidak selalu berarti mereka benar-benar ramah lingkungan dalam produksi energi terbaharukan. Keempat, banyak brand Eropa yang melakukan green washing, mereka terus-menerus mengklaim bahwa mereka ramah lingkungan, tetapi kenyataannya tidak demikian.
Di konten yang kedua ini, kita juga dapat memahami bahwa wajah yang selama ini ditampilkan oleh warga Eropa ke mata dunia bukanlah wajah yang apa adanya, ada banyak sekali sisi gelap yang mereka tutup untuk berbagai kepentingan.
Dari sudut pandang ini, kita dapat melihat bahwa Indonesia tidak bisa dibandingkan secara langsung dengan negara-negara Eropa dalam hal pengelolaan sampah. Meskipun Eropa memiliki keuntungan dengan menjual sampahnya ke Indonesia, kita juga memiliki keuntungan dengan mengolah sampah plastik impor menjadi barang-barang daur ulang yang dapat mendukung perekonomian Indonesia.
Di sisi lain, dengan melakukan daur ulang seperti ini bukankah Indonesia telah berkontribusi dalam mengurangi sampah global? Jadi, tidaklah benar jika dikatakan bahwa Indonesia selalu merugi dalam hal ini.
Terkait dengan kontribusi terhadap pencemaran lingkungan global, rasanya tidak ada negara yang benar-benar tidak menyumbangkan polusi sama sekali, jika suatu negara tidak menyumbangkan polusi udara lewat limbah pabrik, pastilah ia menyumbang dari sisi lain, kita tidak bisa menafikan hal ini, hanya saja sebagai warga dunia mestilah setiap individu mempuyai kesadaran untuk menjaga lingkungan setiap waktu dan setiap tempat.
Namun, perlu diakui bahwa salah satu permasalahan utama di Indonesia adalah kebiasaan masyarakat yang jarang memilah sampah saat membuangnya ke tempat sampah. Seandainya jika budaya memilah sampah dapat diterapkan seperti halnya di negara-negara maju, maka Indonesia tidak hanya dapat mengolah sampah impor, tetapi juga dapat mengelola sampah domestik dengan lebih baik.
Ini akan menghasilkan keuntungan ganda bagi kita, di mana Indonesia akan menjadi lebih bersih dan terkenal karena keindahannya di setiap pelosoknya. Masyarakat dunia akan mengenal Indonesia bukan hanya karena Bali, tetapi juga karena keindahan yang dimiliki oleh seluruh wilayah Indonesia.
Budaya memang sulit untuk diubah, sebagaimana masyarakat Eropa susah untuk meninggalkan budaya konsumtif, demikian juga masyarakat Indonesia sulit untuk memilah sampah, namun pembiasaan ini bisa diterapkan setidaknya untuk diri sendiri dan mengedukasikan keluarga sendiri dalam skala kecil.
* Mahasiswa Pascasarjana IAIN Lhokseumawe