Seni Merealisasi Keinginan
Oleh: Arizul Suwar*
Keinginan merupakan denyut nadi kehidupan. Setiap manusia pasti punya keinginan. Namun tak jarang pula, keinginan menyemai penderitaan. Mungkin, sebab itulah Schopenhauer menyatakan bahwa hidup adalah penderitaan.
Logikanya begini: Keinginan adalah jantung kehidupan. Tanpa keinginan, tiadalah kehidupan. Namun karena keinginan itu membawa penderitaan, maka hidup pun adalah penderitaan.
Bagi Schopenhauer, kondisi keinginan yang pertama adalah, keinginan yang terpenuhi. Di saat sebuah keinginan terpenuhi, rasa senang pun menghinggapi orang tersebut. Namun tak berselang lama, rasa senang itu berubah menjadi rasa bosan. Keinginan mengingini sesuatu yang belum dimiliki, sesudah dimiliki maka dia segera berubah menjadi rasa bosan.
Kedua, keinginan yang tidak perpenuhi. Di saat keinginan tidak terpenuhi, maka rasa sakitlah yang akan menghinggapi seseorang.
Ketiga, usaha untuk meraih keinginan. Usaha tentu tidak bisa dilepaskan dari pengorbanan. Nah, pengorbanan ini menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit, pada orang yang bersangkutan.
Keempat, tindakan untuk tidak memenuhi keinginan. Tindakan ini pun membawa penderitaan, karena usaha untuk tidak memenuhi keinginan berlawanan dengan kehidupan manusia pada umumnya.
Jika keinginan adalah penderitaan, dan segala hal yang berhubungan dengan keinginan pasti berada dalam lingkaran rasa sakit dan rasa bosan, lantas bagaimana caranya menyikapi keinginan? Apakah keinginan harus dibunuh? Bukankah jika itu dilakukan akan berkonsekuensi pada membunuh kehidupan? Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang harus dijawab.
Kita harus jujur bahwa keinginan tak bisa dihindari. Namun, adakah seni untuk menjalaninya? Bagaimana kita akan menjawab jika ditanya: Jika kamu punya keinginan, bagaimana caranya merealisasikan keinginan tersebut?
Ada beberapa langkah yang harus diperhatikan. Pertama, mempertanyakan terlebih dahulu apakah keinginan yang ingin saya realisasikan ini mungkin alias wajar bagi saya? Hal ini penting, mengingat ada orang yang menginginkan sesuatu yang tidak wajar.
Seperti menginginkan semua orang pengertian kepadanya, tidak ditimpa rasa sakit, tidak mengalami ketuaan, mahasiswa kos-kosan yang ingin menggunakan jet pribadi untuk berangkat ke kampus dan sebagainya.
Dalam skop yang lebih kecil, tebal atau tipisnya dompet juga menjadi pertimbangan wajar atau tidaknya ketika hendak merealisasikan keinginan. Jika dompet tipis, keinginan untuk belanja setiap hari ke mall merupakan keinginan yang tidak wajar. Pada pertimbangan ini, jika keinginan tersebut tidak wajar, maka tidak perlu direalisasikan, jika tidak ingin terseret kedalam pusaran penderitaan.
Kedua, jika keinginan tersebut wajar, maka untuk selanjutnya ialah memahami dan menyadari dimensi dari sebuah keinginan. Apakah keinginan itu berada pada dimensi fisik atau badan yang bersifat material, ataupun pada dimensi akal dan jiwa yang bersifat non-material. Jika keinginan seperti ingin makan ini atau minum itu, ingin mendapatkan baju atau celana tertentu, maka dia berada pada dimensi fisik, ada bendanya (material).
Sesuatu objek keinginan yang ada fisiknya, atau bersifat material memungkinkan untuk diraih secara instan. Jika anda ingin makan sesuatu-roti bakar misalnya-jika ada uang, maka bisa langsung membelinya. Namun, tidak demikian halnya dengan keinginan yang bersifat non-material. Contohnya, seseorang tidak bisa dengan instan memperoleh ilmu pengetahuan, apalagi kebijaksanaan dalam menjalani kehidupan.
Kedua contoh tersebut bersifat non-material. Nah, ketika dimensi keinginan seperti di atas tidak dipahami dan disadari dengan baik, maka tidak heran ketika ada orang-orang yang cepat berputus asa dalam belajar, tidak sabaran dalam menjalani kehidupan.
Fenomena tersebut merupakan implikasi dari ketidakmampuan untuk membedakan keinginan mana yang mungkin diperoleh secara instan dengan keinginan yang tidak mungkin diperoleh secara instan.
Ketiga, jika keinginan yang kita ingin realisasikan ternyata wajar dan dimensi keinginan tersebut sudah dipahami dan disadari, maka pada tahap akhir ialah mendidik keinginan.
Kita tahu bahwa keinginan yang terus menerus dipenuhi akan mengantarkan pada rasa candu, menjadikan kita melekat atau bergantung pada sesuatu kemelekatan pada sesuatu-khususnya pada materi-hanya akan mengantarkan kita kepada penderitaan.
Sifat materi adalah berubah, sesuatu yang berubah tentu tidak menyenangkan. Rasa enak pada makanan, hanya bertahan sebentar ketika makanan itu masih dalam mulut atau di kerongkongan, namun jika sudah masuk ke perut, maka satu-satunya yang mungkin hanya kenyang atau tidak. Nah, cara sederhana untuk mendidik keinginan ialah dengan tidak selalu menurutinya.
Contonya begini, ketika keinginan terus menerus mendorong kita untuk membeli roti bakar, maka sesekali jangan turuti untuk terus membeli itu. Pertimbangkan saja untuk membeli sesuatu yang memiliki sifat dasar yang sama dengan roti bakar-nasi- misalnya, keduanya sama-sama mengenyangkan. Di samping keduanya memiliki sifat dasar yang sama, yakni mengenyangkan, toh itu juga membantu untuk lebih hemat.
Pernyataan Schopenhauer tentang keinginan adalah penderitaan, kiranya amat susah untuk diterima. Namun, kejelian Schopenhauer untuk mendiagnosis keinginan sangat penting untuk kita pertimbangkan. Diagnosis terhadap keinginan dapat menjadi rem bagi kita dalam rangka merealisasikan keinginan. Tidak semua keinginan itu perlu untuk direalisasikan, juga tidak semua pemenuhan keinginan mengantarkan kita kepada kebahagiaan.
Keinginan bak pedang bermata dua, jika tidak lihai dalam menggunakannya maka dia akan melukai pemakainya.
*Alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh Prodi Pendidikan Agama Islam