Lingkungan Pendidikan Belum Mendukung Kreativitas!
Oleh: Arizul Suwar
Dalam salah satu bukunya, Haidar Bagir menulis:
"Saya bermimpi bahwa semua medan kehidupan adalah sekolah. Karena sesungguhnya, manusia adalah bak benih, yang menyimpan segenap kesempurnaan dalam dirinya. Lemparlah begitu saja di tanah yang subur, siram seperlunya, rawat dengan penuh cinta, ia akan jadi tumbuhan yang segar, rimbun, dan mengeluarkan banyak bunga indah, serta buah-buahan bermanfaat yang berlimpah. Tak ada, memang, sekolah yang lebih baik dari lingkungan kehidupan yang baik, lingkungan-lingkungan manusia biasa. Tak ada sekolah yang bisa menggantikan sekolah kehidupan.…” (Haidar Bagir, Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia, hal. 8).
Berbagai lembaga pendidikan diusung sebagai tempat penempaan beragam potensi peserta didik. Namun, dalam implementasinya, tak jarang lembaga-lembaga pendidikan tersebut malah menyusutkan berbagai potensi yang ada pada.
Kritik keras Paulo Freire terhadap lembaga pendidikan yang hanya menjadikan peserta didik bagaikan tempat penampungan informasi, layaknya celengan, masih terasa sampai saat ini. Lembaga pendidikan yang seharusnya menyediakan tempat seluas mungkin bagi peserta didik untuk berekspresi, menjelajahi berbagai kemungkinan baru sebagai usaha menumbuhkembangkan daya kreativitas, masih jauh dari kata terwujud.
Problematika minimnya kreativitas di lingkungan pendidikan—sekolah misalnya— terlihat pada tindakan menyontek. Kebiasaan menyontek seakan sudah menjadi “rahasia umum,” mengapa demikian? Dapat ditengarai bahwa peserta didik sebenarnya mengalami ketakutan untuk disebut salah!.
Ketakutan tersebut telah menyeret mereka menjadi pribadi yang tidak berani tampil sebagaimana diri mereka, tidak percaya diri terhadap kemampuannya, yang pada gilirannya akan membawa peserta didik pada sikap membebek saja atas apa yang diinstruksikan oleh guru.
Jika sikap membebek ini—secara sadar atau tidak—sudah tertanam pada diri peserta didik, masih mungkinkah mengharapkan kreativitas pada mereka? Kreativitas peserta didik di sekolah tentu sangat berkaitan erat dengan cara pengajaran seorang guru, semisal ketika seorang guru mengintensifkan tanya jawab dalam kelas sebagai upaya merangsang berpikir siswa, namun penulis melihat, selama kebebasan untuk berekspresi dalam kelas tidak ditutup, maka kemungkinan untuk kreatif masih sangat mungkin berkembang.
Jika merujuk pada sasaran pendidikan, salah satu sasarannya adalah menjadikan peserta didik mencintai proses belajar, mengembangkan kepercayaan diri, keberanian berekspresi dan terampil berkomunikasi.
Sasaran ini hanya mungkin jika peserta didik itu diberikan ruang seluas-luasnya untuk mencoba-coba (try and error) segala kemungkinan dalam proses belajar mereka, dengan itu, potensi kreativitas yang ada pada diri mereka akan mungkin untuk aktual.
Problematika di perguruan tinggi juga tidak jauh berbeda dengan sekolah, mahasiswa mengalami ketakutan untuk berekspresi. Lihatlah di ruang kelas, ketika perkuliahan selesai lalu kemudian dosen bertanya apakah ada pertanyaan? Hampir dapat dipastikan, umumnya mahasiswa akan diam saja.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi ini: 1) Mahasiswa tidak atau belum memahami materi pelajaran yang disampaikan. 2) Mahasiswa kesulitan menyusun kata-kata untuk bertanya. 3) Ketakutan dianggap mahasiswa "ngawur" oleh dosen dan teman-teman. Poin yang disebut terakhir adalah yang paling mendasar dari poin-poin sebelumnya.
Nah, jangankan membicarakan problematika lulusan yang disebut-sebut belum mampu bersaing dalam dunia industri dan pekerjaan—yang mana itu menuntut kreativitas dan inovasi—dalam proses pembelajaran di kelas saja, lingkungan pendidikan kita masih mengalami banyak kekurangan.
Pada tataran lingkungan sosial keseharian juga mengalami permasalahan yang serupa dengan lingkungan lembaga pendidikan. Anak-anak yang memiliki potensi kreativitas tinggi seringkali harus tersisih dari kehidupan sosialnya.
Secara garis besar, masyarakat akan menilai sesuatu yang berbeda dari biasanya—apalagi hal baru—sebagai sebuah "dosa sosial". Aturan tidak tertulis semacam ini semakin membuat daya kreativitas semakin menciut. Mereka ketakutan untuk mengambil cara berpikir berbeda dengan kebanyakan orang, mereka takut untuk mengambil metode atau cara penyelesaian suatu persoalan melalui cara yang berbeda dengan orang lain.
Pada akhirnya, potensi kreativitas hanya tinggal potensi, dan gaungan untuk melahirkan generasi yang kreatif dan inovatif hanya tinggal kata-kata tanpa nyawa.
Memulihkan Lingkungan Memulihkan Kreativitas
Usaha perbaikan atau pemulihan tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan, apalagi menyangkut persoalan lingkungan yang begitu kompleks. Semua pihak tentu diminta untuk berkontribusi, walau pada peran dan fungsi yang berbeda.
Perbaikan yang dimaksud ialah memulihkan kembali lingkungan agar kondusif terhadap daya kreativitas. Jika lingkungan—baik lembaga pendidikan maupun sosial—sudah disesaki oleh berbagai aturan, tertulis ataupun tidak, yang tak jarang memangkas kreativitas peserta didik, harus diperbaiki sesegera mungkin, kebutuhan terhadap itu adalah mendesak.
Ada tiga domain yang menurut penulis dapat menjadi sebentuk kontribusi untuk perbaikan: 1) keluarga, 2) pendidik dan 3) masyarakat. Setiap kita tentu tidak terlepas dari salah satu domain tersebut, apakah sebagai keluarga, pendidik ataupun masyarakat.
Pengkondisian lingkungan yang ramah pada domain keluarga dapat diusahakan melalui tidak banyaknya larangan terhadap aktivitas si anak. Larangan hanya dipakai jika sudah berkaitan dengan sesuatu yang dapat membahayakan secara nyata, baik terhadap fisik si anak atau orang lain, maupun dapat membahayakan barang-barang berharga.
Tak bisa dipungkiri, tujuan dari larangan-larangan tersebut pada dasarnya adalah keinginan orang tua atau orang terdekat agar tidak terjadi sesuatu yang membahayakan pada si anak, namun kadangkala, tanpa pengetahuan dan pengalaman yang cukup, proteksi tersebut malah menjadi over-protektif yang berimplikasi pada terkungkungnya daya kreativitas si anak.
Domain selanjutnya berada pada lingkungan lembaga pendidikan yang bertumpu pada pendidik. Pendidik tentu mengharapkan peserta didik mampu memahami dan menyerap sebaik mungkin pengetahuan yang diajarkannya.
Namun, jika harapan itu tidak diseimbangi dengan kesadaran bahwa setiap peserta didik memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, serta mempunyai kecenderungan jiwa (passion) yang berbeda, maka harapan tadi besar kemungkinan akan berubah menjadi tirani terhadap peserta didik, peserta didik dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan keinginan pendidik.
Implikasi dari ini adalah mandulnya kreativitas, dan pada gilirannya akan membuat peserta didik hanya menunggu intruksi saja, menunggu instruksi sebenarnya merupakan indikasi dari ketidakmampuan peserta didik untuk berpikir merdeka dan tidak mampu menyelesaikan permasalahannya.
Domain terakhir sekaligus yang paling luas adalah masyarakat. Setiap orang tentu berada pada domain ini. Fungsi yang paling utama dalam domain ini adalah fungsi pengontrol. Pengontrol yang dimaksud di sini dapat berbentuk tindak mengawasi perilaku sosial.
Namun fungi pengontrol ini harus terus-menerus dikritisi, dengan tujuan menjaga agar tindakan kontrol yang pada awalnya berfungsi untuk menjaga ketertiban sosial, tidak terjadinya kerusakan dalam masyarakat, tidak berubah menjadi daya halang bagi perkembangan berbagai kreativitas pada penerus generasi bangsa.
Kesadaran akan perubahan dan pergeseran paradigma kehidupan mengikuti tuntutan perkembangan zaman sangat membantu seseorang untuk membuka cara berpikir baru yang berorientasi ke masa depan, sehingga tidak terpaku pada orientasi ke masa lalu.
Dengan berpikiran terbuka, maka rasa takut terhadap hal-hal baru yang mungkin akan terjadi dalam kehidupan sosial, sedikit demi sedikit akan teratasi. Sesuatu yang baru, kreasi dan inovasi, tidak mungkin lahir jika pikiran seseorang hanya terpaku pada orientasi masa lalu.
Benar bahwa sesuatu yang baru tidak selamanya membawa kebaikan bagi kehidupan, tapi benar juga bahwa tidak semua yang baru dapat merusak kehidupan, sehingga rasa takut terhadap kreativitas dan inovasi menjadi sesuatu yang tidak memiliki alasan yang bisa dibenarkan.
Syarat kemungkinan mendasar untuk menghasilkan lingkungan yang ramah bagi kreativitas adalah keterbukaan, kebebasan. Dengan iklim lingkungan yang bebas, benih-benih kreativitas dari anak bangsa akan dapat tumbuh subur.
Ketakutan-ketakutan mereka untuk dianggap sebagai siswa yang tidak patuh, mahasiswa yang aneh, sedikit demi sedikit akan hilang kemudian digantikan dengan keberanian untuk tampil sebagaimana diri mereka masing-masing.
Lingkungan sosial yang terbuka juga akan sangat membantu anak-anak muda untuk terus berkarya, melakukan kreasi dan inovasi, tanpa khawatir mendapatkan tentangan dari masyarakat di sekitarnya. []
*Alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh Prodi Pendidikan Agama Islam