Kondisi Alamiah Manusia dalam Pandangan Thomas Hobbes: Sebuah Diskursus Reflektif
Oleh: Arizul Suwar*
Sketsa Kehidupan
Thomas Hobbes lahir di Malmesbury, Inggris, pada 5 April 1588. Berbagai konflik mewarnai Inggris saat itu. Hobbes kecil harus berpisah dengan kedua orang tuanya, dan hidup dalam pengasuhan pamannya.
Hobbes hidup dalam suasana perang saudara di Inggris abad ke-17. Berbagai pengalaman kondisi perang tersebut memberi kesan bahwa kehidupan bermasyarakat merupakan sebuah usaha yang sangat rapuh. (Hardiman, 2019).
Hampir seluruh hidupnya, Hobbes memusatkan perhatiannya pada pemecahan permasalahan kodrat sosial manusia, yang menurutnya sangat rapuh untuk kehidupan sosial.
Selama 91 tahun kehidupannya, Hobbes banyak melakukan perjalanan berkeliling Eropa, dan telah menulis beberapa karya besar, yang paling terkenal dan kontroversial saat itu ialah buku berjudul Leviathan. Hobbes meninggal pada tanggal 4 Desember 1679 di Hardwick.
State of Nature (Kondisi Alamiah) Manusia
Dalam refleksinya terhadap manusia, Hobbes tidak pertama-tama melihat manusia sebagai bagian dari satu komunitas tetapi sebagai individu. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, dalam pengalaman perang saudara semasa hidupnya, Hobbes melihat bahwa komunitas masyarakat merupakan suatu konstruksi yang sangat rapuh. Mereka saling bersaing dan membinasakan satu sama lain.
Manusia sama-sama memiliki kecenderungan untuk membunuh serta menaklukan satu sama lain. Kondisi ini menegaskan kerentanan konflik antar individu. Konflik ini disebabkan tiga alasan, yakni persaingan, ketidakpercayaan, serta kemuliaan (Murtianto, 2022).
Bagi Hobbes, semua manusia digerakkan oleh hasrat untuk meraih satu tujuan (telos), yakni mencari kebahagiaannya sendiri (felicity) (Murtianto, 2022). Ini menunjukkan bahwa, kondisi alamiah manusia tidaklah memiliki tatanan dah hukum sehingga setiap orang memiliki kebebasan alami tak terbatas. Hal ini lalu berkonsekuensi pada munculnya bellum omnium contra omnes (perang semua melawan semua).
Hasrat selalu tak terpuaskan. Apalagi semua orang menghasrati hal yang sama, dan yang dihasrati itu terbatas, maka terjadilah persaingan.
Persaingan ini lalu berujung permusuhan dan perang, karena cara seorang pesaing meraih hasratnya secara alamiah adalah dengan membunuh, menundukkan, menyingkirkan dan mengambil alih hak milik pihak lain.
Tentang perilaku manusia, Hobbes menyimpulkan bahwa “kecenderungan umum semua umat manusia, adalah hasrat abadi dan membara akan kekuasaan dan demi kekuasaan, yang berhenti hanya karena kematian” (Hobbes, 1974).
Demikianlah, manusia terjebak dalam situasi kembar dalam state of nature, ketegangan abadi yang tak terpecahkan antara usaha meraih kebahagiaan (felicity) dan kemalangan (misery) yang selalu mengintip.
Untuk menghindari itu semua, menurut Hobbes, manusia harus membuat kontrak satu sama lain untuk membentuk sebuah komunitas (masyarakat sipil) melalui kontrak sosial.
Di dalam komunitas itu, mereka semua mendapatkan keamanan sebagai ganti dari penundukan diri mereka kepada kedaulatan yang mutlak pada satu atau kumpulan orang.
Sebab selama tidak ada kekuasaan yang mengatasi mereka semua, yang ditakuti bersama, sehingga manusia berada dalam keadaan perang semua melawan semua. Tetapi keadaan perang (state of war) ini, tidak selalu berwujud pertempuran. Sifatnya lebih mirip cuaca. Cuaca buruk, bukan terletak pada datangnya hujan; namun kecenderungan akan hujan. (Hobbes, 1974)
Mendudukkan Tesis State of Nature Manusia versi Thomas Hobbes
Sekilas, apa yang disimpulkan Hobbes tentang kondisi alamiah manusia, yakni makhluk yang terus menerus mengikuti hasratnya yang membara, untuk mendapatkan kekuasan dan kemuliaan walau dengan menyingkirkan dan membunuh orang lain, terkesan lebay (berlebihan) dan dramatis.
Namun, sebagai pembaca yang baik, tentunya kita tidak bisa melepaskan pemikiran seseorang dari kondisi kehidupan sosial yang dialaminya.
Hobbes adalah "anak perang." Berbagai pengalaman bahaya perang telah menatapnya sedari kecil. Pengalaman konflik atau bahkan traumanya, telah memberi warna khas tersendiri bagi konstruksi kesadaran dan pemikirannya. Maka tak heran, baginya, bangunan kehidupan sosial manusia sangatlah rapuh.
Pendapat semacam ini tentunya sangat kontras dengan pemikiran orang-orang yang tidak hidup dalam kondisi perang. Bagi mereka, kehidupan sosial bermasyarakat tentunya tidak serapuh sebagimana yang disimpulkan Hobbes.
Melampaui itu semua, apa yang ditesiskan oleh Hobbes tentang kondisi alamiah manusia, juga memuat kebenaran. Bayangkan saja apa jadinya jika kehidupan manusia tidak diberikan aturan yang mengikat dan memaksa? Tentu mereka akan berbuat seenaknya demi memuaskan hasrat-hasrat dalam diri mereka.
Dalam masyarakat yang sudah memiliki hukum--sebagai hasil dari kontrak sosial--juga masih banyak ditemukan berbagai pelanggaran, apalagi dalam masyarakat yang sama sekali tidak memiliki aturan dan hukum. Tentunya lebih rusak lagi.
Penutup
Untuk mengantisipasi kebrutalan dan pelampiasan hasrat individu, Hobbes menawarkan kontrak sosial, agar setiap orang merasa aman dari hasrat-hasrat orang lain yang mengancamnya. Dengan pernyataan tersebut, Hobbes berusaha untuk menata kehidupan luaran manusia, yakni terkait hubungan sosial.
Pertanyaan selanjutnya dan sekaligus refleksi lanjutan ialah; bagaimana menata kehidupan dalam diri manusia? Jika manusia disetir oleh hasrat, darimana hasrat itu muncul dan apakah hasrat bisa ditata? Atau minimal sekali, bagaimana mengantisipasi hasrat?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, dibutuhkan tulisan-tulisan lanjutan untuk mendiskusikannya. []
* Alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh Prodi Pendidikan Agama Islam