Risalah Label dan Kebencian
Oleh: Arizul Suwar*
Suatu ketika, seorang teman bercerita kepada saya tentang kawannya yang tidak saya kenali. Inti dari cerita itu adalah ungkapan kekesalan terhadap tingkah polah kawannya tersebut. Setelah mendengar cerita itu, entah bagaimana, saya ikut-ikutan tidak suka kepada orang yang diceritakan tadi.
Setelah perjumpaan itu berakhir, saya mencoba untuk bertanya pada diri sendiri, "Bagaimana bisa, saya membenci seseorang yang jangankan mengenalnya, namanya pun baru pertama kali saya dengar?"
Untuk menjawab pertanyaan itu, saya kemudian mencoba sejenak merenung dan berpikir, mungkin, antara saya dengan teman yang bercerita tadi, telah terjalin sebuah hubungan yang sebut saja "kebersamaan".
Sedangkan orang yang menjadi objek cerita teman tadi adalah "orang lain yang tidak termasuk ke dalam kebersamaan kami." Sebab itu, ketika teman saya mengungkapkan kekesalannya terhadap orang tersebut, saya pun ikut terseret untuk kesal kepadanya, walau pada faktanya saya tidak tahu menahu sama sekali tentang orang itu.
Penjelasan di atas membawa saya mengingat kembali kejadian beberapa tahun lampau, ketika masih di bangku sekolah. Kala itu, saya dengan seorang teman, sedang duduk di teras kios di samping jalan raya.
Tak lama kemudian, lewatlah seorang lelaki paruh baya, dengan mengenakan pakaian yang tidak pernah saya lihat sebelumnya pada orang-orang di desa. Teman saya langsung menegur saya sembari mengatakan "dia itu orang Muhammadiyah."
Kata "Muhammadiyah" yang dimaksud oleh dia bertujuan untuk menunjukkan "keberlainan antara orang itu dengan kami." Saya lalu bertanya, "kamu kenal bapak itu?" lalu dia menjawab "tidak."
Masih banyak kejadian lain yang serupa, namun di sini saya akan mencoba berfokus untuk menjawab pertanyaan awal tadi "bagaimana bisa kita membenci orang yang tidak kita kenali?"
Pertama sekali, wacana yang kita konsumsi, alias yang sering kita dengar, akan menjadi pembentuk cara pandang kita terhadap segala sesuatu. Wacana dan cerita yang dibumbui dengan berbagai stigma untuk mengidentifikasi individu atau kelompok tertentu, akan merayap ke dalam kesadaran kita untuk selanjutnya menjadi label, dan dengan label itulah kemudian kita akan menilai individu atau kelompok tertentu.
Pada cerita yang pertama, antara sadar dan tidak sadar, saya telah melabeli orang yang diceritakan teman tadi sebagai sosok dengan tingkah polah yang tidak tahu diri. Pada kasus yang kedua, saya ditanami stigma bahwa lelaki yang tadi lewat di depan kami adalah "bukan dari golongan kita."
Sebagai manusia, dia sama seperti saya. Sebagai individu, setiap orang memiliki keunikan masing-masing. Dua kesadaran eksistensialis kemanusiaan ini "dikubur" paksa oleh stigma dan pelabelan, melalui berbagai wacana dan cerita, yang secara genealoginya ingin membuat orang lain, harus sesuai dengan keinginan kita.
Persoalan serius pun muncul, seseorang tidak lagi bisa melihat orang lain sebagai manusia, sebagai individu yang unik, itu semua kini digantikan dengan label tertentu.
Cobalah seandainya, terhadap orang yang telah dilabeli tersebut, kita berinteraksi langsung, kita ngobrol, kalau perlu ngopi bareng, mungkin kenyataan orang tersebut kini tidaklah sebagaimana label yang beredar.
Ini penting untuk mendidik diri kita agar tidak "beriman" kepada label. Mendidik diri kita untuk tidak membenci, apalagi membenci orang yang bahkan sama sekali tidak kita kenal. Hal yang paling buruk, yang mungkin terjadi karena cara pandang berlandaskan label, terletak pada tindak kekerasan.
Ketika seseorang, telah terpenjara dalam cara pandang dengan label tertentu terhadap orang lain, kemudian melakukan tindak kekerasan, maka dia sama sekali tidak lagi merasa bersalah terhadap itu, karena baginya, sosok yang kini--sebutlah dipukuli atau dihamok--adalah bukan manusia seperti dirinya, bukan pula individu yang punya keunikan tersendiri, melainkan makhluk yang tidak tahu diri, atau yang tersesat dan perlu diselamatkan.
Interaksi langsung dengan individu yang bersangkutan, akan membawa kita keluar dari berbagai label yang sebelumnya kita atribusikan padanya. Dengan interaksi itu pula, akan membuka kemungkinan cara pandang baru, dan pada batas-batas tertentu, sangat mungkin berbanding terbalik dengan stigma dan label yang kita berikan sebelumnya.
Dengan interaksi, kita menyaksikan langsung wajah telanjang yang hendak mengungkapkan dirinya kepada kita. Interaksi tidaklah sebatas pertemuan dua jasad, melainkan juga pertemuan pikiran dan perasaan.
Kita membuka diri, mengizinkan sesuatu mengungkapkan dirinya sebagaimana dirinya sendiri. Kita harus bersabar untuk tidak cepat-cepat memberikan satu kesimpulan final terhadap diri seseorang.
Manusia adalah makhluk menjadi, gerak perubahan tidak pernah berhenti, dianya bukan sekali jadi, sebagaimana barang produk pabrikan. Finalitas bagi manusia dalam konteks ini adalah setelah kematiannya.
Kedua kasus yang sudah diceritakan di atas, saya yakin tidak hanya terjadi pada saya. Khusus pada kasus yang pertama, kesadaran terhadap sisi kemanusiaan dan keunikan individu menjadi rem untuk kita, sehingga tidak serta-merta membenci sesuatu yang tidak kita ketahuai dan kenali.
Di samping itu juga, kesadaran tersebut mampu memberikan kontribusi luar biasa dalam hal membangun keharmonisan hubungan sosial antar sesama. []
* Alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh Prodi Pendidikan Agama Islam.