Antara Kebaikan dan Keburukan
Oleh: Arizul Suwar*
Ketika orang lain melakukan keburukan, seakan-akan kita telah mendapatkan izin untuk segera merendahkan dia. Namun entah kenapa, ketika kita sendiri yang melakukan hal tersebut, kita tidak merasa melakukan keburukan.
Apa itu kebaikan? Apa itu keburukan? Bagi kita, jawaban yang paling mungkin muncul, sekaligus paling jujur adalah; kebaikan adalah segala sesuatu yang dianggap baik oleh kebanyakan orang di sekitar kita, sebaliknya juga demikian.
Tidak sulit untuk mencari bukti terhadap jawaban seperti ini, misalnya saja seseorang melabeli sesuatu sebagai keburukan lantaran orang-orang sekitarnya menyatakan demikian.
Berbagai data tentang baik dan buruk yang diperoleh dari lingkungannya itu, terserap ke dalam pikiran seseorang. Kemudian mendapatkan bentuk baru yang dapat disebut sebagai cetakan filter, untuk menyaring segala yang dianggap memiliki muatan nilai baik atau buruk.
Entah bagaimana, sadar atau tidak, cetakan filter itu lalu membangun dan menetapkan finalitas batas antara kebaikan dengan keburukan. Lebih jauh, tidak sebatas tembok batas yang dibuat, melainkan juga abstraksi finalitas universal.
Kita menetapkan; ini adalah kebaikan, itu adalah keburukan. Siapa pun dan kapan pun dia melakukan ini, berarti melakukan kebaikan. Siapa pun dan kapan pun melakukan itu, berarti melakukan keburukan.
Salah satu bentuk dari kerja akal manusia memanglah memberikan batasan terhadap sesuatu. Namun, yang perlu disadari, tidak semua hal dapat diberikan batas seperti itu. Saya sepakat bahwa batas itu memang ada, sama sekali tak bisa dipungkiri.
Namun, batas itu tidak selamanya baku dan beku, adakalanya dia bersifat elastis sesuai konteksnya. Finalitas batas terhadap apa itu kebaikan dan apa itu keburukan, kemudian mengkristal menjadi semacam jaring yang siap dilemparkan kepada siapa pun.
Namun uniknya, ketika berkaitan dengan keburukan, hanya ada sedikit orang yang berani melemparkan jaring tersebut pada dirinya sendiri. Seseorang melakukan sesuatu yang kita anggap buruk, langsung terkena jaring itu, namun tidak ketika kita melakukan hal yang sama.
Ketika orang lain melakukan keburukan, seakan-akan kita telah mendapatkan izin untuk segera merendahkan dia. Namun entah kenapa, ketika kita sendiri yang melakukan hal tersebut, kita tidak merasa melakukan keburukan.
Filter kebaikan atau keburukan yang telah dibangun itu lalu dinobatkan sebagai ukuran moralitas. Yang jadi permasalahannya ialah, filter itu tidak lagi dipertanyakan. Harusnya, itu semua harus terus-menerus dipertanyakan, apakah ini sudah benar sebagai kebaikan atau apakah itu sudah benar sebagai keburukan? Jika pertanyaan yang demikian tidak lagi dilontarkan, yang terjadi adalah; orang yang bersangkutan hanya akan sibuk menilai orang lain. Sibuk melontarkan pernyataan bahwa orang lain tidak bermoral.
Lalu yang mana orang baik? Orang yang baik hanyalah orang-orang yang sependapat dengan dia. Celakanya, filter yang telah dinobatkan sebagai ukuran kebaikan atau keburukan itu, telah membuat seseorang lupa pada kualitas dirinya. Dia hanya sibuk menilai orang lain.
Seorang yang lebih tua sibuk mengeluhkan generasi muda yang dianggap makin jauh dari kebaikan. Generasi muda sudah lelah mendengar "ocehan kata mutiara" yang sama sekali tidak dipraktikkan oleh generasi tua.
Terhadap pertanyaan; apa itu kebaikan dan apa itu keburukan, saya kira tidak perlu untuk diberikan definisi di sini. Karena saya yakin setiap kita pasti punya konsep masing-masing tentang itu. Namun yang penting adalah, menyadari bahwa batas tentang; yang mana kebaikan dan yang mana keburukan, haruslah ditinjau kembali.
Karena selama ini, batas itu telah ada dalam pikiran kita, dan jarang sekali kita pertanyakan. Melalui tulisan ini, saya hanya berperan untuk memberikan stimulus agar kembali meninjau itu semua. Untuk memudahkan peninjauan itu, kiranya saya akan memberikan sedikit ilustrasi;
Keburukan senantiasa kita perlawankan dengan kebaikan. Jika dilihat dari sisi nilai, maka kebaikan itu bernilai sedangkan keburukan tidak bernilai. Jika keburukan tidak bernilai, berarti ianya tidak memiliki guna dan kemanfaatan sama sekali. Nah, dalam keseharian, pastinya kita pernah melakukan keburukan, pertanyaanya apakah semua keburukan yang kita lakukan itu tidak bernilai sama sekali?
Cobalah kita kembali melacak memori ingatan kita, saya sangat yakin bahwa pasti ada yang bernilai. Bukankah tak jarang, kita belajar banyak dari keburukan yang sudah pernah kita lakukan? Bahkan mungkin, dalam kasus-kasus tertentu, kita bisa mengatakan bahwa tanpa adanya keburukan yang kita lakukan itu, maka kita tidak akan pernah berjumpa dengan kebaikan?
Kesadaran terhadap ini, saya kira dapat mengantarkan untuk tidak tergesa-gesa memberi penghakiman terhadap sesuatu yang kita anggap sebagai keburukan. Bisa jadi, seseorang memang harus dididik melalui keburukan untuk pada akhirnya dapat berjumpa dengan kebaikan.
Saya tidak akan membuatkan suatu kesimpulan terhadap tulisan ini. Sebagai selingan sekaligus penutup, saya akan menuliskan sebuah cuplikan cerita, semoga dapat menjadi stimulus lanjutan untuk peninjauan ulang terhadap batas kebaikan dan keburukan.
Ceritanya begini "Setelah selesai berdoa samadiyah di acara kenduri. Seorang bapak paruh baya bercerita setengah curhat, tentang kebandelan anaknya yang sangat susah diatur kepada para jamaah. Sesudah cerita itu berakhir, dan si bapak juga terdiam. Seorang jamaah yang lebih tua kemudian berkomentar "kira-kira, ketika bapak seusia dia dulu, lebih bandel mana antara bapak dengan dia?" Dengan sedikit tertegun dan polos, bapak itu kemudian menjawab "memang, saya lebih bandel daripada dia", jawaban itu sontak membuat seluruh jamaah tertawa lepas". []
• Alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh Prodi Pendidikan Agama Islam