Karlina Supelli tentang Martha Nussbaum: Imajinasi, Simpati, dan Keprihatinan terhadap Pendidikan Karakter
Oleh: Arizul Suwar
Bagi saya, membaca tulisan Karlina Supelli, tak ubah bagai minum obat yang mujarab. Jika obat memberi khasiat penyembuhan pada tubuh, maka tulisan Karlina Supelli memberi pencerahan akal budi dan ketajaman rasa. Salah satu tulisan Karlina yang begitu memukau bertajuk "Martha Nussbaum: Merawat Imajinasi dan Pendidikan Karakter."
Tulisan tersebut dimulai dengan sebuah kutipan indah dari Rabindranath Tagore; "Kita dapat menjadi kuat dengan pengetahuan, tetapi kita memperoleh kepenuhan melalui simpati..."
Pengetahuan yang bersifat rasional tentunya sangat dibutuhkan oleh manusia. Namun ternyata, dalam refleksi Tagore, kepenuhan menjadi manusia, tidak berada pada pengetahuan. Kepenuhan itu justru hadir dalam simpati.
Refleksi Tagore tersebut dilanjutkan oleh Nussbaum. Pada paragraf 12 di bawah sub-judul "Imajinasi Naratif", Karlina Supelli menulis;
"Nussbaum benar bahwa nalar dan argumen-argumen logis saja tidak cukup. Tidak banyak yang sebetulnya kita capai...Di bilik terdalam manusia, argumen-argumen rasional seringkali kalah... Nussbaum sendiri percaya, hanya jika emosi dan hasrat, dapat dibuat untuk mengerti, orang memperoleh alasan untuk mengubah tindakannya."
"Nussbaum benar bahwa nalar dan argumen-argumen logis saja tidak cukup. Tidak banyak yang sebetulnya kita capai...Di bilik terdalam manusia, argumen-argumen rasional seringkali kalah... Nussbaum sendiri percaya, hanya jika emosi dan hasrat, dapat dibuat untuk mengerti, orang memperoleh alasan untuk mengubah tindakannya."
Kalimat "Di bilik terdalam manusia, argumen-argumen rasional seringkali kalah," berhasil menghenyakkan kesadaran saya. Jika merefleksikan kalimat itu, menilik relung diri terdalam, kita bertanya, siapa yang sebenarnya bertahta di sana? Jangan-jangan, hasrat dan nafsu-nafsu dengan seribu topeng bermukim di sana.
Lagi-lagi, pengetahuan semata tidak cukup bagi kita dalam hidup ini. Di sini, Nussbaum menawarkan imajinasi dan simpati sebagai penyeimbang sekaligus pelengkapnya.
Merawat Imajinasi: Menilai Sesuatu melalui Sudut Pandang Orang Lain
Apa dan bagaimana yang dimaksud dengan imajinasi di sini? Terkait imajinasi yang dipahami oleh Nussbaum, Karlina Supelli menulis;
"Bagaimanakah kita mampu memandang orang lain sebagai sesama manusia dan bukan seekor siput berlendir atau sampah masyarakat? Tanya Nussbaum." (Paragraf 1 di bawah sub-judul "Imajinasi dan Politik Kemanusiaan")
"Bagaimanakah kita mampu memandang orang lain sebagai sesama manusia dan bukan seekor siput berlendir atau sampah masyarakat? Tanya Nussbaum." (Paragraf 1 di bawah sub-judul "Imajinasi dan Politik Kemanusiaan")
"Nussbaum membayangkan sesosok manusia hadir di depan mata kita, kehadiran seseorang senantiasa menghadapkan kita pada dua pilihan: memperlakukan dia sebagai sesama manusia, atau memperlakukannya sebagai objek di sekitar kita lainnya?" (Paragraf 3 di bawah sub-judul "Imajinasi dan Politik Kemanusiaan")
Dari kutipan-kutipan tersebut, Karlina Supelli mendekatkan kita kepada pemahaman imajinasi yang dimaksud oleh Nussbaum.
"Hanya dengan membayangkan bagaimana dunia tampil melalui kacamata orang lain, kita mampu melihat dia sebagai sesosok pribadi dan bukan seonggok objek." (Paragraf 3 di bawah sub-judul "Imajinasi dan Politik Kemanusiaan")
"Hanya dengan membayangkan bagaimana dunia tampil melalui kacamata orang lain, kita mampu melihat dia sebagai sesosok pribadi dan bukan seonggok objek." (Paragraf 3 di bawah sub-judul "Imajinasi dan Politik Kemanusiaan")
Demikianlah apa yang dimaksud dengan imajinasi oleh Nussbaum. Mungkin kita bisa memahami imajinasi yang dimaksud itu, sebagai sebuah usaha untuk melihat atau menilai sesuatu dari sudut pandang orang lain.
Kita bisa bertanya pada diri sendiri, apakah selama ini kita sudah menilai seseorang sebagai sosok pribadi, atau malah menganggapnya sama layaknya objek lain seperti benda mati, tumbuhan, atau hewan?
Lebih lanjut kita bisa bertanya, terhadap pribadi yang berbeda dengan kita, apakah itu berbeda agama, berbeda orientasi seksual, dan perbedaan lainnya, apakah terhadap mereka kita melihatnya dengan rasa jijik? "Tanpa rasa hormat barang secuil terhadap martabat kemanusiaan mereka." (Paragraf 1 di bawah sub-judul "Imajinasi dan Politik Kemanusiaan")
Di sinilah letak pentingnya imajinasi menurut Nussbaum. Melalui kemampuan imajinasi ini seseorang dapat menghidupi nilai-nilai seperti keadilan. "Saat kita membayangkan bukan orang lain, melainkan diri kita sendiri yang mengalami perlakuan tidak adil, misalnya karena identitas gender, pilihan agama, atau orientasi seksual." (Paragraf 10 di bawah sub-judul "Imajinasi dan Politik Kemanusiaan")
Bagi Nussbaum, hanya imajinasi semacam inilah yang sanggup menggerakan seseorang untuk "memandang orang lain sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan bukan sarana pada kepentingan kita." (Paragraf 10 di bawah sub-judul "Imajinasi dan Politik Kemanusiaan")
Simpati: Merasakan Pengalaman Orang Lain secara Mendalam
Nussbaum juga memberi perhatian khusus pada simpati, apa itu simpati? Nussbaum menerjemahkan simpati sebagai "Pemahaman empati sekaligus kepekaan terhadap pengalaman orang lain dan orang lain itu adalah pribadi." (Paragraf 9 di bawah sub-judul "Imajinasi dan Politik Kemanusiaan.")Karlina Supelli menuliskan bahwa Nussbaum memaknai simpati sebagai "Wahana pemahaman atas aneka macam emosi dari sudut pandang orang pertama. Aneka emosi yang rentangnya amat panjang, mulai dari rasa sebal, jijik dan penolakan sampai ke kepedulian dan cinta kasih." (Paragraf 2 di bawah sub-judul "Imajinasi Naratif.")
Saya pribadi memahami simpati dalam pandangan Nussbaum sebagai kemampuan merasakan pengalaman orang lain dan ikut serta secara emosional di dalamnya.
Walaupun harus diakui, bahwa merasakan (membayangkan/mengimajinasikan) pengalaman orang lain, tentunya tidak akan sama persis sebagaimana yang dialami orang tersebut, akan tetapi, usaha ini dapat menjadi semacam rem, untuk tidak menilai orang lain dengan sudut pandang ego kita sendiri.
Karlina Supelli menyebutkan bahwa perhatian Nussbaum yang begitu dalam terhadap tema simpati, bermula sejak pertemuannya dengan Herbert Foster.
Kala itu, Nussbaum muda yang masih berusia 16 tahun itu, berpasangan dengan Foster dalam drama teater My Fair Lady dan kerap berdansa dalam lakon panggung. Nussbaum mengakui bahwa "dirinya naksir berat pada foster. Akan tetapi, mengalami kekecewaan setelah mengetahui bahwa Foster adalah seorang gay." (Paragraf 3 di bawah sub-judul "Imajinasi Naratif.")
Fakta yang demikian, mengantarkan Nussbaum untuk tidak bisa berhenti berpikir tentang orang-orang seperti Foster. "Mengapa orang yang berperilaku demikian baik di seluruh teater itu, justru merupakan orang yang terpaksa menyembunyikan jati dirinya?" (Paragraf 4 di bawah sub-judul "Imajinasi Naratif.")
Nussbaum mencoba membayangkan, mengimajinasikan tentang harapan, tujuan, dan makna yang mereka cari dalam hidup. Untuk Foster, "Nussbaum mempersembahkan sebuah karyanya berjudul From Disgust to Humanity (2010)." (Paragraf 4 di bawah sub-judul "Imajinasi Naratif.")
Segera setelah membaca itu, saya langsung terpikir dan membayangkan betapa polosnya Nussbaum. Bagaimana tidak, alih-alih mendramatisir kekecewaan terhadap Foster, malah dia bertanya-tanya dalam diri "mengapa orang baik seperti Foster tidak berani untuk hadir sebagaimana jati dirinya sendiri? Apakah dia merasa khawatir akan orang-orang yang jika mengetahui itu, segera akan memandang dan menganggapnya sebagai seonggok daging yang menjijikan?"
Sekali lagi, alih-alih mendramatisir kekecewaan cinta remaja, sebagaimana sering kita temukan dalam sebagian banyak sinetron dan novel bertemakan patah hati, Nussbaum dengan kepolosan manusiawinya, seolah-olah bertanya kepada Foster "mengapa kamu menyembunyikannya itu, apakah menurutmu jika itu aku ketahui, maka dengan segera aku tidak lagi menilaimu sebagai Foster yang baik? Atau kamu merasa, jika aku mengetahui itu, maka dengan segera aku akan menganggapmu menjijikkan?"
Kepolosan yang sungguh luar biasa. Kepolosan yang terlalu polos. Manusia yang begitu manusiawi. Mengapa saya sampai mengatakan demikian? Jujur, dalam pengalaman hidup, saya belum menjumpai orang yang demikian polosnya. Apalagi jika sudah berkaitan dengan hal-hal yang dianggap tabu dalam masyarakat.
Saya bisa membayangkan, kalaulah posisi saya di Nussbaum, besar kemungkinan, Foster yang kini akan segera saya anggap lebih rendah daripada Foster yang sebelumnya yang pernah saya kenal! Dan, saya juga tidak tahu persis mengapa bisa demikian, tapi saya mencurigai berbagai norma-norma dalam masyarakat sekitarlah yang membentuk cara pandang semacam itu.
Kabar bagusnya, Foster bertemu dengan Nussbaum, dan bukan dengan orang-orang seperti saya, sehingga dengan pertemuan itu, Nussbaum di kemudian hari, berhasil membangun suatu refleksi dan pemikiran yang kokoh untuk membela orang-orang seperti Foster.
Kalau bertemu dengan orang-orang seperti saya, alih-alih membangun pembelaan kemanusiaan, malahan justru ikut-ikutan merendahkan kemanusiaan si Foster.
Pendidikan Karakter: Keprihatinan akan Realita Pendidikan Kita
Tentunya menjadi keprihatinan bersama bagi para pendidik serius terkait fenomena yang menunjukkan kecenderungan lembaga pendidikan yang menomorsatukan pengetahuan dan kecakapan teknis semata, serta menganaktirikan potensi imajinasi dan simpati mereka.Karlina Supelli menulis; "Sudah lama para pendidik yang serius memikirkan masa depan anak merasa prihatin dengan kecenderungan banyak pihak yang menjadikan pendidikan sebagai sekadar mesin produksi tenaga yang laku di pasar kerja. Pendidikan menjadi sarana untuk mencetak para tukang yang dilatih untuk hanya memikirkan hal-hal praktis yang bernilai ekonomis." (Paragraf 3 di bawah sub-judul "Membayangkan Indonesia,")
Pendidikan karakter yang didengungkan selama ini, entah bagaimana, masih terasa hanya sebatas slogan dan formalisme tanpa ruh. Di lapangan, untuk menemukan penekanan pengajaran yang menajamkan rasa sangat sulit didapat. Yang banyak, adalah sebatas mentransfer pengetahuan serta melatih keahlian teknis semata.
Karlina Supelli menulis; "Ketika orang dididik untuk terbiasa memikirkan hal-hal yang punya nilai ekonomis belaka, dia kehilangan kemampuan...untuk mengembangkan daya abstraksi. Sebuah bangsa yang warganya miskin dalam berpikir abstrak, tidak mungkin memiliki imajinasi...apalagi imajinasi kolektif...saling peduli dan tergerak untuk membayangkan kesengsaraan orang lain sebagai pengalaman kesengsaraannya." (Paragraf 4 di bawah sub-judul "Membayangkan Indonesia.")
Melatih imajinasi dan simpati merupakan bagian dari pendidikan karakter. Namun, dalam kenyataannya sekarang, dunia pendidikan lebih berfokus pada sesuatu yang bernilai ekonomis semata. Oleh karena itu, menjadi penting bagi kita untuk kembali merefleksikan salah satu filosofi tujuan pendidikan, yaitu "memanusiakan manusia."[]