Hasrat Selalu Menghasrati Hasrat Orang Lain
Oleh: Arizul Suwar
Insting paling purba manusia adalah hasrat untuk diterima dan diakui keberadaanya oleh orang lain. Hasrat tersebut membentuk sebuah gambaran identitas untuk menjawab "aku harus dikenal sebagai apa?"
Sebagai penegasan, tulisan ini tidak sedang membicarakan personal branding, atau semacamnya. Tulisan ini berada pada dimensi yang lebih mendasar dari sekadar personal branding.
Tulisan ini mencoba untuk memberikan gambaran sederhana tentang cara kerja hasrat untuk diterima dan diakui pada diri seseorang.
Kita kembali ke pembahasan awal. Hasrat untuk diterima dan diakui pada seseorang rupanya selalu bertaut dengan hasrat-hasrat orang lain di sekitarnya. Bagaimana maksudnya?
Misalnya, ketika seorang perempuan ingin tampil cantik untuk seorang laki-laki. Dan diketahui bahwa ukuran cantik dalam hasrat laki-laki itu ialah memiliki rambut gelap panjang dan alis yang tebal.
Maka, si perempuan yang menghasrati pengakuan dan penerimaan dari orang tersebut, harus terlebih dahulu memenuhi ukuran hasrat kecantikan yang telah ditetapkan, yaitu mengolah rambut dan alisnya sedemikian rupa agar sesuai dengan hasrat laki-laki tersebut.
Contoh selanjutnya, sebuah keluarga yang menghasrati pengakuan status sosial tinggi dari masyarakat sekitarnya, maka terlebih dahulu keluarga ini harus memenuhi ukuran hasrat masyarakat sekitarnya.
Misal, ukuran sebuah keluarga dengan status sosial tinggi itu ialah memiliki rumah besar dan mobil mewah. Maka, keluarga tersebut jika hendak memenuhi hasratnya untuk dianggap sebagai keluarga dengan status sosial tinggi, maka sebelumnya dia harus memenuhi ukuran hasrat masyarakat di sekitarnya yaitu memiliki rumah besar dan mobil mewah terlebih dahulu.
Dari kedua contoh di atas, terlihat dengan jelas bagaimana pertautan hasrat seseorang dengan hasrat orang lain. Ketika seseorang hendak memenuhi hasratnya, itu berarti dia harus terlebih dahulu memenuhi hasrat orang lain di sekitarnya.
Ketika seseorang telah memenuhi hasrat orang lain, dan dengan begitu dia beranggapan bahwa hasratnya juga sudah terpenuhi, maka terbentuklah sebuah identitas yang harus dipertahankan, dan untuk itu dia harus terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan hasrat orang lain.
Misal, ketika seseorang sudah memenuhi berbagai kriteria kecantikan yang dihasrati oleh orang-orang di sekitarnya, maka dia pun untuk sementara waktu dinobatkan sebagai orang cantik.
Namun ketika ukuran hasrat orang-orang di sekitarnya berubah, maka ukuran cantik pun berubah, dan untuk itu, seseorang harus terus menyesuaikan diri dengan ukuran hasrat orang lain.
Karena jika tidak menyesuaikan, maka identitas kecantikan yang dimilikinya akan hilang.
Kehilangan identitas tentunya akan menimbulkan guncangan dalam diri seseorang, karena itu, seseorang harus mati-matian menyesuaikan diri dengan hasrat orang lain agar tidak kehilangan identitas yang dihasratinya.
Jika demikian, berarti lingkaran hasrat tidak akan pernah selesai, dia terus menerus menuntut standar baru yang tidak berkesudahan. Kita akan menderita jika terus menerus berada dalam pusaran hasrat. Lantas harus bagaimana?
Sebelum mencoba menjawab itu, saya ingin memberikan sedikit intermeso yang mungkin bisa menjadi gambaran jawaban pertanyaan tersebut.
Saya suka membaca dan menulis hal-hal yang berkaitan dengan refleksi pribadi. Menelusuri berbagai makna dari beragam peristiwa keseharian, menelusuri akar-akar permasalahan yang ditemukan dalam fenomena kehidupan dan sebagainya. Yang jelas, itu semua berkaitan dengan pengalaman kedirian dan kedisinian.
Ketika menulis, saya sadar betul bahwa apa yang akan saya tuliskan ini tidak sejalan dengan hasrat kebanyakan orang. Dengan bahasa lain, orang tidak suka membaca tulisan-tulisan seperti ini.
Akan tetapi itu sama sekali tidak menjadi persoalan bagi saya. Kenapa? Pertama, sampai kapan saya harus mengikuti hasrat orang banyak? Ketika saya mengikuti satu hasrat, maka saya harus terus-menerus menyesuaikan diri dengan hasrat mereka yang tidak mengenal kata akhir itu.
Sebutlah, jika tren sekarang adalah belanja atau bisnis misalnya, maka ketika saya terus menerus menyesuaikan tulisan dengan tren itu, dan ketika sudah hampir sampai dipuncak--sebutlah demikian--kecenderungan hasrat orang lain pun kemudian berubah, dan akhirnya saya pun harus menyesuaikan lagi dengan hasrat baru mereka. Mau sampai kapan?
Kedua, ketika melakukan sesuatu yang motifnya tidak berangkat dari kesadaran diri tentunya itu sangat menyiksa. Atas dasar itu, ketekunan untuk terus-menerus mengembangkan potensi diri tentunya menjadi penting. Di sini, hasrat itu harus dibalikkan dari sebelumnya tertuju ke luar maka dibalikkan arahnya agar tertuju ke dalam. Fokus ke dalam untuk mengembangkan berbagai potensi yang ada.
Baiklah, kita lanjut untuk menjawab bagaimana kelanjutan untuk pengelolaan hasrat. Hasrat merupakan energi kreatif yang terus bekerja tanpa mengenal kata akhir. Hasrat untuk diterima dan diakui merupakan bagian tak terpisahkan dari setiap manusia.
Hasrat untuk diterima dan diakui itu, jika diarahkan ke luar diri maka akan disambut oleh beragam hasrat orang lain yang tidak pernah selesai. Oleh karena itu, hasrat tersebut harus diarahkan ke dalam diri, artinya berfokus untuk menjadi diri sendiri.
Ketika hasrat diarahkan ke dalam diri, maka energinya akan menuntun kita untuk terus menerus mengembangkan potensi diri, dan dengan itu, kita menjadi unik dan menemukan identitas khas yang otentik. Keotentikan inilah yang pada gilirannya akan membangun sebuah identitas yang melekat pada diri seseorang.
Identitas yang dibangun dari dalam diri tidak membutuhkan sikap ikut-ikutan hasrat orang lain, berbeda dengan identitas yang dibangun oleh pengakuan orang lain yang sifatnya terus berubah.
Sebagai penutup, pertanyaan "aku harus dikenal sebagai apa?" Hanya bisa ditemukan secara otentik jika hasrat diarahkan ke dalam diri. Sedangkan jika hasrat diarahkan ke luar diri, maka ia hanya akan disambut oleh hasrat orang lain yang tak berkesudahan. Hasrat ke luar diri selalu akan menghasrati hasrat orang lain.[]