Takdir bagi Setiap Orang Adalah Kesendirian
Oleh: Arizul Suwar
Takdir bagi setiap orang adalah kesendirian, sebagaimana takdir bagi setiap kehidupan adalah kematian.*
Kebanyakan orang—atau mungkin semua orang—takut kesendirian.
Itulah kenapa, seseorang lalu mencari teman untuk berbicara, tertawa bersama, berbagi cerita dan sebagainya.
Itu semua dapat dipahami sebagai suatu usaha, yang mungkin dilakukan, sebagai jalan untuk menjauh dari apa yang disebut sebagai “kesendirian.”
Lalu, jika kita bertanya, apakah pertemanan, pergaulan, dan relasi sosial secara umum, semua itu disebabkan oleh rasa kesendirian?
Saya kira tidak sesederhana itu. Namun, kesendirian merupakan salah satu jawaban dari pertanyaan “Mengapa manusia membagun hubungan sosial?”
Kita kembali ke pembahasan utama. Kesendirian seringkali dipadankan dengan kesepian.
Entah kenapa, mungkin karena banyak fenomena yang mengindikasikan kesesuaian antara dua istilah itu.
Walau sebenarnya kedua istilah itu memiliki makna dan konotasi berbeda.
Kesendirian tidak selalu berarti kesepian. Begitu juga kesepian, tidak melulu disebabkan oleh kesendirian.
Seseorang bisa saja merasa kesepian walau berada dalam keramaian.
Ini jelas sekali menunjukkan bahwa kesepian tidak selalu bertaut dengan kesendirian.
Di samping itu, bagi sedikit orang, kesendirian dibutuhkan sebagai sarana untuk mengintrospeksi kehidupan yang telah dijalaninya.
Yang jelas, kesendirian dan kesepian merupakan dua istilah yang tidak bermakna sama.
Memang tak bisa dipungkiri bahwa ada kasus yang menunjukkan, orang yang merasa berada dalam kesendirian juga merasakan kesepian.
Adakalanya juga, seseorang yang merasa kesepian itu cenderung pada kesendirian.
Akan tetapi kasus-kasus semacam itu tidak bisa dijadikan basis argumentasi untuk menyatakan bahwa kesendirian dan kesepian itu memiliki makna yang sama.
Mari kita lanjutkan. Mengapa kebanyakan orang takut kesendirian?
Jawaban yang paling tegas adalah karena seseorang takut menatap keresahan yang ada dalam dirinya.
Berbagai kecamuk dalam jiwa seperti resah, khawatir, cemas, akan segera menggelegak keluar silih berganti ketika seseorang berada dalam kesendiriannya.
Itulah yang ditakutkan, itulah yang tak berani ditatap.
Seperti kata Abang Saleh dalam Animasi Upin & Ipin, “Tak kuase aku!”
Lantas harus bagaimana.
Apakah kita memilih untuk terus menghindari dan menjauhi kesendirian?
Atau haruskah kita memberanikan diri untuk menatap berbagai kecamuk jiwa itu?
Jika kita memilih untuk menghindari dan menjauh, pertanyaannya, sampai kapan kita akan terus menghindar?
Bukanlah kita akan terus diintai oleh kesendirian? Bukankan kesendirian itu adalah takdir bagi kita?
Kita hadir ke dunia dengan kesendirian, dan dengan seorang diri juga kita akan meninggalkan semuanya?
Bukankah takdir bagi setiap orang adalah kesendirian, sebagaimana takdir bagi setiap kehidupan adalah kematian?
“Tak kuase aku!”
Tidak ada jawaban lain untuk menghadapi kesendirian selain berjabat tangan dengannya.
Berjabat tangan lalu memberanikan diri untuk menatap berbagai hal yang muncul dari dirinya.
Wajah kecemasan, khawatir, takut, saling bergantian menatap kita.
Tataplah mereka, dan tanyakan, mengapa engkau cemas? Apa yang kamu khawatirkan? Megapa kamu takut? bicaralah dengan semua rasa itu.
Di balik wajah yang semula kita anggap seram itu, ternyata ada kerapuhan dan kekuatan yang saling melengkapi di sana.
Sambutlah mereka dengan tersenyum.
Ingatlah, kita tidak akan pernah bisa lari dari mereka.
Mereka adalah bagian dari eksistensi kita.
Bagaimanapun usaha yang kita lakukan untuk menghindari mereka, semua itu akan sia-sia, karena mereka adalah takdir kita.
“Tak kuase aku!” sebagaimana yang disampaikan Abang Saleh haruslah diganti dengan “Iya! Aku terima kalian.”
Menatap dan menerima kesendirian berarti mengizinkan diri untuk menelusuri berbagai kelemahan.
Pun dengan itu, kesendirian akan mengantarkan kita menuju refleksi tentang hidup yang telah kita jalani.
Apakah akan terus bertahan dengan hidup semacam itu, atau mungkin akan mencoba untuk menemukan berbagai kemungkinan lain yang lebih baik.
Kesendirian sesungguhnya juga akan menunjukkan berbagai hal yang selama ini luput dari perhatian.
Keriuhan dan keramaian yang selama ini kita senangi, ternyata telah menjadi kabut gelap yang menutupi banyak hal di dalam diri.
Keriuhan membuat kita abai untuk memperhatikan suara hati nurani, suara yang kian hari kian redup.
Suara yang senantiasa bertanya mengapa kamu seperti ini?
Kesendirian akan menyadarkan kita terhadap hal-hal yang selama ini mungkin dianggap sepele.
Kesendirian juga akan mengantarkan kita pada kelemahan diri, dan dengan itu dia ingin agar kita merangkul kelemahan diri sendiri.
Kelemahan diri yang selama ini kita tolak itu, dan sungguh-sungguh kita pojokkan, oleh kesendiran akan diantar ke hadapan kita.
Memang, tak bisa disangkal, menatap kesendirian bukanlah perkara mudah.
Tapi kita tidak ada pilihan lain!
Ingatlah, jika kita tidak berani menatap kesendirian, sama halnya kita sedang menyangkal diri kita sendiri. Menyangkal eksistensi diri.
Jika itu yang terjadi, maka kita tidak akan pernah menjadi diri sendiri.
Mengapa demikian? Karena kesendirian adalah takdir bagi setiap orang, sebagaimana takdir bagi setiap kehidupan adalah kematian.[]
*Bdk, Mashdar Zainal, Sawitri dan Tujuh Pohon Kelahiran (2018: 286).