Abang Kuli dan Kakak Kelas: Sebuah Refleksi Keseharian
Oleh: Arizul Suwar
Sejenak setelah menyeruput kopinya, Bang Subhan bercerita tentang temannya yang dulu bekerja sebagai kuli bangunan. "Kawan ini" katanya, "setiap pagi membeli sarapan di warung dekat tempat dia bekerja.
Dia memilih tempat itu bukan karena harganya murah, apalagi porsinya hanya sedikit, yang baginya tentu tidak memenuhi kebutuhan tenaga yang harus diperoleh untuk bekerja. Namun karena tidak ada warung lain yang terjangkau, mau tidak mau, dia harus berbelanja di situ.
Karena porsinya yang sedikit, tak jarang dia menggerutu. Sehingga suatu hari dia berkata kepada teman-temannya sesama kuli, "kalau aku kaya nanti, aku akan berjualan nasi dengan porsi yang besar."
Benarlah apa yang dia katakan itu. Beberapa tahun berlalu, dia akhirnya bisa mendirikan warung sebagaimana yang dia cita-citakan.
Asli, porsi yang dia berikan, satu bungkus nasi dapat mengenyangkan tiga orang." Mendengarkan cerita itu, kami tertawa bersama.
Memang harus diakui, Bang Subhan adalah sosok yang handal bercerita.
Mendengar itu, tiba-tiba saya teringat kembali pengalaman masa sekolah. Tepatnya, pengalaman tentang kakak kelas yang sesuka hati memperlakukan siswa baru, ketika pertama kali masuk sekolah. Kami menyebutnya MOS (Masa Orientasi Siswa).
Pernah suatu ketika, baru beberapa langkah dari pintu sebuah kelas, terdengar suara sedikit tinggi dari kakak kelas yang mengatakan: "Kami dulu diperlakukan seperti ini oleh kakak leting, karena itu kalian juga harus merasakannya." Dalam batin saya bergumam; "balas dendam nampaknya."
Dari kedua kasus di atas, ada satu hal yang begitu kontras. Mengapa kawan Bang Subhan yang kuli bangunan itu tidak mengatakan "kalau aku kaya nanti, aku akan berjualan nasi dengan porsi yang lebih sedikit dari ini, biar tau rasa" saat dia menggerutu pada teman-temannya.
Sebaliknya, mengapa kakak kelas dengan suara lantangnya itu tidak mengatakan "Kami dulu diperlakukan seenaknya oleh kakak leting, karena itu kami tidak ingin hal yang sama terjadi pada kalian."
Jika ada yang mengira bahwa orang-orang di lembaga pendidikan seluruhnya lebih baik daripada Abang kuli bangunan, maka kasus di atas dapat menjadi pertimbangan untuk tidak segera membenarkan perkiraan seperti itu.
Pembalasan yang Berbeda
Dari kedua kasus tersebut juga, kita bertanya, nilai-nilai macam apa yang dihidupi atau dihayati oleh Abang kuli dan Kakak kelas itu?
Sehingga dari pengalaman yang sama-sama tidak mengenakkan, sama-sama menderita, namun akhirnya mereka berbeda jalan untuk "membalasnya."
Yang satu ingin agar orang lain tidak mengalami ketidak-enakan sebagaimana yang telah dia alami.
Sedangkan yang kedua, ingin orang lain mengalami juga, rasa tidak enak sebagaimana yang pernah dia alami, dengan dalih, supaya adil.
Kita tentu sepakat bahwa manusia adalah makhluk menyejarah. Artinya, tidak ada satu orang pun yang lepas dari pengaruh pengalaman hidup yang dijalaninya, sedari kecil hingga helaan nafas saat ini.
Kita bisa membuat pengandaian, bahwa Abang kuli itu, mungkin sedari kecil ditanamkan nilai agar jangan membalas keburukan dengan keburukan.
Demikian juga si Kakak kelas itu, mungkin dia punya pengalaman pahit ketika berbuat baik kepada orang lain.
Bisa jadi, bukan sekali dua kali, orang yang pernah dibelanya dulu, janganlah menghargai malah berbuat buruk kepadanya. Begitulah kira-kira pengandaian yang bisa kita bayangkan.
Perspektif yang Berbeda
Ngomong-ngomong terkait kedua kasus di atas, kita juga bukan tidak pernah melihat langsung atau mendengarkan tentang seorang kaya yang pelitnya minta ampun.
Orang itu dulu miskin, entah bagaimana nasibnya berubah seratus delapan puluh derajat menjadi kaya raya. Yang kini, oleh kebanyakan orang di sekitarnya di cap sebagai "si kaya pelit" yang mungkin akan mendapatkan azab seperti di film-film ketika dia mati nanti.
Dari kasus itu, ada sudut pandang menarik yang jarang orang meliriknya. Entah karena luput atau karena memang tak peduli. Bisa jadi, si "kaya pelit" itu tidak mau peduli kepada nasib orang lain, karena pengalaman hidupnya menunjukkan bahwa "Tidak ada satu orang pun yang peduli ketika dulu aku miskin. Lantas mengapa aku harus sibuk untuk memperdulikan mereka.
Dulu, semua pandangan melihatku dengan jijik, baru sekarang ketika sudah kaya begini mereka mendaku dan mengaku sebagai sanak saudara."
Tulisan ini tidak bertendensi untuk membela sifat pelit atau kikir itu. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa, tidak selamanya hal-hal buruk yang ada pada seseorang itu murni keburukan dari orang yang bersangkutan.
Bisa jadi, sifat-sifat itu adalah bentukan dari orang-orang terdekat yang bahkan tidak mereka sadari.
Kembali ke cerita Abang kuli dan Kakak kelas. Saya tentu tidak setuju dengan sikap yang diambil Kakak kelas itu. Bagi saya, itu balas dendam. Namun, saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan dia atas sikap yang diambilnya. Dan saya membuktikan ketidaksetujuan itu ketika menjadi kakak kelas, saya tidak memperlakukan siswa baru sebagaimana dulu saya diperlakukan.
Di samping itu, kepada teman-teman yang lain juga saya sampaikan, jangan jadikan siswa baru, adik-adik itu, sebagai objek balas dendam.
Simpulan
Kebanyakan kita sepakat bahwa sikap Abang kuli adalah lebih baik daripada Kakak kelas.
Namun, kita harus sadar betul, bahwa jangan-jangan kita termasuk salah satu orang yang ikut berkontribusi membentuk watak balas dendam sebagaimana tercermin pada Kakak kelas tersebut.
Mungkin ada orang yang telah kita khianati, kita tipu dan sebagainya. Maka, saya tiba-tiba teringat kalimat Jalaluddin Rumi, "ketika engkau melihat keburukan pada orang lain, ingatlah itu adalah pantulan keburukanmu yang tercermin padanya."
Sebagai penutup, ketika hendak pulang, saya mengulang kalimat Bang Subhan, Jagalah Halamanmu! []
Sebagai penutup, ketika hendak pulang, saya mengulang kalimat Bang Subhan, Jagalah Halamanmu! []