Jerat Hasrat: Sebuah Refleksi tentang Kebutuhan Identitas
Hasrat terhadap sesuatu pada awalnya berkaitan erat dengan kebutuhan hidup kita. Tapi entah bagaimana, dalam relasi sosial, hasrat lalu menjelma menjadi simbol identitas.
Ada dua paragraf yang sangat menarik dalam buku berjudul Skizoanalisis Delueze & Guattari: Sebuah Pengantar Genealogi Hasrat yang ditulis oleh Agustinus Hartono.* Pada bagian Identitas Selalu Merupakan Hasrat terhadap "Liyan", Di sini saya akan kutipkan dua paragraf tersebut:
Ego tidak hanya kehilangan kejernihannya dalam membedakan hasrat akan identitas dirinya dengan hasrat akan identitas orang lain, tetapi mencampuradukkan atau merancukan hasratnya akan identitas orang lain.
Parahnya, hasrat akan identitas mendatangkan korban atau tumbal baru. Identitas keakuan adalah korban baru tersebut dalam proses pencarian definisi diri. Sebab, hasrat untuk memiliki identitas (mendapat pengakuan) mendorong Ego untuk meyakini dirinya sebagai objek.
Keyakinan ini membuat Ego melihat dirinya sebagai objek dari hasrat orang lain. Hasrat orang lain adalah hasrat bersama... dan dengan identifikasi dengan hasrat orang lain, dia sebenarnya menghasrati apa yang sebenarnya dihasrati orang lain. ...
Pada saat subjek menghasrati hasrat orang lain, pada saat bersamaan terjadi "pembiasaan hasrat" Artinya, pada saat kita menghasrati apa yang dihasrati oleh orang lain, kita tidak menghasrati "objek" tersebut, karena hasrat tidak divalidasi oleh properti yang terkandung dalam objek yang dihasrati orang lain.
Seseorang tidak menghasrati objek tertentu karena kualitas objek itu, tetapi karena ada sesuatu yang lain, yakni karena objek tersebut memberikan nilai ontologis kepada "orang lain".
Inilah yang sesungguhnya diincar oleh individu dalam menghasrati objek.
Contohnya, saya menginginkan perabot mewah tetangga bukan karena kualitas perabot tersebut, tetapi karena perabot tersebut memberikan sense of identity pada tetangga.
Pada titik ini, ringkasnya, pada saat orang berpaling kepada hasrat orang lain, ia tidak akan sampai pada pencapaian pemenuhan hasrat akan identitasnya.
Pertanyaan-Pertanyaan
Dua paragraf di atas, memantik refleksi saya terhadap pengalaman keseharian. Tepatnya, pengalaman tentang hasrat (kehendak) untuk memiliki.
Pertama sekali, hasrat atau kehendak selalu berkaitan dengan identitas seseorang. Apa yang dihasratinya juga menjadi indikasi kualitas diri orang tersebut.
Poin-poin di atas tidak akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini, saya akan memfokuskan tulisan ini pada dua pertanyaan yang akan direfleksikan oleh setiap diri masing-masing.
Apa sih yang sesungguhnya kita hasrati? Mengapa kita menghasrati itu? Kita akan mencoba mengeksplorasi beberapa jawaban untuk menjawab dua pertanyaan tersebut.
Supaya lebih terarah, saya akan membatasi konteks pertanyaan dan penelusuran jawaban terhadapnya. Kedua pertanyaan tersebut akan kita jawab dalam konteks relasi sosial (aku dengan orang lain).
Eksplorasi Jawaban
Pertama
Apa sih yang sesungguhnya kita hasrati? Seringkali, kita menghasrati apa yang ada pada orang lain. Dengan istilah lain, menghasrati hasrat orang lain.
Bukankah peribahasa rumput tetangga lebih hijau dari rumput sendiri sudah sangat sering kita dengar. Sudah saatnya kita bertanya, mengapa demikian? Bukankah keduanya sama-sama "rumput".
Peribahasa itu mengajak untuk kembali mempertanyakan hasrat-hasrat yang entah bagaimana telah bersarang dalam diri kita. Kita bertanya, mengapa kita menghasrati barang-barang yang ada pada teman kita, perabot tetangga, atau HP baru sahabat kita.
Apakah benar kita menghasrati barang-barang itu, atau jangan-jangan yang kita hasrati adalah rasa senang atau bangga yang nampak pada tingkah polah teman atau tetangga?
Jawaban yang paling jelas adalah kita sebenarnya tidak menghasrati barang pada dirinya sendiri, melainkan rasa senang dan bangga yang ada pada orang lain. Buktinya, ketika nanti barang itu sudah menimbulkan kebosanan, toh kita tak suka lagi terhadapnya. Tak jarang kita semena-mena memperlakukan barang yang padahal, pada awalnya telah kita usahakan dengan susah payah.
Hasrat terhadap sesuatu pada awalnya berkaitan erat dengan kebutuhan hidup kita. Tapi entah bagaimana, dalam relasi sosial, hasrat lalu menjelma menjadi simbol identitas.
Jika aku memiliki barang ini, maka tentu aku akan dianggap keren dan kekinian, sebutlah begitu pengandaiannya. Tapi rupanya, hasrat-hasrat itu tidak akan pernah menemukan titik finalnya. Dia terus saja berubah dan menemukan bentuk baru.
Jika bulan lalu saya menghasrati HP dengan merek ini, bulan ini saya menghasrati HP dengan merek itu, dan begitu juga dengan hasrat-hasrat yang lain.
Ada semacam rasa nikmat tertentu ketika kita menghasrati apa yang ada pada orang lain. Persoalannya adalah, apakah benar jika kita sudah meraih hasrat tersebut, rasa senang dan bangga sebagaimana yang kita proyeksikan sebelumnya akan terwujud? Belum tentu, bahkan dalam banyak kasus menunjukkan ketidakbenaran pernyataan tersebut.
Rasa senang dan bangga itu hanya semacam rangsangan untuk melejitkan ambisi saat itu, namun ketika yang dihasrati telah didapat, bersamaan dengan itu rasa senang dan bangga akan berangsur-angsur hilang.
Untuk itu, ada baiknya jika terlebih dahulu kita mempertanyakan apakah benar sesuatu yang sedang saya hasrati ini memang memiliki nilai yang sedang saya butuhkan? Jika tidak, maka tinggalkanlah.
Kita kembali kepada prinsip; hasratilah apa yang dibutuhkan bukan yang diinginkan. Apa yang baik bagi orang lain tidak serta merta baik buat kita. Ini sangat penting untuk disadari.
Identitas yang ada pada orang lain tidak serta merta harus ditiru. Sangat penting untuk mengantisipasi apa yang disampaikan Heidegger "seseorang yang kehilangan keunikannya akan memuji sesuatu yang dipuji orang lain, akan menilai sesuatu melalui kacamata orang lain, dan bahkan akan merasa dengan ukuran orang lain".
Dari sini, kita mendapatkan semacam arah baru bagi hasrat-hasrat yang keluar masuk dalam kesadaran kita. Sadari hasrat itu lalu arahkan sesuai kebutuhan kita.
Kedua
Mengapa kita menghasrati itu? Menghasrati apa yang orang lain hasrati. Hal ini karena entah bagaimana kita merasa bahwa identitas itu ada di luar diri, artinya identitas itu dapat dibentuk dari luar.
Contohnya, jika orang kaya memiliki mobil dengan merek ini, maka kalau saya memiliki mobil tersebut otomatis menjadi orang kaya, paling tidak saya akan dianggap orang kaya. Demikianlah cara kerja dalam hal merasa memiliki identitas tertentu.
Tapi benarkah demikian, bagi kebanyakan orang mungkin berpikir demikian, tapi coba ditelisik baik-baik, bukankah ketika menghasrati apa yang dihasrati orang lain, kita sama dengan sedang memaksakan diri atau bahkan menyiksa diri untuk meraih sesuatu yang berada di luar jangkauan wajar kita?
Karena itu, kembali lagi pada poin awal pada jawaban pertama, bahwa ada baiknya ketika menghasrati kita mempertanyakan apakah benar saya membutuhkan ini semua?
Sebenarnya, hasrat dan identitas setiap individu itu unik alias berbeda satu sama lain. Namun, karena ketenggelamannya dalam relasi dengan orang lain (kelompok/massa), akhirnya keunikan itu hilang dan menjadi seragam.
Ketika menjadi seragam, seseorang akan semakin kabur dalam memaknai yang mana kebutuhan dan yang mana keinginan. Parahnya, ketika seseorang telah jauh tenggelam dalam keseragaman, yang membuatnya semakin jauh dari keunikan individu, orang ini lalu akan merasa serba kekurangan, karena tidak tahu lagi yang mana identitasnya.
Pada tahap ini, dia akhirnya semacam menginginkan segala hal, semua yang dia rasa dapat mendatangkan kenikmatan akan diusahakan untuk dimiliki walau dengan segala cara. Tak peduli apa pun itu, walau pada akhirnya ketika itu sudah didapatnya, perasaan hampa akan segera bercokol lagi dalam jiwanya.
Penutup
Hasrat itu menyelinap ke dalam kesadaran setiap kita. Entah bagaimana caranya, yang pasti, dengan tiba-tiba dia sudah ada di sana.
Ada yang menjelaskan bahwa hasrat itu berasal dari alam bawah sadar, namun karena keterbatasan, saya tidak bisa mengeksplorasinya dalam tulisan ini. Yang penting bagi kita saat ini adalah mengenali dan mengantisipasi hasrat.
Kita tidak bisa membunuh hasrat, semakin dia ditekan maka akan semakin tinggi pula pantulannya ke alam sadar kita. Tanpa antisipasi, kita akan dihancurkan oleh hasrat. Bagaimana mengantisipasinya, setidaknya kita tidak tergesa-gesa untuk mengatakan "iya" atau "tidak" kepada hasrat, melainkan menelisik lebih jauh terlebih dahulu ke dalam diri untuk mencari apa sebenarnya yang ada di balik hasrat.
Dengan pencarian itu, setidaknya kita akan bersikap bijak dalam memperlakukan hasrat. []
* Agustinus Hartono, Skizoanalisis Delueze & Guattari: Sebuah Pengantar Genealogi Hasrat, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007).
Pada titik ini, ringkasnya, pada saat orang berpaling kepada hasrat orang lain, ia tidak akan sampai pada pencapaian pemenuhan hasrat akan identitasnya.
Pertanyaan-Pertanyaan
Dua paragraf di atas, memantik refleksi saya terhadap pengalaman keseharian. Tepatnya, pengalaman tentang hasrat (kehendak) untuk memiliki.
Pertama sekali, hasrat atau kehendak selalu berkaitan dengan identitas seseorang. Apa yang dihasratinya juga menjadi indikasi kualitas diri orang tersebut.
Poin-poin di atas tidak akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini, saya akan memfokuskan tulisan ini pada dua pertanyaan yang akan direfleksikan oleh setiap diri masing-masing.
Apa sih yang sesungguhnya kita hasrati? Mengapa kita menghasrati itu? Kita akan mencoba mengeksplorasi beberapa jawaban untuk menjawab dua pertanyaan tersebut.
Supaya lebih terarah, saya akan membatasi konteks pertanyaan dan penelusuran jawaban terhadapnya. Kedua pertanyaan tersebut akan kita jawab dalam konteks relasi sosial (aku dengan orang lain).
Eksplorasi Jawaban
Pertama
Apa sih yang sesungguhnya kita hasrati? Seringkali, kita menghasrati apa yang ada pada orang lain. Dengan istilah lain, menghasrati hasrat orang lain.
Bukankah peribahasa rumput tetangga lebih hijau dari rumput sendiri sudah sangat sering kita dengar. Sudah saatnya kita bertanya, mengapa demikian? Bukankah keduanya sama-sama "rumput".
Peribahasa itu mengajak untuk kembali mempertanyakan hasrat-hasrat yang entah bagaimana telah bersarang dalam diri kita. Kita bertanya, mengapa kita menghasrati barang-barang yang ada pada teman kita, perabot tetangga, atau HP baru sahabat kita.
Apakah benar kita menghasrati barang-barang itu, atau jangan-jangan yang kita hasrati adalah rasa senang atau bangga yang nampak pada tingkah polah teman atau tetangga?
Jawaban yang paling jelas adalah kita sebenarnya tidak menghasrati barang pada dirinya sendiri, melainkan rasa senang dan bangga yang ada pada orang lain. Buktinya, ketika nanti barang itu sudah menimbulkan kebosanan, toh kita tak suka lagi terhadapnya. Tak jarang kita semena-mena memperlakukan barang yang padahal, pada awalnya telah kita usahakan dengan susah payah.
Hasrat terhadap sesuatu pada awalnya berkaitan erat dengan kebutuhan hidup kita. Tapi entah bagaimana, dalam relasi sosial, hasrat lalu menjelma menjadi simbol identitas.
Jika aku memiliki barang ini, maka tentu aku akan dianggap keren dan kekinian, sebutlah begitu pengandaiannya. Tapi rupanya, hasrat-hasrat itu tidak akan pernah menemukan titik finalnya. Dia terus saja berubah dan menemukan bentuk baru.
Jika bulan lalu saya menghasrati HP dengan merek ini, bulan ini saya menghasrati HP dengan merek itu, dan begitu juga dengan hasrat-hasrat yang lain.
Ada semacam rasa nikmat tertentu ketika kita menghasrati apa yang ada pada orang lain. Persoalannya adalah, apakah benar jika kita sudah meraih hasrat tersebut, rasa senang dan bangga sebagaimana yang kita proyeksikan sebelumnya akan terwujud? Belum tentu, bahkan dalam banyak kasus menunjukkan ketidakbenaran pernyataan tersebut.
Rasa senang dan bangga itu hanya semacam rangsangan untuk melejitkan ambisi saat itu, namun ketika yang dihasrati telah didapat, bersamaan dengan itu rasa senang dan bangga akan berangsur-angsur hilang.
Untuk itu, ada baiknya jika terlebih dahulu kita mempertanyakan apakah benar sesuatu yang sedang saya hasrati ini memang memiliki nilai yang sedang saya butuhkan? Jika tidak, maka tinggalkanlah.
Kita kembali kepada prinsip; hasratilah apa yang dibutuhkan bukan yang diinginkan. Apa yang baik bagi orang lain tidak serta merta baik buat kita. Ini sangat penting untuk disadari.
Identitas yang ada pada orang lain tidak serta merta harus ditiru. Sangat penting untuk mengantisipasi apa yang disampaikan Heidegger "seseorang yang kehilangan keunikannya akan memuji sesuatu yang dipuji orang lain, akan menilai sesuatu melalui kacamata orang lain, dan bahkan akan merasa dengan ukuran orang lain".
Dari sini, kita mendapatkan semacam arah baru bagi hasrat-hasrat yang keluar masuk dalam kesadaran kita. Sadari hasrat itu lalu arahkan sesuai kebutuhan kita.
Kedua
Mengapa kita menghasrati itu? Menghasrati apa yang orang lain hasrati. Hal ini karena entah bagaimana kita merasa bahwa identitas itu ada di luar diri, artinya identitas itu dapat dibentuk dari luar.
Contohnya, jika orang kaya memiliki mobil dengan merek ini, maka kalau saya memiliki mobil tersebut otomatis menjadi orang kaya, paling tidak saya akan dianggap orang kaya. Demikianlah cara kerja dalam hal merasa memiliki identitas tertentu.
Tapi benarkah demikian, bagi kebanyakan orang mungkin berpikir demikian, tapi coba ditelisik baik-baik, bukankah ketika menghasrati apa yang dihasrati orang lain, kita sama dengan sedang memaksakan diri atau bahkan menyiksa diri untuk meraih sesuatu yang berada di luar jangkauan wajar kita?
Karena itu, kembali lagi pada poin awal pada jawaban pertama, bahwa ada baiknya ketika menghasrati kita mempertanyakan apakah benar saya membutuhkan ini semua?
Sebenarnya, hasrat dan identitas setiap individu itu unik alias berbeda satu sama lain. Namun, karena ketenggelamannya dalam relasi dengan orang lain (kelompok/massa), akhirnya keunikan itu hilang dan menjadi seragam.
Ketika menjadi seragam, seseorang akan semakin kabur dalam memaknai yang mana kebutuhan dan yang mana keinginan. Parahnya, ketika seseorang telah jauh tenggelam dalam keseragaman, yang membuatnya semakin jauh dari keunikan individu, orang ini lalu akan merasa serba kekurangan, karena tidak tahu lagi yang mana identitasnya.
Pada tahap ini, dia akhirnya semacam menginginkan segala hal, semua yang dia rasa dapat mendatangkan kenikmatan akan diusahakan untuk dimiliki walau dengan segala cara. Tak peduli apa pun itu, walau pada akhirnya ketika itu sudah didapatnya, perasaan hampa akan segera bercokol lagi dalam jiwanya.
Penutup
Hasrat itu menyelinap ke dalam kesadaran setiap kita. Entah bagaimana caranya, yang pasti, dengan tiba-tiba dia sudah ada di sana.
Ada yang menjelaskan bahwa hasrat itu berasal dari alam bawah sadar, namun karena keterbatasan, saya tidak bisa mengeksplorasinya dalam tulisan ini. Yang penting bagi kita saat ini adalah mengenali dan mengantisipasi hasrat.
Kita tidak bisa membunuh hasrat, semakin dia ditekan maka akan semakin tinggi pula pantulannya ke alam sadar kita. Tanpa antisipasi, kita akan dihancurkan oleh hasrat. Bagaimana mengantisipasinya, setidaknya kita tidak tergesa-gesa untuk mengatakan "iya" atau "tidak" kepada hasrat, melainkan menelisik lebih jauh terlebih dahulu ke dalam diri untuk mencari apa sebenarnya yang ada di balik hasrat.
Dengan pencarian itu, setidaknya kita akan bersikap bijak dalam memperlakukan hasrat. []
* Agustinus Hartono, Skizoanalisis Delueze & Guattari: Sebuah Pengantar Genealogi Hasrat, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007).