Jeungki: Membangkitkan Kembali Kearifan Lokal Aceh
Source Canva Editor |
Oleh: Ulil Mugnie
Aceh, sebuah daerah yang kaya akan keanekaragaman suku, bahasa, dan kebudayaannya, memiliki banyak keunikan yang membedakannya dari daerah lain di Indonesia.
Salah satu dari keunikan tersebut adalah “jeungki”, sebuah alat tradisional yang terbuat dari kayu pilihan, jeungki digunakan untuk menumbuk berbagai bahan makanan dan bumbu, seperti menumbuk beras menjadi tepung, menghaluskan rempah-rempah, menumbuk kacang, dan lainnya.
Dampak dari kehilangan jeungki tidak hanya pada alat itu sendiri, namun juga terhadap nilai-nilai sosial yang terkandung di dalamnya.
Pertimbangan lainnya adalah keuntungan ekonomi yang bisa didapat dari penggunaan jeungki.
Jeungki bukan hanya sebuah alat, tapi juga salah satu simbol kekompakan sosial masyarakat Aceh.
Dahulu, jeungki mulai beroperasi menjelang hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, dengan irama yang teratur sedari matahari mulai mengintip terdengar riuh rendah dari rumah-rumah panggung di Aceh.
Suara jeungki yang khas dihasilkan dari lesung yang bertubrukan dengan alu yang diayunkan oleh beberapa wanita.
Jeungki biasanya ditempatkan di bawah rumah panggung yang berfungsi sebagai pelindung dari terik matahari dan hujan, hal ini mengingat jeungki itu sendiri berbahan dasar kayu.
Jeungki biasanya ditempatkan di bawah rumah panggung yang berfungsi sebagai pelindung dari terik matahari dan hujan, hal ini mengingat jeungki itu sendiri berbahan dasar kayu.
Proses penggilingan tepung untuk keperluan pembuatan kue pada hari-hari terakhir bulan Ramadan dilakukan dengan bantuan jeungki, suara yang dihasilkan jeungki berdentam nan khas.
Jeungki tidak bisa dioperasikan sendiri melainkan harus bersama setidaknya tiga orang. Dua orang menginjak ujung jeungki dan satu orang lagi mengontrol beras yang sedang ditumbuk di bagian kepala jeungki agar tidak keluar dari wadah. Wadahnya terbuat dari batu yang dilobangi tenganya hingga membentuk bulat.
Jeungki tidak bisa dioperasikan sendiri melainkan harus bersama setidaknya tiga orang. Dua orang menginjak ujung jeungki dan satu orang lagi mengontrol beras yang sedang ditumbuk di bagian kepala jeungki agar tidak keluar dari wadah. Wadahnya terbuat dari batu yang dilobangi tenganya hingga membentuk bulat.
Jeungki memiliki cara kerja yang sangat unik. Untuk menggunakannya, orang yang mengoperasi jeungki harus memiliki kekuatan dan keterampilan yang baik, terutama dalam menginjak bagian yang lebih berat dan juga beberapa orang yang mengontrol tepung di bagian lesung (berada di kepala jeungki).
Kekompakan dan kebersamaan sangat penting dalam pengoperasian jeungki karena semua tindakan harus berdasarkan kesepakatan tim. Dalam tim ini, tugas diatur dengan cermat, dan peran yang tepat harus diberikan pada orang yang lebih senior.
Agar tangan tidak terjepit oleh alu yang berat, orang yang bertugas di lesung harus sangat teliti dan berkonsentrasi. Bahkan dalam situasi terburu-buru, aba-aba dari depan dan belakang harus seragam dan dilakukan secara hati-hati.
Dalam hal ini, jeungki mempromosikan kerjasama dan kebersamaan di antara anggota masyarakat.
Dalam hal ini, jeungki mempromosikan kerjasama dan kebersamaan di antara anggota masyarakat.
Kegiatan ini membuat masyarakat lebih kompak dalam menjalin ikatan sosial dan dapat membuat masyarakat suka tolong menolong.
Namun, semenjak hadirnya teknologi mesin, jeungki mulai tersingkirkan, sekaligus nilai-nilai yang ditawarkan saat jeungki dioperasikan bersama-sama.
Namun, semenjak hadirnya teknologi mesin, jeungki mulai tersingkirkan, sekaligus nilai-nilai yang ditawarkan saat jeungki dioperasikan bersama-sama.
Seiring dengan perkembangan teknologi, mesin-mesin modern telah mengambil alih tugas-tugas yang dulunya dilakukan oleh manusia, termasuk penggilingan beras menjadi tepung.
Mesin-mesin tersebut dapat dioperasikan sendiri atau menggunakan jasa tukang giling tepung, sehingga tidak lagi memerlukan kerjasama dan kebersamaan seperti yang dilakukan saat masih menggunakan jeungki.
Dampak dari kehilangan jeungki tidak hanya pada alat itu sendiri, namun juga terhadap nilai-nilai sosial yang terkandung di dalamnya.
Kehilangan jeungki berarti kehilangan kesempatan untuk memupuk kerjasama dan kebersamaan di antara masyarakat Aceh.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat Aceh lebih memilih menggunakan mesin-mesin modern yang lebih efisien dan praktis, namun tanpa mempertimbangkan nilai-nilai sosial yang hilang dalam proses tersebut.
Sebagai masyarakat Aceh yang ingin mempertahankan budaya dan tradisi lokal, kita harus mempertimbangkan kembali keuntungan dari penggunaan jeungki.
Sebagai masyarakat Aceh yang ingin mempertahankan budaya dan tradisi lokal, kita harus mempertimbangkan kembali keuntungan dari penggunaan jeungki.
Pertama-tama, jeungki dapat mengembangkan rasa solidaritas dan kerjasama di antara anggota masyarakat.
Kedua, penggunaan jeungki dapat mempererat ikatan sosial di antara anggota keluarga. Kegiatan menumbuk beras bersama-sama di lingkungan keluarga dapat menjadi kegiatan yang menyenangkan dan bermanfaat, serta dapat meningkatkan keterampilan dan rasa saling menghargai.
Pertimbangan lainnya adalah keuntungan ekonomi yang bisa didapat dari penggunaan jeungki.
Dalam beberapa daerah, penggilingan beras masih menjadi kegiatan yang penting dalam sektor ekonomi.
Dengan menggunakan jeungki, maka akan memberikan keuntungan bagi pengrajin jeungki dan juga bagi masyarakat yang membutuhkan tepung beras.
Kegiatan ini juga dapat menjadi sumber penghasilan tambahan bagi masyarakat Aceh.
Mungkin masyarakat Aceh memilih meninggalkan jeungki yang membutuhkan pengoperasian yang lama dan membutuhkan tenaga banyak orang lalu menggantikannya dengan mesin canggih yang serba cepat, dunia memang sudah berubah menjadi semakin praktis, sungguh tidak berdosa masyarakat yang mengabaikan jeungki lalu menggunakan mesin penggantinya. Namun, kita harus ingat bahwa kearifan lokal adalah suatu warisan budaya yang tak ternilai harganya.
Mungkin masyarakat Aceh memilih meninggalkan jeungki yang membutuhkan pengoperasian yang lama dan membutuhkan tenaga banyak orang lalu menggantikannya dengan mesin canggih yang serba cepat, dunia memang sudah berubah menjadi semakin praktis, sungguh tidak berdosa masyarakat yang mengabaikan jeungki lalu menggunakan mesin penggantinya. Namun, kita harus ingat bahwa kearifan lokal adalah suatu warisan budaya yang tak ternilai harganya.
Jeungki bukan hanya alat, tetapi juga simbol kebersamaan, kekomopakan, dan solidaritas sosial dalam masyarakat Aceh.
Sah saja beralih kepada mesin canggih, toh kita juga tidak mau dianggap kuno, namun nilai-nilai yang dulunya diajarkan oleh jeungki haruslah kita perlihara hingga generasi akhir dunia.
Banyak dari nilai-nilai dalam kearifan lokal yang tidak bisa kita temukan dalam teknologi modern. Nilai-nilai seperti gotong royong, kerja sama, dan kebersamaan dalam menghadapi masalah merupakan hal yang sangat berharga dan masih dibutuhkan oleh masyarakat kita saat ini.
Banyak dari nilai-nilai dalam kearifan lokal yang tidak bisa kita temukan dalam teknologi modern. Nilai-nilai seperti gotong royong, kerja sama, dan kebersamaan dalam menghadapi masalah merupakan hal yang sangat berharga dan masih dibutuhkan oleh masyarakat kita saat ini.
Oleh karena itu, kita harus mempertahankan kearifan lokal dan mengajarkan nilainya pada generasi muda agar mereka juga bisa menghargai dan merawat warisan budaya yang kita miliki.
Dalam era globalisasi ini, kita harus mampu mempertahankan kearifan lokal sebagai sebuah identitas sejati, kita harus terus berusaha untuk melestarikan kebudayaan dan memperkenalkannya pada dunia internasional sebagai bentuk kekayaan budaya bangsa yang patut untuk dihargai dan dijaga.
Dalam era globalisasi ini, kita harus mampu mempertahankan kearifan lokal sebagai sebuah identitas sejati, kita harus terus berusaha untuk melestarikan kebudayaan dan memperkenalkannya pada dunia internasional sebagai bentuk kekayaan budaya bangsa yang patut untuk dihargai dan dijaga.
Semoga keberadaan jeungki dan kearifan lokal Aceh lainnya tetap menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Aceh dan menjadi sumber inspirasi bagi generasi yang akan datang. []