Menilai Manusia sebagai Manusia

Ilustrasi nilailah manusia sebagai manusia
Source Bing Image Creator 

Oleh: Arizul Suwar

Seluruh umat beragama sepakat untuk menyatakan bahwa “manusia adalah makhluk ciptaan Yang Maha Kuasa.” Konsekuensi dari pernyataan tersebut sebenarnya adalah menerima dan menghargai manusia sebagai makhluk yang mulia, karena dia berasal dari yang Mahamulia. 

Namun dalam keseharian, seringkali sebagian dari kita tidak mampu untuk melaksanakan atau merealisasikan pernyataan tersebut.

Ketidakmampuan ini terlihat jelas, misalnya—pertama-tama—kita seringkali menilai orang lain tidak sebagai manusia, namun sebagai atribut yang melekat padanya. 

Atribut tersebut seperti suku, ras, bangsa, agama dan berbagai latar belakang lainnya. Ketika melihat seseorang berkulit putih dengan mata sipit yang khas, kita tidak pertama-tama menilai orang tersebut sebagai manusia ciptaan Tuhan, yang berimplikasi pada penerimaan, melainkan sebagai “awak Cina/ureung Cina” yang tak jarang memuat kecurigaan (prejudice) dan penolakan yang seringkali tidak berdasar. 

Banyak fenomena menunjukkan bahwa kecurigaan terhadap“awak Cina/ureung Cina” adalah kecurigaan sekaligus ketakutan akan hilangnya sumber pendapatan, tidak ada lagi lapangan kerja, dan hal-hal yang berhubungan dengan ekonomi.

Contoh selanjutnya dari ketidakmampuan menilai manusia sebagai manusia adalah pada kasus menilai seseorang berdasarkan atribut agama. 

Seseorang dengan ramah dan penuh senyum mengucapkan “selamat pagi”, namun karena sebuah kalung salib mungil bergantung di lehernya, senyuman itu lalu kita nilai sebagai senyum semu yang membahayakan. Curiga dan khawatir muncul, “jangan-jangan orang ini ingin mengubah keimanan dan keyakinan yang saya punya.” 

Kita—entah bagaimana—lalu melupakan bahwa orang tersebut adalah manusia sebagaimana diri kita, lupa bahwa dia juga makhluk Yang Maha Kuasa.

Kita sulit belajar dari orang lain yang berbeda. Sebabnya, karena kita tidak mampu menerima orang yang berbeda. 

Mengapa kesulitan menerima orang lain yang berbeda? Karena terjebak dengan penilaian yang kita buat sendiri. 

Manusia tidak lagi kita nilai sebagai manusia, tapi sebagai atribut yang melekat padanya. Padahal, kebanyakan atribut itu adalah sesuatu yang given (pemberian) dari Yang Maha Kuasa.

Sebagaimana saya tidak minta untuk menjadi laki-laki atau perempuan, lahir dari orang tua yang beragama ini atau itu, terlahir sebagai orang Aceh, dan sebagainya, demikian juga dengan mereka. 

Tidak ada orang yang bisa memilih terlahir sebagai orang Aceh, Cina, Jawa dan lainnya, lantas mengapa kita sibuk dengan sesuatu yang berada di luar kendali kita? Kita telah terperosok ke dalam kelupaan bahwa “semua kita adalah manusia.”

Ketidakmampuan untuk menilai manusia sebagai manusia telah membuat kita tidak mungkin lagi bisa belajar dari orang lain yang berbeda. 

Mengapa demikian? Karena pikiran kita telah dipenuhi oleh prasangka kecurigaan (prejudice), dan itu berarti kita tidak lagi bisa menerima orang lain sebagaimana mereka sendiri. 

Prasangka dan kecurigaan tidak melahirkan apa-apa selain ketertutupan diri. Ketertutupan diri merupakan lawan dari keterbukaan, yakni membuka diri untuk menerima sesuatu dari orang lain yang berbeda.

Ketertutupan pada gilirannya menjadikan kita tidak mampu bekerja sama dengan orang lain, dan paling parahnya, ketertutupan itu akan membawa ke dalam lembah “merasa diri dan kelompok kitalah yang paling hebat di seluruh dunia”. 

Ketika seseorang atau sekelompok orang merasa diri merekalah yang paling hebat, maka jadilah mereka “katak dalam tempurung”, menganggap dunia ini hanya seluas tempurung mereka, merasa pengetahuan yang mereka miliki telah mampu menyelesaikan seluruh persoalan di dunia ini.

Ketidakmampuan untuk menerima dan belajar dari orang lain yang berbeda, menjadi salah satu faktor mengapa kita terus tertinggal dari kemajuan. 

Kita terus saja bernostalgia dengan sejarah masa lalu. Sibuk dan senang dengan membangga-banggakan kaum terdahulu.

Sebenarnya, kesenangan untuk bernostalgia dengan masa lalu adalah indikasi kekalahan pada saat ini, sehingga menganggap bahwa masa lalulah yang paling bagus. 

Cobalah sekarang kita bertanya, apa artinya membangga-banggakan masa lalu, jika kita tidak mau untuk bersungguh-sungguh mewarisi semangat yang pernah mereka punya dahulu? 

Toh, orang lain juga tidak peduli dengan cerita-cerita semacam itu, yang mereka nilai adalah apa yang kita lakukan dan hasilkan pada saat ini.

Mulai sekarang, cobalah kita menilai manusia sebagai manusia, nilailah—orang sebagaimana contoh sebelumnya tadi—berkulit putih dengan mata sipit yang khas sebagai manusia seperti diri kita. 

Sambutlah sapaan orang yang mengucapkan “selamat pagi” tadi dengan penuh senyuman, hindari curiga prasangka, lihat dan nilailah dia sebagai manusia.

“Kita adalah anak manusia, satu badan satu jiwa,” demikianlah Sa’di sang penyair berkata. 

Jika kita telah mampu menilai manusia sebagai manusia, maka kita sudah mampu menerima orang lain yang berbeda. 

Mampu bekerjasama dan saling melengkapi adalah nilai luhur yang perlu dijaga. 

Cukuplah kita menjadi manusia, memanusiakan manusia. Dan pada akhirnya “kami” menjadi “kita” dan akan kembali ke asal yang sama, yaitu Dia Yang Maha Kuasa. []
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan