Meniru Keinginan Orang lain: Tinjauan Teori Mimesis René Girard
Source Bing Image Creator |
Oleh: Arizul Suwar
Si Kecil yang baru berusia tiga tahun itu baru saja dibelikan boneka kesukaannya. Akhir-akhir ini, dia sering merengek untuk cepat dibelikan boneka. Dia tidak mau tau, pokoknya boneka itu harus segera dibeli. Hari itu, setelah bonekanya dibelikan, dia senang bukan main. Dipeluknya boneka itu, dibawa kemana saja; makan, bermain, bahkan dibawa tidur lengkap dengan selimut untuk menghangatkannya.
Setelah beberapa hari berlalu, berganti minggu, Si Kecil lalu bosan dengan bonekanya. Boneka yang sebelumnya dibawa kemana-mana, kini tergeletak di pojok rumah. Ibu bertanya? Kok bonekanya nggak diajak main? Dah bosan, ah. Jawab Si Kecil.
Dua hari kemudian, sepupu seusianya datang ke rumah. Dia melihat boneka tergeletak lalu mengambilnya. Tak butuh waktu lama, Si Kecil langsung mengatakan; jangan diambil, itu punyaku. Segera setelah itu, Si Kecil merebut boneka dan lalu mengajaknya bermain.
Ilustrasi di atas dengan jelas menunjukkan bagaimana keinginan bekerja. Boneka yang sudah tergeletak, tidak lagi diajak main oleh Si Kecil, kembali memiliki daya tarik luar biasa ketika si sepupu menginginkannya.
Inilah gambaran sederhana dari teori mimesis René Girard (1923-2015) yang mengeksplorasi bagaimana keinginan manusia ditiru dari orang lain, yang pada gilirannya menciptakan persaingan dan konflik.
Ada dua poin penting dari teori ini. Pertama, keinginan manusia selalu dipengaruhi oleh pengamatan terhadap keinginan orang lain. Seseorang menginginkan sesuatu karena orang lain menginginkannya. Keinginan seseorang seringkali tidak otonom, melainkan bertaut dengan keinginan orang lain. Inilah yang disebut sebagai keinginan mimetik.
Sebelum sepupu melirik dan mengambil boneka. Si Kecil sama sekali tidak peduli dengan boneka. Dibiarkan saja itu tergeletak di lantai. Tetapi ketika sepupu menginginkan boneka itu, pada saat itu juga, keinginan mimises Si Kecil muncul.
Kita bisa membayangkan, kalau seandainya sepupu itu tidak menginginkan boneka, maka Si Kecil pun sama sekali tidak akan peduli dengan bonekanya.
Banyak contoh lain tentang keinginan mimesis ini. Cobalah periksa diri kita masing-masing. Sejauh mana keinginan kita otonom? Jangan-jangan semuanya keinginan orang lain. Maksudnya, semua yang kita inginkan adalah apa-apa yang diinginkan orang lain.
Sebutlah misalnya, atas dasar apa kita menginginkan merk handphone, baju, atau sepatu tertentu? Seringkali itu berdasarkan ikut-ikutan orang lain, baik itu artis, sosok di iklan, atau bahkan tetangga di samping rumah.
Atau bisa juga kita melihat misalnya fenomena beramai-ramai membeli sepeda listrik di daerah-daerah yang kondisi medan jalannya bergunung dan berbatu, yang kurang cocok dengan sepeda listrik. Tapi kenapa itu tetap terjadi? Karena ikut-ikutan menginginkan keinginan orang lain, keinginan mimesis.
Pada batas ini, keinginan mimesis tidak menjadi persoalan. Ketika orang menginginkan sesuatu, kita pun menginginkan itu. Si Kecil kembali menginginkan bonekanya karena sepupunya kini menginginkan hal serupa. Tak ada masalah sampai batas ini.
Namun, permasalahan akan muncul, ketika meniru keinginan orang lain yang lalu mengarah pada persaingan dan konflik. Inilah poin penting kedua dari teori ini. Banyak individu menginginkan hal yang sama, pada saat itu terjadilah persaingan untuk memperebutkan objek yang diinginkan.
Persaingan pada mulanya hanya hadir dalam pikiran, "pokoknya itu harus menjadi milikku," lalu berlanjut pada tindakan; bisa jadi menyikut, saling dorong, saling rebut, dan pada batas ekstrem, mereka pun beradu fisik. Apalagi jika berkenaan dengan objek-objek keinginan yang terbatas, maka tak menutup kemungkinan, saling bunuh pun akan terjadi.
Sebuah video menarik mempertunjukkan dua ekor kucing yang diberikan seekor ikan lezat untuk mereka. Dua kucing itu tidak pertama-tama langsung memakan ikan, melainkan saling sikut terlebih dahulu.
Hal serupa juga terjadi pada ayam saya di belakang rumah. Ketika diberi makan, mereka saling sikut, saling rebut, tidak ada yang mau kalah, alih-alih makan, mereka akhirnya saling tatap dan lalu bertempur. Tragisnya, makanan itu akhirnya dimakan oleh ayam lain, yang tidak terlibat konflik.
Melalui dua ilustrasi di atas, problem konflik yang dimulai dengan keinginan mimesis menjadi semacam pengingat bagi kehidupan sosial. Artinya, tanpa antisipasi yang tepat, maka konflik dalam sosial tak dapat terhindarkan.
Keinginan mimesis yang berujung pada persaingan dan konflik, seringkali muncul ketika objek yang sama-sama diinginkan itu terbatas. Suatu kesadaran dan budaya yang mampu mendorong rasa berbagi dan kerjasama menjadi penting untuk ditumbuh dan ditubuhkan.
Yang perlu dieksplorasi selanjutnya ialah apa yang bisa diusahakan untuk mewujudkan kebersamaan atau paling tidak mampu menghadirkan solusi yang bersifat saling menguntungkan. Tulisan singkat ini hanya bertujuan untuk mendedahkan persoalan keinginan mimesis, untuk membicarakan solusi tulisan lain tentu dibutuhkan.
Dan yang paling inti, tulisan ini bukan tentang Si Kecil dan sepupunya, ayam atau kucing yang berebut makanan, melainkan tentang kesadaran kita akan keinginan.
Keinginan adalah wajar bagi manusia. Namun, keinginan harus di bawah kontrol, dan bukannya mengontrol manusia. Keinginan akan menjadi tidak wajar dan berbahaya ketika demi memuaskan keinginan itu, seseorang lalu rela--mengikuti istilah Imam Subhan--membuat orang lain menghadap ilahi.[]