Pemimpin Tidak Ada Sekolahnya!

Ilustrasi pemimpin tidak ada sekolahnya
Source Bing Image Creator 

Oleh: Arizul Suwar

A. Setyo Wibowo menulis; Mendidik pemimpin tidak mudah. Tidak ada sekolah untuk mendidik pemimpin. Pemimpin-pemimpin besar yang kita kenal dalam sejarah adalah orang-orang yang unik (dalam arti satu-satunya). 

Mereka tentu bersekolah, dididik masyarakatnya, namun mereka menjadi pemimpin besar bukan karena sekolahnya atau pendidikan di masyarakatnya. 

Pribadi-pribadi besar hors norme (di luar ukuran normal) adalah orang-orang yang mendidik dirinya sendiri bertitik tolak dari hasrat (keyakinan mendalam) yang dia ikuti secara disiplin. 

Mereka menjadi besar, menjadi orang yang lahir sebelum waktunya, menawarkan ide dan karya yang mengantisipasi masa depan, bukan karena diajari oleh sistem sekolah yang mereka alami [...] bukan pula karena mereka mengikuti zamannya. 

Seringkali mereka justru kesulitan dengan sistem pendidikan dan masyarakat lingkungan di mana mereka hidup. 

Hanya dengan berada di luar sekolah, belajar sendiri, menjadi otodidak mempelajari apa yang mereka hasrati, mereka menjadikan diri mereka sendiri seseorang yang lalu didaulat sebagai pemimpin. (hlm. 4)

Pemimpin bukanlah produk sekolah, apalagi produk kursus dan pelatihan yang berlangsung dua minggu. Pemimpin adalah produk tempaan kerasnya kehidupan.

 Berbagai model pendidikan kepemimpinan yang eksis di tempat kita sebenarnya hanya berkutat pada pengajaran teknis me-manage (mengurus, menata dan mengelola) belaka. (hlm. 5) 

Pemimpin yang sebenarnya adalah dia yang ditarik ke dalam kondisi untuk memberikan yang terbaik yang bisa dia berikan, terwujud dalam bentuk visi dan hidup dengan sepenuhnya di dalam visi tersebut. 

Di sinilah letak fakta yang tidak bisa ditolak, sistem pendidikan yang ada, tidak mungkin untuk menciptakan itu.

Kurikulum yang ada dalam sistem pendidikan kita tidak punya banyak kegunaan untuk melahirkan pemimpin-pemimpin sejati. 

Namun demikian, bukan berarti tidak berguna sama sekali. 

Jika kurikulum kita ilustrasikan sebagi "proses" maka in-put yang akan diproses sangat menentukan out-put sebagai hasil dari "proses". 

Penekanannya adalah pada in-put, bakat-bakat alamiah (by nature) yang dimiliki seorang anak, itulah penentu hasilnya. 

Sebagus apa pun kurikulum yang diterapkan sebagai "proses"--dalam hal kepemimpinan, tidak akan mampu menghasilkan pemimpin sejati tanpa in-put yang memadai. 

Mengapa bertumpu pada bakat-bakat alamiah? Mungkin sebagian kita sulit untuk menerima hal tersebut karena asumsi seperti; semua manusia itu seperti kertas putih, yang bisa dibentuk atau dituliskan apa saja oleh sistem. 

Manusia dipahami sebagai sepenuhnya dapat dibentuk oleh lingkungan sekitarnya. 

Akan tetapi, penulis lebih memilih untuk bersetia kepada kenyataan, manusia itu tidak sama! Bawaan alamiahnya berbeda.

Pernyataan di atas tidak sama sekali bermaksud membenarkan tindakan-tindakan merendahkan, menganggap si A lebih utama atau mulia ketimbang si B, sama sekali bukan. 

Pernyataan tersebut dimaksudkan sebagai kesadaran terhadap perbedaan yang dari situ, pertanyaan seperti di mana peran dan fungsi saya? dapat terjawab. 

Pendidik tidak lebih mulia daripada pedagang dalam hal "peran dan fungsinya", keduanya dapat meraih kemuliaan dengan cara yang berbeda sesuai dengan nature masing-masing. 

Jika keduanya melaksanakan peran dan fungsinya dengan sepenuh diri, maka keduanya dapat meraih kemuliaan.

Pemimpin sejati adalah seleksi alam yang tidak bisa diprogramkan! Tak jarang, anak-anak yang memiliki bakat-bakat alamiah sebagai pemimpin tidak mendapatkan tempat yang kondusif dalam sistem pendidikan. 

Sistem pendidikan yang ada, alih-alih membantu, malahan menghambat potensi-potensi yang ada untuk tumbuh. 

Anak-anak jenius itu, dipaksa oleh alam untuk berkembang sendiri, mencari sendiri, berdisiplin dan terasing dari teman-temannya. 

Anak-anak jenius itu dipaksa untuk mendidik dirinya sendiri, otodidak. Masyarakat tempat dia hidup, keluarga, lingkungan, bahkan hukum tradisional hanya melihatnya sebagai anak yang aneh, berbeda dari yang lain bahkan dicap sebagai pemberontak.

Dalam proses mendidik diri sendiri, jiwa si genius tak jarang bergejolak dahsyat antara mengikuti hasrat yang kuat untuk terus mencari dan mengembangkan diri atau menyerah pada kalimat; hidup saja seperti orang pada umumnya, jangan aneh-aneh. 

Namun demikian, jika si genius terus mengikuti panggilan jiwanya, tahan banting terhadap pandangan-pandangan sinis orang lain, maka alam--entah bagaimana caranya--akan membawa anak ini ke dalam lingkungan yang mendukung perkembangannya. 

Penggalan penjelasan cerita Jonathan Livingstone Seagull mungkin dapat menjadi pemantik semangat untuk tidak menyerah; 
... Jonathan pergi ke pembuangan, dan di situ ia meneruskan apa yang menjadi hasratnya: belajar terbang. 

Dan pencarian ini tidak pernah sendirian, karena akhirnya, entah bagaimana, orang akan bertemu dengan komunitas yang sama-sama memiliki hasrat dan bakat seperti dirinya. 

Ia menemukan pendidikan yang khas dan tepat dan dengan guru yang memahami mereka... (hlm. 21)

Pemimpin sejati adalah seleksi alam, dan tak boleh dilupakan, ciri pemimpin sejati justru tidak mencari-cari dengan sengaja supaya dia memiliki kekuasaan dan menjadi pemimpin. 

Mereka menjadi pemimpin di luar kemauannya untuk itu. Kalau akhirnya mereka menjadi pemimpin, itu karena mereka diikuti oleh sekelompok orang, dan didaulat oleh masyarakat dan zamannya. (hlm. 4-5)

Bisa dikatakan kita mengalami krisis sosok pemimpin sejati, namun hal itu jangan sampai membuat kita acuh tak acuh terhadapnya, kita bisa memulai dari diri sendiri, memimpin diri sendiri. 

Daripada energi dan pikiran habis untuk sesuatu yang ada di luar diri, lebih baik fokus ke dalam diri, dan biarkan alam melakukan seleksinya sendiri terhadap siapa yang layak menjadi pemimpin.[]


• Tulisan ini disarikan dari pembacaan penulis terhadap tulisan A. Setyo Wibowo, "Mungkinkah Mendidik Pemimpin? Kisah Platon dan Burung Camar Jonathan Livingstone," dalam buku Mendidik Pemimpin dan Negarawan: Dialektika Filsafat Pendidikan Politik Platon Dari Yunani Antik Hingga Indonesia, Yogyakarta: Lamalera, 2014.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan