Pendidikan: Usaha Aktualisasi Individu Autentik

Source: Bing Image Creator 

Oleh: Arizul Suwar

Pendidikan, ketika dijadikan sistem maka akan mengarah pada penyeragaman.

Sistem, pada dirinya sendiri tidak menjadi persoalan. Toh ianya berguna untuk merencanakan, mengatur, menetapkan goal, serta menyusun strategi proses yang ingin ditempuh. 

Akan tetapi, jika sistem sudah berkaitan dengan pendidikan--proses aktualisasi beragam potensi unik manusia--maka penyeragaman harus diantisipasi se dini mungkin. 

Hal itu disebabkan karena makhluk yang disebut manusia itu sama sekali tidak bisa diseragamkan. Baju, makanan, angkutan, tentu bisa diseragamkan, tapi perlu digarisbawahi bahwa itu semua bukan manusia.

Refleksi ini tidak bertujuan untuk mengkritik sistem pendidikan. Fokus tulisan ini ialah pada refleksi tentang pendidikan--dalam pengertian yang seluas-luasnya--sebagai usaha untuk mengaktualisasikan beragam potensi unik pada manusia.

Aktualisasi keunikan inilah yang disebut sebagai individu autentik. Pribadi yang mandiri, merdeka, menjadi dirinya sendiri.

Pendidikan dapat dilihat melalui dua sisi. Pertama, sesuatu yang berproses secara alami. Kedua, proses yang direkayasa sedemikian rupa untuk mencapai tujuan tertentu. 

Poin pertama merujuk pada seluruh pengalaman kehidupan yang dijalani manusia. Pengalaman yang hanya bermuara pada dua kemungkinan: enak atau tidak enak, bahagia atau sengsara. Poin kedua merujuk pada pendidikan yang sudah disistemkan oleh dan untuk manusia.

Bagi Platon, anak yang terlahir dengan bakat pemimpin, akan menjadi pemimpin. Alam akan mendidiknya! Rekayasa pendidikan hanya untuk mempercepat proses itu. 

Sistem pendidikan, bagi Platon hanyalah sekunder. Sebagus apa pun sistem pendidikan itu, jika yang dididik tidak memiliki kualitas atau bakat pemimpin, maka ringkasnya, dia tidak akan jadi pemimpin. Mungkin bisa saja jadi bos, atasan, yang bisa memanajemen ini atau itu, tapi lagi-lagi pemimpin bukan sekedar ahli manajemen. Begitulah gambaran dari pendidikan sebagai suatu proses alami yang ditempa oleh pengalaman hidup.

Pendidikan modern tentu saja palak dengan Platon. Itu jelas sekali. Bagaimana tidak, paradigma pendidikan modern ialah: siapa pun bisa menjadi apa saja. Seperti yang diungkapkan Judy Hopps Sang Kelinci dalam animasi 3D berjudul Zootopia "Ketika saya masih kecil, saya pikir Zootopia adalah tempat yang sempurna di mana semua orang bergaul dan siapa pun bisa menjadi apa saja..." Pendidikan modern merepresentasikan pendidikan sebagai usaha rekayasa manusia untuk mencapai tujuan tertentu.

Akan tetapi, menariknya, Judy Hopps sendiri dalam pidatonya itu juga menyampaikan lanjutannya "Ternyata, kehidupan nyata sedikit lebih rumit daripada slogan di stiker bumper. Kehidupan nyata itu berantakan. Kita semua memiliki keterbatasan..."

Lagi-lagi, bicara pendidikan tidak selamanya ditentukan oleh sistem. Pribadi yang autentik sangat jelas tidak dihasilkan oleh sistem. Sistem pendidikan memberi pengaruh, benar! Tapi, autentisitas itu dibentuk oleh pengalaman eksistensial yang unik individual (Aku), siapa pun diluar Aku, tidak akan pernah bisa mewakilkannya.

Para pendidik mungkin akan kebingungan dengan tulisan ini. Akan tetapi, penulis ingin menegaskan bahwa semua usaha yang sudah dilakukan oleh pendidik sama sekali tidak sia-sia. Usaha itu tetap memiliki kontribusi pada konteksnya masing-masing. Catatan pentingnya adalah, sebagaimana nasehat Kahlil Gibran "Anak-anak itu laksana anak panah. Kita bisa mengarahkan busur pada tujuan tertentu, namun anak panah yang melesat, jauh serta cepat itu tidak lagi berada dalam genggaman."

Pada batas ini, pendidik hanya bertugas untuk memprovokasi semangat belajar siswa, sehingga mereka akan melesat dengan energi minat mereka masing-masing. Senada, Miswari juga mengamininya.

Ki Hadjar Dewantara melalui semboyan pendidikannya; "Ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani" (di depan memberi teladan, di tengah-tengah membangun semangat, di belakang memberi dukungan). Ketiga semboyan tersebut berangkat dari kesadaran bahwa hakikat usaha pendidikan itu oleh dan untuk anak didik itu sendiri.

Guru berperan untuk memberi teladan, membangunkan semangat, serta mentransfer dukungan supaya anak didik dapat melesat untuk meraih diri yang utuh, diri yang autentik. 

Guru tidak diperkenankan untuk membentuk siswa menjadi seperti dirinya. 

Siswa punya kehidupannya sendiri! "Kamu bisa menyediakan rumah untuk tubuhnya, tapi tidak untuk jiwanya. Jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan, yang tak pernah dapat kau kunjungi walau dalam impian." Demikian nasehat Gibran.

Jika semboyan pendidikan Ki Hadjar Dewantara diposisikan sebagai sistem, maka sistem itu hanya berfungsi sebagai pengkondisian saja. 

Sistem tidak memancangkan tujuan! Tujuan ditentukan oleh proses, pengalaman kehidupan. Pengalaman yang dicicipi.

Tak kenal maka tak sayang, demikian kata pepatah. Demikian juga dengan usaha pendidikan untuk mengaktualisasikan pribadi yang autentik. Guru penting untuk mengenal anak didik mereka. 

Kenal, tidak sebatas tahu nama di absensi atau tau siswa tersebut di kelas berapa. Kenal, menyasar kepribadian, membidik kemanusiaan dalam diri peserta didik.

Sebuah pertanyaan dasar yang segera harus diajukan ialah; Jika memang autentisitas lahir dari pengalaman hidup, dan bukannya dari sistem, lantas apa pentingnya pendidikan sebagaimana yang dipahami saat ini? Jawabannya jelas yakni berfungsi sebagai usaha pengkondisian. 

Pendidikan yang direkayasa ini berguna untuk mengkondisikan peserta didik, agar mereka dapat lebih cepat untuk mengaktualisasikan autentisitas diri mereka.

Peran utama guru dalam pengkondisian itu ialah sebagai pendamping atau fasilitator. Sebagaimana semboyan Ki Hadjar Dewantara; menjadi teladan, membangkitkan semangat, serta memberikan dukungan kepada peserta didik. 

Jika itu semua sudah dilakukan, maka biarkan waktu yang akan memproses dan menempa mereka menjadi individu-individu yang berkarakter autentik.

Individu autentik diperlawankan dengan individu yang hidupnya diserahkan pada apa kata orang. Individu autentik itu merdeka, berkuasa dan bertanggungjawab terhadap hidup yang dijalaninya. Dengan demikian, individu autentik tercermin pada kreativitas serta penuh semangat menjalani kehidupan.

Semangat kebebasan pada individu autentik tidak berarti ngawur seenak dirinya, bukan juga premanisme dan tidak taat aturan, melainkan semangat kebebasan untuk diri dan orang lain agar terbebas dari berbagai belenggu yang merantai kemanusiaannya. Pribadi autentik bukan menguasai orang lain, melainkan berkuasa atas dirinya sendiri.

Mengikuti intuisi Haidar Bagir, individu autentik itulah yang sebenarnya menjadi kunci bagi teraihnya indikator-indikator tujuan pendidikan seperti menjadi pribadi dengan budi pekerti luhur, warga negara yang baik, bahkan anggota kerja yang kompetitif. 

Mengapa demikian? Salah satu alasan utamanya ialah karena individu autentik jika melakukan sesuatu, dia akan memberikan yang terbaik, bertindak dengan suka cita, serta penuh tanggung jawab. 

Dalam bekerja, individu autentik berstatus sebagai pekerja dan bukannya buruh dalam tipologi Marcuse. Bagi Marcuse, pekerja adalah mereka yang menikmati apa yang mereka kerjakan, sedangkan buruh adalah mereka yang menderita dengan apa yang mereka lakukan.

Terakhir, sebagai pendidik, siswa harus dipandang sebagai manusia yang memiliki kehidupannya sendiri. Artinya, mereka memiliki dunianya sendiri. Konsekuensinya, jangan memaksa siswa untuk menjadi seperti yang kita inginkan. 

Tugas kita, menyiapkan pengkondisian bagi mereka, menjadi fasilitator, memprovokasi semangat belajar, serta membantu mereka untuk mengaktualisasikan beragam potensi yang sudah ada. 

Biarkan kehidupan yang memancangkan tujuan kehidupan bagi mereka, kita mendukung sebagaimana semboyan Ki Hadjar Dewantara "Ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani" (di depan memberi teladan, di tengah-tengah membangun semangat, di belakang memberi dukungan). []
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan