Kompleksitas Kasus Sodomi di Pesantren: Mengapa Sistem Asrama Tidak Bisa Disalahkan Sendirian?
Source: Bing Image Creator |
Oleh: Sarah Ulfah*
Pendahuluan
Maraknya kasus sodomi di lingkungan pesantren/dayah belakangan ini telah memicu kekhawatiran yang mendalam di kalangan masyarakat luas dan beberapa orang tua.Beberapa insiden yang mencuat ke permukaan, seperti yang terjadi di Lhokseumawe dan Aceh Rayeuk, di mana oknum guru terlibat dalam tindakan asusila terhadap santri, telah menjadi sorotan media dan mengundang reaksi keras dari berbagai pihak.
Kejadian-kejadian ini tidak hanya mencoreng nama baik pesantren dan dayah sebagai lembaga pendidikan dan pembinaan karakter, tetapi juga mengguncang kepercayaan orang tua yang selama ini menilai pesantren sebagai tempat yang aman dan bermartabat untuk pendidikan anak-anak mereka.
Kasus sodomi terjadi di pesantren dan dayah telah menjadi sorotan publik dan memicu berbagai tanggapan dari berbagai pihak. Banyak yang berpendapat bahwa model sistem pendidikan asrama yang diterapkan oleh pesantren atau dayah menjadi penyebab utama maraknya kasus ini.
Namun, menurut penulis klaim ini hanya melihat sebagian kecil dari permasalahan yang ada sehingga dapat menggiring opini negatif kepada kaum eksternal pesantren dan dayah terhadap sistem pendidikan kedua tempat tersebut, yang seharusnya menjadi tempat yang aman untuk belajar dan mengembangkan diri.
Pesantren atau dayah sebagai institusi pendidikan agama memiliki model pendidikan yang unik, di mana santri tinggal di asrama dalam waktu yang lama. Model ini bertujuan untuk memberikan pendidikan agama secara kompleks, tidak hanya mentransfer ilmu keagamaan secara teoritis namun juga membentuk aspek spiritual dan moral para santri melalui rutinitas dan aturan-aturan yang diterapkan di pesantren atau dayah.
Selama tinggal di pesantren, santri diajarkan untuk mandiri dalam mengurus diri sendiri. Mereka belajar mencuci pakaian, memasak (terutama di pesantren salafi), dan mengelola keuangan mereka sendiri. Ini adalah bagian dari pembelajaran untuk tidak bergantung pada orang lain dan mengembangkan kemandirian yang kuat.
Pesantren juga mendidik santri untuk tidak hidup dalam kenyamanan yang berlebihan atau terlalu dimanja. Mereka diperlakukan secara adil dan didorong untuk mengembangkan mentalitas yang tangguh dan tahan terhadap tantangan kehidupan.
Tak hanya itu, bahkan terdapat beberapa pesantren menerapkan aturan yang mendorong gaya hidup sederhana kepada santri. Hal ini termasuk pembatasan terhadap jumlah pakaian yang boleh dibawa, larangan menggunakan pakaian yang berkesan mewah, dan dilarang membawa perhiasan atau alat elektronik seperti ponsel.
Tujuan dari kebijakan ini adalah mengajarkan santri untuk menghargai kehidupan yang sederhana dan tidak tergantung pada benda-benda materi.
Dapat disimpulkan bahwa model pendidikan asrama di pondok pesantren memainkan peran sentral dalam membentuk individu yang tangguh, mandiri, dan berkarakter kuat dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Ini semua merupakan bagian dari pendidikan holistik yang diberikan oleh pesantren untuk mencetak generasi muda yang berkualitas dan mampu berkontribusi positif dalam masyarakat.
Sebenarnya jika kita ingin menelusuri lebih jauh, kasus sodomi tidak hanya terjadi di pesantren. Kasus serupa juga banyak ditemukan di lingkungan masyarakat maupun lembaga pendidikan non-pesantren.
Contohnya, seperti kasus sodomi balita yang terjadi di Kecamatan Maron, pelaku berinisial AU berusia 17 tahun mengaku menyodomi korban karena dipicu kebiasannya melihat streaming film porno sesama jenis (radarbromo.jawapos.com/ Rabu, 21 Desember 2022).
Kasus serupa terjadi di Indragiri Hulu, Riau, seorang pemuda berusia 20 tahun telah menyodomi 10 anak selama dua tahun terakhir (liputan6.com/ Kamis, 5 Januari 2023).
Selain itu, seorang staf kampus UIN Alauddin Makassar melakukan pelecehan sesama jenis terhadap 10 mahasiswa (liputan6.com/ Kamis, 16 Maret 2023).
Selanjutnya kasus guru Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Bojonegoro melakukan sodomi dan mencabuli 8 siswanya serta mengaku pernah menjadi korban sodomi sejak ia masih kecil. (detik.com/Selasa, 21 Maret 2024)
Di Karawang, belasan anak juga menjadi korban sodomi oleh dua remaja (detik.com/ Rabu, 22 Mei 2024). Selanjutnya pemuda di Desa Cibarengkok, Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur, diringkus lantaran diduga menyodomi seorang bocah. Aksinya tersebut dilakukan lantaran merangsang birahi setelah melihat sepasang ayam sedang kawin (detik.com/ Senin, 13 Mei 2024).
Tak hanya lakukan sodomi, bahkan ditemukan kasus penyimpangan seksual tersebut disertai dengan kekerasan fisik sehingga berhujung kepada pembunuhan seperti yang terjadi di desa Cipetir, Kadudampit, Sukabumi, seorang remaja berusia 14 tahun telah melakukan sodomi terhadap korban sebelum akhirnya membunuh korban dengan cara dicekik (detik.com/ Kamis, 02 Mei 2024).
Beberapa kasus yang mencuat ke publik diatas menunjukan bahwa tindakan penyimpangan tersebut tidak terbatas pada satu jenis institusi saja, bahkan di linngkungan non-pesantren pun kasus sodomi juga marak ditemukan.
Dan setelah penulis mengamati beberapa kasus tersebut, perlu menganalis faktor yang paling mendasar yang sangat berkontribusi terhadap individu sehingga terjadinya tindakan menyimpang tersebut. Beberapa faktor tersebut adalah:
1. Pengalaman Masa Kecil dan Trauma
Faktor pengalaman masa kecil dan trauma memainkan peran penting dalam memahami kasus sodomi di pesantren, tidak hanya sebatas faktor pendidikan berasrama.Contoh yang menggambarkan hal ini adalah kasus yang melibatkan seorang guru pesantren di Aceh Besar, FB (24), yang melakukan penyimpangan seksual terhadap lima santri berusia 12 tahun.
Kasus ini menunjukkan bahwa pengalaman masa kecil dan trauma masa lalu dapat menjadi faktor pemicu perilaku menyimpang seperti sodomi.
Menurut laporan dari detik.com (14 Juni 2023), pelaku FB mengaku bahwa dia pernah menjadi korban tindakan serupa saat masih duduk di bangku SMP.
Selanjutnya kasus guru Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Bojonegoro yang melakukan sodomi dan mencabuli 8 siswanya, pelaku mengaku pernah menjadi korban sodomi dan mengalami trauma masa kecil sehingga melampiaskannya ke korban lain (21 Maret 2024).
Pengakuan ini mengisyaratkan bahwa trauma dari pengalaman masa kecilnya mungkin telah mempengaruhi perilakunya di kemudian hari. Pengalaman traumatik semacam ini dapat menciptakan pola perilaku yang berbahaya, di mana korban trauma menjadi pelaku dalam kasus serupa ketika mereka remaja atau dewasa.
Faktor pengalaman masa kecil dan trauma dapat mempengaruhi individu dalam beberapa cara. Pertama, trauma masa kecil sering kali menyebabkan kerentanan psikologis yang dapat membuat seseorang lebih rentan terhadap perilaku menyimpang kemudian hari.
Trauma seperti pelecehan seksual saat masih muda dapat merusak perkembangan emosional dan psikologis seseorang, dan dalam beberapa kasus, memicu perilaku yang berulang serupa pada orang yang telah menjadi korban.
Kedua, pengalaman masa kecil yang traumatis juga dapat mempengaruhi cara individu memahami dan menanggapi seksualitas. Individu yang mengalami trauma seksual sering kali mengalami konflik internal yang mendalam terkait dengan identitas seksual dan perilaku seksual.
Hal ini dapat memicu pencarian bentuk "penyembuhan" yang tidak sehat atau pencarian kekuasaan dan kontrol atas orang lain sebagai cara untuk mengatasi rasa tidak berdaya atau rasa sakit emosional yang mereka rasakan.
Dalam konteks kasus FB di Aceh Besar dan guru MI di Bojonegoro, pengakuan bahwa mereka sendiri pernah menjadi korban sodomi saat masih muda memberikan pandangan baru tentang kompleksitas masalah ini.
Ini menyoroti pentingnya pendekatan yang holistik dalam memahami dan menangani kasus sodomi di pesantren atau lingkungan non-pesantren. Karena, sekedar menyalahkan model pendidikan berasrama tidaklah cukup, namun perlu adanya pendekatan yang mempertimbangkan faktor-faktor psikologis, sosial, dan trauma masa kecil dalam mencegah dan menangani kasus-kasus yang melibatkan pelecehan seksual.
2. Pola Asuh Orangtua
Pola asuh orang tua sebelum anak memasuki pendidikan pesantren memainkan peran krusial dalam membentuk karakter dan perilaku anak, termasuk potensi terjadinya kasus sodomi.Analisis lebih dalam terkait faktor ini mengungkapkan bahwa tantangan tidak hanya terletak pada sistem pendidikan berasrama di pesantren, tetapi juga pada lingkungan dan pengalaman masa kecil yang dialami anak sebelumnya.
Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua memberikan fondasi utama dalam pembentukan nilai-nilai moral dan perilaku anak. Cara orang tua mengajarkan tentang norma-norma seksualitas, kemandirian, dan hubungan antar pribadi dapat mempengaruhi cara anak memahami dan menanggapi interaksi sosial di lingkungan pesantren.
Misalnya, pola asuh yang otoriter atau tidak mendukung diskusi terbuka tentang seksualitas dapat menghambat perkembangan pemahaman anak terhadap batasan-batasan yang sehat dalam hubungan antar pribadi.
Lebih jauh lagi, kurangnya pendidikan seksual yang holistik dan komprehensif sebelum memasuki pesantren dapat meningkatkan risiko anak untuk menjadi korban atau pelaku sodomi.
Anak-anak yang tidak dilengkapi dengan pemahaman yang memadai tentang batasan-batasan yang sehat dalam interaksi fisik dan emosional cenderung lebih rentan terhadap manipulasi dan pelecehan seksual.
Pola asuh yang tidak mendukung dialog terbuka tentang isu-isu seksualitas dan kemandirian juga dapat menghambat kemampuan anak untuk melindungi diri mereka sendiri dan mengenali perilaku yang tidak pantas atau berbahaya.
Kasus-kasus seperti yang terjadi di beberapa pesantren, di mana santri menjadi korban sodomi oleh sesama santri atau guru, sering kali mencerminkan kegagalan dalam mempersiapkan dan melindungi anak-anak dari ancaman pelecehan seksual sejak dini.
Selain itu, peran orang tua dalam membangun komunikasi terbuka dan penerimaan terhadap berbagai aspek kehidupan anak, termasuk seksualitas dan emosi, sangatlah penting.
Orang tua yang mampu memberikan dukungan emosional dan mental yang kokoh kepada anak-anak mereka cenderung membantu anak untuk mengembangkan rasa percaya diri dan kemandirian yang sehat. Ini penting untuk mencegah situasi di mana anak merasa terjebak atau tidak memiliki kemampuan untuk melaporkan atau menghindari situasi yang berpotensi berbahaya.
Oleh karena itu, penanganan kasus sodomi di pesantren tidak boleh hanya membatasi diri pada pembaruan sistem pendidikan asrama semata.
Upaya pencegahan yang lebih efektif harus mencakup edukasi seksual yang menyeluruh bagi santri sejak dini, pelibatan aktif orang tua dalam membangun pola asuh yang mendukung, serta penguatan mekanisme pengawasan dan perlindungan terhadap anak di lingkungan pesantren.
3. Pengaruh Media dan Teknologi.
Salah satu faktor mendasar yang sering kali terabaikan adalah pengaruh besar media, teknologi dan jaringan internet yang terdapat di dalamnya.Internet menyediakan akses tanpa batas terhadap berbagai jenis konten, termasuk konten pornografi. Anak-anak dan remaja yang tidak diawasi dengan ketat dapat dengan mudah mengakses situs-situs tersebut.
Konten pornografi, terutama yang menggambarkan kekerasan atau perilaku seksual yang menyimpang, dapat membentuk persepsi yang salah tentang seksualitas dan hubungan antar manusia. Mereka yang sering terpapar konten semacam ini mungkin menganggap tindakan penyimpangan seksual tersebut ssebagai sesuatu yang normal.
Dalam banyak kasus, anak-anak dan remaja tidak mendapatkan pengawasan yang memadai dari orang tua atau wali mereka terkait penggunaan media dan teknologi. Orang tua mungkin tidak menyadari jenis konten yang diakses oleh anak-anak mereka, atau mereka mungkin tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk memantau aktivitas online anak-anak mereka secara efektif. Hal ini memungkinkan anak-anak dan remaja untuk mengeksplorasi konten yang tidak pantas tanpa batasan.
Banyak sistem pendidikan baik non-pesantren maupun pesantren, sering kali tidak memberikan pendidikan seksual yang komprehensif. Pendidikan seksual yang kurang memadai membuat anak-anak dan remaja tidak memiliki pemahaman yang benar tentang seksualitas sehingga, ketika mereka mencari informasi dari sumber yang tidak terpercaya seperti film porno, mereka mendapatkan informasi yang salah dan berbahaya.
Paparan konten pornografi dapat memiliki dampak psikologis yang mendalam pada anak-anak dan remaja. Hal ini bisa menyebabkan kesalah pahaman dalam perkembangan seksual mereka dan memicu perilaku yang menyimpang.
Seiring waktu, mereka mungkin mulai mencari cara untuk meniru apa yang mereka lihat dalam kehidupan nyata, yang dapat mengarah pada tindakan penyimpangan seksual.
Sebagai contoh, kasus sodomi balita yang terjadi di Kecamatan Maron menunjukkan bagaimana media dan teknologi berperan dalam mendorong perilaku menyimpang. Pelaku berinisial AU, yang berusia 17 tahun, mengaku menyodomi korban karena dipicu oleh kebiasaan melihat streaming film porno sesama jenis.
Kasus ini menunjukkan bahwa akses mudah terhadap konten pornografi dapat mempengaruhi perilaku seseorang secara signifikan.
Untuk mengatasi masalah ini, perlu ada upaya kolaboratif dari orang tua, pendidik, pemerintah, dan masyarakat untuk memastikan bahwa anak-anak dan remaja mendapatkan pendidikan dan pengawasan yang memadai dalam menghadapi tantangan era digital ini.
Dalam konteks pesantren, dapat dikatakan bahwa santri sangat dibatasi dengan kebijakan dan aturan pesantren yang mengizinkan mereka untuk membawa alat telekomunikasi seperti smartphone sehingga kemungkinan untuk mengakses konten pornografi tersebut sangatlah kecil. Untuk itu sangat perlu pengawasan dari orang tua selama para santri sedang tidak dalam lingkungan pesantren agar mereka lebih terkontrol dalam mengakses berbagai konten di internet.
Penutup
Penyebab maraknya kasus sodomi ini diklaim oleh sebagian pihak terkait dengan model pendidikan asrama yang diterapkan di pesantren. Namun faktanya, latar belakang dalam permasalahan ini jauh lebih kompleks.Faktor-faktor eksternal seperti pergaulan di luar lingkungan pesantren, tekanan sosial, dan kurangnya pengawasan orang tua yang memadai juga turut berperan dalam meningkatkan risiko terjadinya kasus-kasus ini.
Narasi ini ditulis dengan tujuan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat nonpesantren. Karena dirasa sangat penting untuk memastikan bahwa pesantren tetap dapat menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan yang berperan besar dalam mencetak generasi yang berilmu dan berakhlak mulia, sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya yang dianut.
* Sarah Ulfah, M.Pd. Lahir 26 Maret 1999 di desa Lamlagang, kota Banda Aceh. Merupakan Alumni Dayah Putri Muslimat Samalanga, Bireun dan Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Aktif di salah satu organisasi keagaamaan yaitu ISAD (Ikatan Sarjana Alumni Dayah) sejak tahun 2022 sampai sekarang.