Fatherless dalam Perspektif Urf dan Teori Hukum Islam Inklusif
Source Bing Image Creator |
Oleh: Yasin Bayla*
Pendahuluan
Pernikahan dengan kehidupan keluarga yang Sakinah, Mawaddah, dan Warahmah adalah cita cita mulia yang ingin digapai oleh semua individu yang melaksanakan perkawinan.
Cita-cita mulia tersebut tidak dapat terwujud melainkan dengan berbagai upaya. Salah satunya adalah pemenuhan hak dan kewajiban oleh suami dan istri.
Pemenuhan kewajiban suami dan istri ini meliputi kewajiban mencari nafkah, mengurus rumah tangga dan mendidik anak yang kelak di masa depan akan menjadi estafet penerus bangsa.
Dalam perjalanan bahtera rumah tangga permasalahan-permasalahan akan senatiasa hadir mewarnai kehidupan pasangan suami istri, dalam beberapa kondisi permasalahan tersebut mampu diselesaikan dengan komunikasi yang baik antara suami dan istri.
Namun, dalam kondisi yang lain, hadir pula permasalahan berat yang dialami oleh pasangan suami istri sehingga tidak dapat dikompromikan lagi terpaksa diputuskan melalui jalur perceraian dihadapan pengadilan (Rusydi, Hak Dan Kewajiban Suami Istri, 2014).
Oleh sebab itu Mengetahui hak dan kewajiban suami istri merupakan sesuatu yang urgen untuk diketahui oleh calon pasangan suami isteri atau bagi yang sudah berkeluarga akan tetapi belum betul-betul memperhatikan hal ini.
Menurut (Soekanto, 1995) pasangan suami istri bukan hanya dituntut agar mengetahui hak dan dan kewajibannya melainkan juga kewajbuban tersebut diimplementasikan dalam kehidupan berumah tangga.
Sering kali permasalahan berumah tangga diawali dari kurangnya pengetahuan akan hak dan kewajiban suami istri yang berdampak bukan hanya pada ketidakharmonisan rumah tangga, tetapi juga berdampak terhadap kehidupan anak yang tidak berkembang sebagaimana mestinya.
Terkait dengan hak dan kewajiban suami istri merujuk pada pasal 34 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa:
Pasal 34: (1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya. (3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan. (1974).
Di sisi lain merujuk pada Undang-undang perlindungan anak yang berlaku ditemukan bahwa kewajiban orang tua tepatnya seorang suami atau ayah bukan hanya bertugas mencari nafkah melainkan juga membimbing dan mendidik anak serta keluarganya di rumah.
Hal ini dapat dilihat dari penjelasan pasal 1 ayat ke 2 yang berbunyi:
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpastisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”
Pada sisi lain merujuk pada pasal 26 dinyatakan secara tegas bahwa:
Pasal 26: (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. (2002).
Jika dilihat dari perspektif Hukum Islam maka peran suami kompleks. Sebab tidak hanya diwajibkan untuk mencari nafkah melainkan juga membimbing dan menjaga seluruh anggota keluarganya agar selamat dalam kehidupan dunia dan akhirat
Hal ini dapat dilihat dari berbagai literatur keluarga harmonis merupakan dambaan bagi setiap orang terutama bagi setiap pasangan suami dan istri serta seluruh anggota keluarga.
Baik yang tua atau pun muda sangat menginginkannya. Membangun keluarga yang harmonis maka tidaklah terlepas dari tanggung jawab kedua orang tua. Dalam mendidik seorang anak peran ibu sangatlah berpengaruh dalam pendidikan.
Namun, untuk menciptakan keluarga yang berkualitas dan harmonis peran seorang ayah tidaklah kalah penting, hal ini secara jelas dinyatakan dalam Alquran bahwa seorang ayah atau suami dikatakan sebagai “Ar-Rijaalul Qawwamun” yang berarti seorang ayah merupakan pemimpin bagi keluarganya, yang berperan dan berpengaruh bagi kemaslahatan anak dan istri-istrinya.
Khususnya dalam mendidik anak, peran seorang ayah juga tidak kalah penting dari seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya. Namun, tidak semua orang memiliki keluarga yang ideal (Saebani, 2001).
Dewasa Ini tidak jarang dijumpai permasalahan-permasalahan baru yang timbul dalam hubungan rumah tangga, bahkan problema-problema tersebut yang tidak dapat diselesaikan melalui jalan mediasi terpaksa diharmonisasikan melalui putusan cerai dihadapan pengadilan.
Beragam penyebab yang melatarbelakangi permasalahan ini mulai dari KDRT, minimnya peran suami dalam mencari nafkah, strata sosial istri yang lebih tinggi sehingga menyebabkan kurangnya hormat istri terhadap suami, bahkan minimnya peran ayah dalam mendidik anak dirumah (Fatherless) yang menimbulkan pro kontra juga turut ambil andil dalam setiap putusan perceraian yang terjadi (Mahmudah, 1996).
Oleh karena itu dalam penulisan ini penulis akan fokus membahas bagaimana fatherless dalam Perspektif Teori Hukum Islam Inklusif.
Fatherless Dan Dampaknya Dalam Kehidupan Rumah Tangga
Fatherless adalah ketiadaan peran dan figur ayah dalam kehidupan anak.
Hal ini terjadi pada anak-anak yatim atau anak-anak yang dalam kehidupan sehari-harinya tidak memiliki hubungan yang dekat dengan ayahnya.
Ketiadaan peran ayah dimakud disini adalah ketidakhadiran secara fisik maupun psikologis dalam kehidupan anak.
Ayah adalah penyeimbangan sisi kelembutan yang dimiliki ibu dan sosok yang menghadirkan unsur-unsur maskulinitas terhadap anak.
Ketidaksetaraan peran ayah dan ibu dapat memberikan berbagai dampak seperti memberikan peran kepemimpinan, pendidikan, perlindungan yang semestinya diterapkan dalam keluarga (Hamat, 2017).
Dalam kehidupan modern ini kehidupan keluarga yang benar benar harmonis berdasarkan hak dan kewajiban orang tua yang benar benar dijalankan sulit ditemui.
Dampak daripada hal ini bukan hanya kehidupan rumah tangga yang tidak menyenangkan melainkan juga pertumbuhan dan perkembangan anak yang tidak semestinya.
Tuntutan pekerjaaan tidak jarang menjadikan kurangnya interaksi antar orang tua dan anak terlebih lagi bagi sosok ayah dengan anaknya. Padahal kehadiran ayah dalam proses mendidikan anak amat sangat dibutuhkan.
Dalam perkembangannya dilapangan Menurut Menteri sosial Khofifah Parawansah pada tahun 2017 lalu, Indonesia berada di peringkat 3 dunia sebagai Fatherless Country dari data termutakhir yang didapat Indonesia masih berada pada posisi nomor tiga tersebut.
Psikolog asal amerika Edward elmeer smith mengatakan bahwa Fatherless Country adalah Negara yang masyarakatnya cenderung tidak merasakan keberadaan dan ketelibatan figure ayah dalam kehidupan anak baik secara fisik ataupun prikologis.
Krisis ayah ini disebabkan oleh paradigma orang indonesia yang beranggapan bahwa suami hanya bertugas bekerja sedang ibu bertugas menemani anak.
Padahal Pembentukan karakter dan kepribadian seorang anak membutuhkan bentuk pola asuh dari orang tua dimana orang tua harus saling bahu membahu untuk merawat anaknya. Saling memberikan pembelajaran dan bimbingan dari hal yang kecil hingga besar.
Akan tetapi paradigma yang tertanam dalam mindset masyarakat bahwa ayah hanya bertugas mencari nafkah sedangkan ibu bertugas mendidik anak dirumah mengakibatkan pola asuh Fatherless seolah olah adalah sesuatu yang bersifat benar dan terus terjadi secara turun temurun (Parmanti, 2015).
Selain itu tidak jarang ditemukan meskipun terdapat sebagian keluarga yang sosok seorang ayah ikut berperan dalam mendidik anak namun tidak berjalan maksimal.
Hal ini dipengaruhi oleh lelahnya dalam bekerja menjadikan dalam mendidik anak sering bersikap kasar daan marah. Sehingga fenomena father less tidak benar benar dapat diselesaikan.
Hal ini diperkeruh lagi dengan mindset masyarakat bahwa tugas seoarang ayah hanya mencari nafkah sedangkan tugas seorang ibu adalah mendidik anak (Nurhayati, 2020).
Dampak dari kurangnya peran ayah atau bahkan nihilnya kehadiran ayah terhadap anak tentunya sangat kompleks hal ini meliputi :
Terciptanya generasi yang belum mengenal tanggung jawab. Tidak jarang melahirkan anak laki laki yang membenci ayahnya.
Kurangnya peran ayah menjadikan sosok anak dengan gender yang tidak seharusnya seperti anak laki laki yang berkarakter kewanitaan dan demikian sebaliknya.
Kurangnya kehadiran sosok ayah juga berimplikasi tehadap kurangnya perlindugan sosial terhadap anak dan metode kepemimpinan.
Teori Hukum Islam Inklusif
Ada dua istilah yang menjadi perhatian utama dalam pembahasan ini, yaitu: Islam, dan Islam Inklusif. Ketiga istilah tersebut akan dijelaskan secara terperinci agar didapatkan pemahaman yang baik dan benar.
Islam (al-Islam) Ada dua katagori yang dapat dipergunakan untuk memahami pengertian islam, yaitu secara etimologis (kebahasaan) dan terminologis (istilah).
Secara etimologis kata islam berasal dari kata aslama, yuslimu, islaman (bahasa Arab), yang memiliki beberapa makna, diantaranya adalah: pertama, melepaskan diri dari segala penyakit lahir dan batin, kedua, kedamaian dan keamanan, ketiga, menyerahkan diri, ketundukan, ketaatan, dan kepatuhan, dan keempat, memohon selamat dan sentosa.
Kata Islam tersebut berasal dari salima yang berarti selamat, sentosa, aman dan damai (Usman, 2015). Sedangkan secara terminologis islam adalah suatu agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan ajaran yang berdasarkan Alquran dan hadis rasul Saw.
Teori Hukum Islam Inklusif menurut Azyumardi Azra dapat pula disebut sebuah teori teologi kerukunan keagamaan. Kerukunan ini baik dalam satu agama tertentu maupun antara satu agama dengan yang lainnya.
Tema sentral dari teori inklusif adalah pengembangan paham dan kehidupan keagamaan yang memperlihatkan keluwesan, toleran, dan respek terhadap pluralisme keagamaan, sehingga para penganut berbagai aliran keagamaan atau agama-agama dapat hidup berdampingan secara damai.
Teori Inklusif dianggap sebagai cara pandang positif terhadap pluralitas kehidupan manusia, dengan mengedepankan sikap-sikap luwes, toleran, terbuka, dan mau menerima kebenaran lain selain kebenarannya sendiri.
Adapun yang dimaksud teori Hukum Islam Inklusif adalah pemahaman atau wawasan keislaman yang terbuka, luwes, dan toleran(Usman, Pokok Pokok Filsafat Hukum islam, 2010).
Teori Hukum Islam Inklusif memiliki beberapa ciri di antaranya yaitu:
Pertama, Islam Inklusif lebih menekankan kepada nilai-nilai dasar Islam bukan kepada simbol-simbol belaka. Oleh sebab itu dalam teori hukum Islam inklusif tidak hanya ditafsirkan lewat penekanan yang berlebihan atau keterjebakan terhadap simbol-simbol keagamaan justru mengandung bahaya, kontraksi, distorsi, dan reduksi ajaran agama itu sendiri, semangat penekanan terhadap simbol-simbol agama tersebut sering sekali tidak sesuai dengan substansi ajaran agama itu sendiri.
Kedua, menghendaki interpretasi non ortodoks terhadap Kitab Suci al-Qur’an dan dogma Islam, agar jalan keselamatan tersedia juga melalui agama selain Islam.
Ketiga, skeptis terhadap argumentasi rasional demi kepentingan superioritas keyakinan Islam. Para inklusifis Islam meyakini benar bahwa secara konsep Islam ah yang terbaik dan paling sempurna sebagaimana dinyatakan oleh al-Qur’an: "... Pada hari ini, telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku ...." (QS al-Ma'idah/5: 3).
Keempat, menganjurkan prinsip-prinsip dialog, toleransi, dan menolak prasangka. Para inklusifis Islam meyakini bahwa kebaikan itu tidak hanya dimiliki oleh Islam dan kaum Muslim, tetapi umat-umat yang lain pun memiliki nilai-nilai kebaikan, karena itu sebelum memutuskan benar atau salah terhadap pihak lain terlebih dahulu melakukan dialog dengan mereka, sehingga tercipta kehidupan yang penuh toleransi dan terhindar dari prasangka-prasangka buruk.
Kelima, menganjurkan prinsip-prinsip moral modern tentang domokratisasi, hak azasi manusia, persamaan kedudukan dalam hukum, dan lainnya. Kemajuan zaman telah “memaksa” para inklusifis Islam untuk mempelajari wawasan-wawasan baru dan menyesuaikannya dengan prinsip prinsip Islam, baik yang bersumber dari al-Qur’an, Hadits Nabi Muhammad SAW maupun karya karya para intelektual Muslim (Hanafi, 1986).
Fatherless Menurut Urf dan Teori Hukum Islam Inklusif
Salah satu Metode Istinbath Hukum yang lazim digunakan adalah Urf. Urf dikenal dengan kebiasaan baik perkataan maupun perbuatan sehingga sebaian ulama ushul Fiqh menyamakan Urf dengan adat.
Dalam menerapkan dan menggunakan Urf sebagai salah satu metode menemukan hukum ada rambu rambu ataupun metode yang harus dipatuhi diantaranya tidak boleh bertentangaan dengan salah satu teks syariat, dilakukan secara konstan dan menyeluruh, tidak bertentangan secara substansi dengan amal yang lain serta keberadaan urf terbentuk bersama masayrakat (MA, 2022).
Jika dilihat dari penerapannya maka fenomena Farherless adalah sebuah kondisi yang memang sudah terjadi secara terus menerus sehingga dianggap sebagai hal yang lumrah bagi masyarakat bahkan sudah terbentuk paradigm berfikir bahwa tugas seorang ayah hanyalah mencari nafkah diluar rumah sedangkan persolan dan mendidik anak hanyalah tugas seorang ibu di rumah.
Berdasarkan hak dan tanggung jawab orang tua yang seharusnya dijalankan maka Urf seperti ini jelas bertentangan dengan nilai nilai kemaslahatn bahkan bertabrakan dengan unsur-unsur maqashid syariah yang seharusnya dipenuhi dalam setiap tindak perbuatan.
Maka secara Urf sikap pengabaian ayah dalam mengasuh anak dalam keluarga tidak dapat dibenarkan. Jika dilihat dari Teori Hukum Islam Inklusif yang bersifat luas dan elastis maka sejatinya sikap tersebut juga tidak dapat dibenarkan mengigat nilai nilai utama kewajiban seorang ayah yang semestinya dijalankan justru tidak diterapkan dan menimbulkan dampak negatif bagi anak dan anggota keluarganya.
Kesimpulan
Sejatinya tujuan dari adanya sebuah pernikahan bukanlah hanya sekedar proses akad yang menghalalkan hubungan suami istri melainkan juga membentuk keluarga yang sakinah mawaddah dan warahmah serta menciptakan generasi genarasi islam yang akan bermanfaat bagi agama dan bangsa dikemudian hari.
Tujuan utama tersebut mustahil dapat terwujud jikalau tidak terpenuhinya hak dan kewajiban yang seharusnya dijalankan, salah satunya adalah pemenuhan hak ayah dalam mendidik anak di rumah.
Oleh sebab itu melalui tulisan ini penulis berusaha agar tingkat fatherless yang cukup tinggi secara perlahan dapat menurun dengan timbulnya kesadaran bahwa tugas seorang ayah bukan hanya mencari nafkah untuk keluarga melainkan juga mendidik anggota keluarganya dirumah.
Referensi
Arfa, F. a. (2016). Metodologi Penelitian Hukum Islam. Jakarta: kharisma Putra Utama.
Hamat, A. a. (2017). Presentasi Keluarga Dalam Konteks Hukum Islam. Jurnal Hukum Islam.
Hanafi, A. (1986). Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta : Bulan Bintang.
Muhammad Nasir (2022). Filsafat Hukum Islam. Yogyakarta: Zahir Publishing.
Mahmudah. (1996). Keluarga Muslim. Surabaya: PT Bina Offset.
Nurhayati. (2020). Eksistensi Peran Ayah dalam menyiapkan Generasi Muslim yang Saleh. Jurnal Pendidikan dan Keislaman, 22-24.
Parmanti, s. (2015). Peran ayah Dalam Pengasuhan Anak. Jurnah Hukum Keluarga Islam.
Rusydi, F. I. (n.d.).
Rusydi, F. I. (2014). Hak Dan Kewajiban Suami Istri. Jakarta: Turos.
Saebani, B. A. (2001). Fiqh Munakahat. Bandung : Pustaka Amani.
Soekanto, S. (1995). Sosiologi Sebagai Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Usman, s. (2010). Pokok Pokok Filsafat Hukum Islam. Serang: Sentra Utama.
Usman, s. (2015). Filsafat Hukum islam. jakarta: Perpustakaan Nasional.
Undang Undang NO 1 Tahun 1974
Undang Undang No 23 Tahun 2002
• Penulis merupakan mahasiswa Hukum Keluarga Islam, Pascasarjana IAIN Langsa.