Ketika Hidup Berbicara dalam Kejutan
Aku tidak pernah membayangkan hidupku akan sampai di titik ini.
Seorang pengangguran yang kembali ke desa dengan tangan kosong, membawa segunung kegagalan dan segelintir harapan.
Aku ingat perjalanan pulang waktu itu, jalan-jalan yang dulu terasa akrab kini seperti memelukku dengan dingin.
Di desa, aku memulai hidup yang sederhana—atau mungkin lebih tepatnya, memulai lagi dari nol.
Beternak ayam kampung petelur adalah pilihanku, meski itu bukan mimpi, bukan pula kebanggaan.
Aku hanya mencoba bertahan.
Ayam-ayam itu hanyalah sisa dari kawanan keluarga yang dulu, sebagian besar sudah mati karena penyakit.
Ada enam ekor yang tersisa, dan aku memulai semuanya dari sana.
Setiap pagi, aku membersihkan kandang, memberi makan ayam-ayam itu, dan berharap pada keajaiban kecil yang mereka berikan dalam bentuk telur.
Namun, di sela-sela rutinitas itu, aku terus menulis.
Tidak ada pembaca, tidak ada tujuan.
Aku hanya menulis untuk menjaga kewarasanku, untuk mengingatkan diri bahwa aku masih hidup.
Setiap kali mengetik, aku merasa seperti berbicara dengan ruang kosong, menggantungkan kata-kata pada dinding yang tak memantulkan apa pun kembali.
Kadang, di tengah malam yang sepi, aku bertanya: Apakah semua ini ada artinya? Apakah aku hanya sedang menipu diriku sendiri?
Hari-hari terasa lambat, tetapi entah bagaimana, aku mulai menerima ritme itu.
Ada sesuatu yang sederhana namun damai dalam keheningan desa—ritme ayam-ayam yang bertelur, angin yang membawa aroma tanah basah, dan waktu yang seperti berhenti mengejar.
Meski rasa gagal masih sering menyelinap, aku belajar berdamai dengannya.
Hingga suatu hari, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Ponselku berdering, sebuah pesan masuk.
Orang yang hampir tidak kukenal menghubungiku, menawarkan proyek penulisan buku. Aku terdiam lama membaca pesan itu.
Rasanya seperti mimpi, atau mungkin lelucon yang kejam.
Tetapi tidak, tawaran itu nyata. Setelah memastikan semuanya, aku menerimanya.
Proyek itu memberiku semangat baru.
Tulisan-tulisan yang dulu hanya menjadi penghuni folder kini menjadi sesuatu yang nyata.
Tetapi yang lebih mengejutkan, hidup tidak berhenti di situ.
Hanya dalam beberapa hari, tawaran-tawaran lain datang bertubi-tubi. Aku bahkan tak sempat merenung sebelum pekerjaan berikutnya tiba.
Malam-malamku kini terasa berbeda. Aku sering terjaga, mencoba memahami apa yang terjadi.
Aku bertanya pada diriku sendiri: Mengapa sekarang? Mengapa bukan dulu, ketika aku mati-matian berusaha? Apakah hidup sedang bercanda?
Namun, semakin aku merenung, semakin aku merasa bahwa hidup tidak bercanda.
Hidup, dengan segala keanehannya, justru sedang mengajarkan sesuatu.
Mungkin, pelajaran itu bukan tentang kegagalan atau keberhasilan, tetapi tentang kesabaran—tentang bagaimana kita bertahan di tengah ketidakpastian, terus melakukan yang terbaik meskipun tidak ada yang melihat.
Beternak ayam mengajarkanku untuk percaya pada proses.
Ayam-ayam itu tidak tahu bahwa telur-telur mereka menjadi sumber penghidupan bagiku, tetapi mereka tetap bertelur setiap hari.
Begitu juga dengan menulis.
Aku menulis tanpa tahu apakah ada yang membaca, tetapi aku tetap melakukannya. Dan pada akhirnya, sesuatu yang kulakukan dengan tulus—sekecil apa pun—menemukan jalannya sendiri.
Sekarang, aku menjalani hidup yang tidak pernah kubayangkan.
Aku masih beternak ayam, masih menulis, tetapi ada rasa syukur yang tak bisa kulukiskan.
Hidup, dengan segala misterinya, mengajarkanku bahwa makna sering kali tidak ditemukan dalam apa yang kita capai, tetapi dalam bagaimana kita bertahan dan merawat apa yang kita miliki, sekecil apa pun itu.
Di tengah malam yang sunyi, aku sering memandang bintang-bintang.
Mereka terlihat kecil, tetapi cahayanya menembus ribuan tahun cahaya untuk sampai ke bumi.
Mungkin, hidupku pun seperti itu—kecil dan sederhana, tetapi siapa tahu, mungkin ada cahaya yang sedang kutebarkan tanpa kusadari.
Dan ketika hidup berbicara, ia selalu membawa kejutan, bukan untuk menertawakan, tetapi untuk mengingatkan bahwa kita tidak pernah benar-benar sendirian.