Khalil Gibran: Sang Nabi dari Lebanon dan Kisah Tragis dalam Sayap-sayap Patah
Source Bing Image Creator |
Oleh: T. Marzuki. YS*
Setiap karya selalu memberikan sebuah gelar kepada penciptanya, terlebih dalam bidang sastra.
Salah satu gelar yang sangat terkenal adalah The Immortal Prophet of Lebanon, yang berarti Sang Nabi Abadi dari Lebanon.
Nama di balik gelar ini tentu tidak asing bagi para penikmat sastra: Khalil Gibran. Tokoh sastra ini telah merasuk ke dalam benak pembacanya dengan bait-bait dan ungkapan indah yang selalu ia selipkan dalam karyanya.
Gelar Sang Nabi Abadi dari Lebanon diberikan oleh para penikmat sastra berkat karyanya yang berjudul An-Nabi atau The Prophet dalam bahasa Inggris. Ini adalah salah satu karya Khalil Gibran yang kontroversial pada zamannya.
Gelar Sang Nabi Abadi dari Lebanon diberikan oleh para penikmat sastra berkat karyanya yang berjudul An-Nabi atau The Prophet dalam bahasa Inggris. Ini adalah salah satu karya Khalil Gibran yang kontroversial pada zamannya.
Selain The Prophet, masih banyak karya lainnya, salah satunya adalah Al-Ajnihah al-Mutakassirah atau The Broken Wings (Sayap-sayap Patah).
Novel ini berhasil bertahan dalam daftar best seller dunia dalam waktu yang cukup lama, mengisahkan seorang pemuda yang berusaha meraih cinta pertamanya, namun harus menghadapi takdir yang tak terelakkan.
Pemilihan kata-kata yang tepat oleh Gibran membantu pembaca menyelami alur cerita seakan kisah itu terjadi tepat di depan mata mereka. Rangkaian kalimat yang sangat puitis membuat pembaca tenggelam dalam alur cerita yang sarat dengan emosi.
Seperti novel pada umumnya, kisah yang disajikan dalam Sayap-sayap Patah merupakan bagian dari pengalaman pribadi Gibran—dimulai dari jatuh hati, perjuangan, hingga pengorbanan besar.
Novel ini lahir dari perasaan tidak adil, kemunafikan, dan penyimpangan makna cinta yang terjadi di sekeliling Gibran, bahkan dialami olehnya.
Novel ini lahir dari perasaan tidak adil, kemunafikan, dan penyimpangan makna cinta yang terjadi di sekeliling Gibran, bahkan dialami olehnya.
Hala Daher, yang digambarkan sebagai Selma Karamy dalam novel ini, adalah teman studi Gibran di Lebanon dan menjadi cinta pertamanya yang ditakdirkan. Hampir semua ungkapan dalam Sayap-sayap Patah penuh dengan metafora yang indah dan mendalam.
Dalam kisah ini, Selma Karamy ditakdirkan untuk menikah dengan keponakan seorang pendeta terkenal di Lebanon, yang dalam ingatan Gibran, Selma, dan Farris Effendi (ayah Selma) adalah sosok berbahaya, jahat, gila harta, dan penuh tipu daya.
Dalam kisah ini, Selma Karamy ditakdirkan untuk menikah dengan keponakan seorang pendeta terkenal di Lebanon, yang dalam ingatan Gibran, Selma, dan Farris Effendi (ayah Selma) adalah sosok berbahaya, jahat, gila harta, dan penuh tipu daya.
Namun, sosial-budaya Lebanon saat itu memaksa Farris Effendi menerima lamaran tersebut, sebab menolak keinginan seorang pendeta berarti hidup dalam ketidakamanan dan ketidaktenangan di Lebanon.
Dengan keputusasaan, Selma mencoba mengungkapkan rasa putus asanya kepada Gibran atas takdir yang mereka hadapi:
"Sementara ayahku dan laki-laki peminang itu sedang merencanakan hari pernikahanku, aku menyaksikan roh-mu melayang-layang di atas sebuah mata air yang dijaga oleh ular naga yang kelaparan. Oh… Betapa agungnya malam ini! Dan betapa dalam misterinya!”
Dalam ungkapan: Aku menyaksikan roh-mu melayang-layang menggambarkan cinta Gibran pada Selma yang tak akan pernah pudar, meskipun harapan mereka untuk bersama telah sirna.
Di atas sebuah mata air melambangkan harapan dan kehidupan, yang dalam konteks ini adalah keindahan dan kepribadian Selma yang menjadi dambaan banyak pria.
Yang dijaga oleh ular naga yang kelaparan adalah simbol kondisi sosial Lebanon yang menindas mereka yang menentang para penguasa dan pemuka agama.
Gibran merespons dengan ungkapan yang tak kalah pilu:
“Burung itu akan berputar-putar di atas mata air hingga rasa haus menghancurkannya atau terjatuh ke dalam cengkraman sang ular dan menjadi mangsanya.”
Dalam kalimat: Burung itu akan berputar-putar di atas mata air menggantikan kata roh dengan burung, menunjukkan bahwa cintanya pada Selma akan terus hidup meskipun mereka tak bisa bersama.
Hingga rasa haus menghancurkannya melambangkan penderitaan Gibran tanpa Selma, menggambarkan bahwa ia akan terus mencintai meskipun harus hidup dalam pedih hingga ajal menjemput.
Dalam kisah tragis ini, Khalil Gibran menghadirkan sebuah metafora cinta yang abadi namun penuh derita, seakan hidupnya sendiri terbang melayang-layang, tertahan di atas sumber harapan yang dijaga ketat oleh takdir yang tidak berpihak. []
* Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Arab, STAIN Tgk Dirundeng Meulaboh.
Dengan keputusasaan, Selma mencoba mengungkapkan rasa putus asanya kepada Gibran atas takdir yang mereka hadapi:
"Sementara ayahku dan laki-laki peminang itu sedang merencanakan hari pernikahanku, aku menyaksikan roh-mu melayang-layang di atas sebuah mata air yang dijaga oleh ular naga yang kelaparan. Oh… Betapa agungnya malam ini! Dan betapa dalam misterinya!”
Dalam ungkapan: Aku menyaksikan roh-mu melayang-layang menggambarkan cinta Gibran pada Selma yang tak akan pernah pudar, meskipun harapan mereka untuk bersama telah sirna.
Di atas sebuah mata air melambangkan harapan dan kehidupan, yang dalam konteks ini adalah keindahan dan kepribadian Selma yang menjadi dambaan banyak pria.
Yang dijaga oleh ular naga yang kelaparan adalah simbol kondisi sosial Lebanon yang menindas mereka yang menentang para penguasa dan pemuka agama.
Gibran merespons dengan ungkapan yang tak kalah pilu:
“Burung itu akan berputar-putar di atas mata air hingga rasa haus menghancurkannya atau terjatuh ke dalam cengkraman sang ular dan menjadi mangsanya.”
Dalam kalimat: Burung itu akan berputar-putar di atas mata air menggantikan kata roh dengan burung, menunjukkan bahwa cintanya pada Selma akan terus hidup meskipun mereka tak bisa bersama.
Hingga rasa haus menghancurkannya melambangkan penderitaan Gibran tanpa Selma, menggambarkan bahwa ia akan terus mencintai meskipun harus hidup dalam pedih hingga ajal menjemput.
Dalam kisah tragis ini, Khalil Gibran menghadirkan sebuah metafora cinta yang abadi namun penuh derita, seakan hidupnya sendiri terbang melayang-layang, tertahan di atas sumber harapan yang dijaga ketat oleh takdir yang tidak berpihak. []
* Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Arab, STAIN Tgk Dirundeng Meulaboh.