Menghargai Manusia Tanpa Label: Sebuah Renungan
Source Bing Image Creator |
Oleh: Arizul Suwar*
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan, kita sering kali menilai seseorang hanya dari peran yang ia mainkan dalam masyarakat.
Seorang dokter, tentara, guru, atau pengemudi ojek online—mereka semua dilihat dari profesi dan status yang melekat pada diri mereka. Sederhananya, nilai mereka sering kali ditentukan oleh kontribusi yang mereka berikan untuk memenuhi kebutuhan orang lain.
Namun, apakah nilai manusia memang sebatas itu?
Kita sering lupa bahwa di balik label, seragam, dan rutinitas mereka, ada "diri" manusia yang unik.
Di balik setiap peran yang mereka jalani, ada pribadi yang mungkin menyimpan mimpi-mimpi tersembunyi, luka yang tak terlihat, dan perjuangan yang tidak pernah diungkap dengan kata-kata.
Gregor Samsa dalam novel Metamorfosis dapat menjadi potret sempurna untuk mengilustrasikan fenomena ini.
Gregor, yang selama bertahun-tahun bekerja keras demi keluarganya, suatu hari mendapati dirinya berubah menjadi seekor serangga besar.
Di titik inilah ujian dimulai: keluarganya, yang sebelumnya sangat bergantung pada penghasilannya, mulai melihat Gregor bukan lagi sebagai manusia yang mereka kasihi, tetapi sebagai beban.
Dulu, ketika Gregor masih berfungsi sebagai pencari nafkah, ia adalah pahlawan keluarga. Namun, ketika ia tak lagi bisa menjalankan perannya, pandangan keluarganya berubah drastis.
Nilai Gregor merosot hanya karena ia tak lagi "berfungsi" sesuai harapan mereka. Ia tidak lagi dilihat sebagai sosok yang diandalkan, tetapi sebagai makhluk asing yang tak berguna.
Pertanyaannya, apakah manusia hanya pantas dinilai berdasarkan fungsi sosialnya? Jika jawabannya “iya,” kita mungkin sudah kehilangan rasa empati terhadap sesama.
Kita akan mengabaikan kompleksitas setiap individu, melupakan bahwa di balik setiap peran ada pribadi yang memiliki cerita, mimpi, dan cita-cita.
Mengapa kita sering menilai seseorang tak ubahnya mesin? Hanya dianggap berharga saat ia masih "berguna" dan menghasilkan sesuatu.
Dokter dihormati karena menyelamatkan nyawa, guru dianggap mulia karena mendidik generasi penerus, pengemudi ojek online disanjung karena mengantarkan kita tepat waktu. Seseorang dipandang berharga hanya ketika ia "berguna."
Tetapi, saat mereka jatuh sakit, kehilangan pekerjaan, atau bahkan hanya merasa lelah, tiba-tiba nilai mereka di mata orang lain seolah berkurang. Pandangan pun berubah.
Inilah yang terjadi ketika kita melihat manusia semata-mata sebagai alat, sebagai roda dalam mesin besar masyarakat.
Kita menghapus sisi manusiawi mereka, melupakan mimpi-mimpi kecil, kenangan, dan luka-luka yang mungkin tersimpan di sudut keheningan malam mereka.
Kita melupakan "diri" mereka yang sejati, tersembunyi di balik seragam, rutinitas, atau status yang mereka kenakan.
Menghargai manusia berarti melihat lebih dalam, melampaui sekadar fungsi yang mereka mainkan.
Bayangkan jika kita memandang orang lain bukan hanya sebagai "apa yang mereka lakukan untuk kita," tetapi sebagai manusia seutuhnya—pribadi yang kompleks, penuh cerita dan harapan yang tak selalu terlihat di permukaan.
Dengan begitu, kita mulai belajar untuk melihat seseorang bukan hanya dari jasanya, tetapi dari kemanusiaannya.
Mengapresiasi manusia seutuhnya berarti melampaui sekadar melihat perannya di masyarakat.
Ini berarti mengakui bahwa nilai seseorang tidak hanya bergantung pada apa yang ia lakukan untuk orang lain, tapi juga pada siapa dirinya sebagai individu.
Dengan begitu, kita mulai menghargai setiap orang sebagai pribadi yang utuh, bukan sekadar roda dalam mesin besar kehidupan.[]
Dengan begitu, kita mulai menghargai setiap orang sebagai pribadi yang utuh, bukan sekadar roda dalam mesin besar kehidupan.[]
* Arizul Suwar, Alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry, penulis Buku ‘Semoga Semua Makhluk Berbahagia’.