"Jangan Berusaha": Bukowski dan Kemampuan Menerima Diri Apa Adanya

Nisan Charles Bukowlski


Oleh: Arizul Suwar 

Ada sesuatu yang menarik dari nisan Charles Bukowski. Di sana tertulis dua kata sederhana namun membingungkan: “Don’t Try” — “Jangan Berusaha”. 

Kalimat ini terasa janggal, seolah bertentangan dengan semua nasihat sukses yang sering kita dengar: kerja keras, gigih, pantang menyerah. 

Tapi Bukowski, seperti halnya karyanya, tidak pernah berjalan di jalur yang biasa. Ia selalu memilih jalur yang liar, jujur, dan penuh kekacauan.

Bukowski bukanlah sosok yang mewujudkan mimpi sukses secara konvensional. 

Sebagian besar hidupnya dihabiskan dalam kekacauan. 

Ia bekerja sebagai pegawai kantor pos. Tepatnya, penyortir surat, pekerjaan yang ia benci. Pekerjaan yang dia lakukan sambil berjuang melawan kecanduan alkohol. 

Hidupnya berantakan. Namun, di tengah semua itu, ia tetap menulis. 

Ia menulis puisi dan cerita pendek yang terinspirasi dari pengalaman hidupnya sendiri — kisah-kisah tentang kesedihan, kemiskinan, cinta yang gagal, dan absurditas kehidupan manusia.

Menariknya, Bukowski tidak pernah berusaha keras untuk menjadi seorang “penulis hebat” seperti yang banyak orang impikan. 

Ia menulis hanya karena ia ingin menulis. 

Ia tidak mengejar kesempurnaan, tidak peduli pada pujian, dan tidak sibuk memikirkan apakah tulisannya akan disukai orang lain. 

Tulisannya mentah, kasar, dan jujur. Tapi, justru di situlah letak kekuatannya. Kejujuran yang tanpa basa-basi.

Kemudian, keajaiban kecil terjadi. Seorang editor bernama John Martin menemukan tulisannya dan menawarkan kontrak untuk menerbitkan bukunya. 

Pada usia 50 tahun, Bukowski akhirnya menerbitkan novel pertamanya, “Post Office”, yang langsung sukses besar. 

Bayangkan, seseorang yang sebelumnya hidup dengan gaji pas-pasan, penuh utang, dan bergelut dengan alkoholisme, tiba-tiba menjadi penulis terkenal. 

Tapi menariknya, bahkan setelah ia sukses, Bukowski tidak berubah. 

Ia tetap menulis dengan cara yang sama: jujur dan tanpa pretensi.
Mungkin inilah yang dimaksud dengan “Don’t Try”. 

Bukan ajakan untuk malas atau menyerah sebelum mencoba, melainkan sebuah pengingat untuk tidak memaksakan diri menjadi sesuatu yang bukan diri kita. 

Bukowski tidak pernah mencoba menjadi “penulis besar”. 

Ia hanya menulis dengan cara yang paling jujur dan autentik — dan dari situlah keaslian muncul.

Jika kita pikirkan lebih dalam, pesan ini sangat relevan dengan kehidupan kita hari ini. 

Di era media sosial, kita sering kali merasa perlu "berusaha keras" menjadi seseorang yang terlihat bahagia, produktif, dan sukses. 

Kita membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain, merasa gagal saat tidak mencapai standar tertentu. Kita sibuk memoles citra diri agar terlihat menarik di mata orang lain.

Bukowski mengingatkan kita bahwa semua itu sia-sia. Kita tidak perlu berpura-pura menjadi sempurna. 

Kebahagiaan tidak datang dari mengejar pengakuan, melainkan dari menerima diri kita sendiri. 

Seperti Bukowski yang menulis bukan demi ketenaran, kita pun bisa melakukan sesuatu bukan demi validasi orang lain, melainkan karena kita ingin melakukannya.

Anehnya, justru ketika kita berhenti "berusaha keras" menjadi orang lain, kita lebih mungkin menemukan keaslian diri. 

Bukowski tidak akan pernah menjadi legenda jika ia mencoba menjadi seperti penulis-penulis besar lainnya. 

Ia hanya menjadi dirinya sendiri — dengan semua kelebihan dan kekurangannya — bisa dibilang, dia menyadari betul bahwa dirinya adalah seorang pecundang, namun itulah yang membuatnya dikenang hingga hari ini.

Jadi, jika hidup mulai terasa sesak dengan ambisi dan tekanan sosial, mungkin saatnya kita berhenti sejenak. 

Jangan berusaha terlalu keras untuk menjadi sesuatu yang bukan diri kita. 

Sebab, kejujuran dan keaslian tidak butuh usaha besar — mereka hanya butuh keberanian untuk menerima diri apa adanya. Mungkin itulah esensi sejati dari kalimat “Don’t Try” yang terukir di nisan Charles Bukowski.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan