Ketakutan yang Tak Pernah Kita Akui

Ilustrasi ketakutan yang tak pernah kita akui


Oleh: Arizul Suwar 

Ada sebuah ironi yang sering kali tak kita sadari. Kita mengejar uang, bukan semata-mata karena membutuhkannya, melainkan karena merasa kekurangan. 

Lihatlah orang-orang yang sudah punya banyak harta, tetap saja mereka ingin lebih banyak lagi. 

Kita berdiri di depan cermin, mengulang-ulang afirmasi, "Aku percaya diri, aku kuat." Tapi, benarkah kita percaya? Atau justru kita melakukannya karena di dalam diri ada keraguan yang tak pernah selesai?

Coba bayangkan seseorang yang terus-menerus mengikuti seminar motivasi. 

Ia duduk di kursi peserta, mencatat dengan semangat, dan mengangguk-angguk saat pembicara berkata, "Anda semua luar biasa! Anda hanya perlu berpikir positif!

Lalu, sepulangnya dari seminar, ia kembali diserang perasaan tak berdaya saat menghadapi tagihan listrik yang belum terbayar atau target kerja yang tak kunjung tercapai. 

Lantas, apa yang sesungguhnya ia kejar? Keberhasilan? Atau pengalihan dari rasa takut gagal?

Hal yang sama terjadi dalam hubungan cinta. 

Kita membaca buku tentang cara menjadi pasangan ideal, menonton video "Cara Membuat Pasangan Anda Selalu Cinta" di YouTube, dan mendengar tips dari para pakar asmara. 

Tapi, di balik semua itu, ada ketakutan yang lebih mendasar: takut sendirian. Takut tak dicintai. Takut tak cukup layak. 

Kita berharap tips dan trik itu akan mengubah kita menjadi "versi yang lebih baik" dari diri kita sendiri. 

Tapi, bukankah itu juga pengakuan bahwa kita merasa diri kita saat ini belum cukup baik?

Lebih lucu lagi, kita membayangkan kesuksesan dengan visualisasi. 

Kita diminta membentuknya di kepala, membayangkan diri kita berdiri di podium dengan piala di tangan, atau melihat saldo rekening yang melimpah. 

Seolah-olah, visualisasi itu adalah jalan pintas menuju kenyataan. 

Tapi, mengapa kita melakukannya? Kalau kita jujur, ada bisikan halus yang terus terdengar di dalam kepala: "Aku belum cukup sukses."

Mark Manson mungkin benar. 

Upaya kita mengejar lebih banyak hal dalam hidup sering kali bukan karena kita sungguh-sungguh menginginkannya, melainkan karena kita takut kehilangan atau merasa kurang. 

Dalam Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat, ia menulis, "Ironisnya, pengarahan pemikiran pada hal-hal positif ini—tentang apa yang lebih baik, apa yang lebih unggul—hanya akan mengingatkan diri kita lagi dan lagi tentang kegagalan kita, kekurangan kita, apa yang seharusnya kita lakukan namun gagal kita wujudkan."

Renungkan itu. Kita pikir kita sedang memperbaiki diri, tapi yang sebenarnya terjadi adalah kita mempertegas apa yang salah dari diri kita. 

Kita terus-menerus merasa harus lebih baik, lebih unggul, lebih sempurna. Tapi, bukankah justru ini yang membuat kita merasa semakin kurang? 

Kita seperti seseorang yang berdiri di depan cermin dan mengulang-ulang kalimat, "Aku bahagia. Aku bahagia.

Tapi, seperti kata Mark Manson, "Jika seseorang sungguh bahagia, dia tidak akan merasa perlu berdiri di depan cermin dan mengulang-ulang ucapan bahwa dia bahagia. Dia bahagia, ya bahagia begitu saja."

Mari kita pikirkan sejenak. 

Apa sebenarnya yang sedang kita kejar? Apakah afirmasi diri itu sungguh untuk membangun atau sekadar menambal lubang di hati? 

Apakah tips dan trik itu benar-benar jalan keluar atau justru perangkap baru yang lebih dalam?

Coba lihat sekeliling. Lihat teman-teman yang kamu kenal. 

Ada yang tampak bahagia di media sosial dengan unggahan foto liburan, sertifikat penghargaan, atau pencapaian karier. Tapi, apakah itu sungguh kebahagiaan? Atau sekadar upaya untuk meyakinkan diri sendiri bahwa mereka baik-baik saja? Dan, bukankah kita pun kadang melakukannya?

Mungkin, yang perlu kita tanyakan bukan "Bagaimana caranya menjadi sukses?", melainkan "Kenapa aku merasa tidak cukup?"

Mungkin, yang perlu kita lihat bukan pantulan yang nampak di permukaan, tapi cara kita memandang diri kita sendiri dari dalam.

Ada sebuah cerita sederhana. 

Seorang petani tua punya ladang kecil dan seekor sapi tua. Suatu hari, sapinya kabur ke hutan. Para tetangga datang dan berkata, "Kasihan sekali kamu. Sapimu hilang." Petani itu hanya menjawab, "Mungkin ya, mungkin tidak.

Esoknya, sapi itu kembali membawa serta tiga ekor sapi liar lainnya. Para tetangga datang lagi dan berkata, "Wah, betapa beruntungnya kamu! Sekarang kamu punya empat sapi!" Petani itu hanya menjawab, "Mungkin ya, mungkin tidak."

Keesokan harinya, anak petani itu mencoba menjinakkan salah satu sapi liar, tetapi ia jatuh dan kakinya patah. Para tetangga datang lagi, "Kasihan sekali anakmu! Kakinya patah!" Petani itu kembali berkata, "Mungkin ya, mungkin tidak.

Beberapa hari kemudian, pasukan kerajaan datang ke desa untuk merekrut pemuda-pemuda sebagai tentara. Tapi karena kaki anak petani itu patah, ia tidak dibawa pergi. Para tetangga berkata, "Betapa beruntungnya kamu! Anakmu selamat!" Dan sekali lagi, petani itu berkata, "Mungkin ya, mungkin tidak."

Cerita ini mengajarkan bahwa kita tak pernah sepenuhnya tahu apa yang baik atau buruk bagi kita. 

Terkadang, kekurangan yang kita keluhkan bisa jadi adalah berkah tersembunyi. Dan keinginan kita untuk "lebih baik" bisa jadi hanyalah ilusi yang tak pernah usai.

Mungkin, saat kita mengejar kesempurnaan, kita lupa bahwa tak ada yang lebih sempurna dari menerima diri sendiri. 

Sebab, tak ada afirmasi yang lebih kuat dari menerima diri apa adanya. Dan tak ada visualisasi yang lebih jujur dari memandang ketakutan tanpa berlari.

Jadi, mari kita berhenti sejenak. Bukan untuk merencanakan langkah berikutnya, tetapi untuk bertanya pada diri sendiri: "Kenapa aku merasa kurang? Kenapa aku merasa tak cukup?"

Jawabannya mungkin tak datang secepat kilat, tapi proses merenungkannya akan lebih berarti daripada semua seminar motivasi yang pernah kita ikuti.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan