Lepaskan Diri dari Perfeksionisme: Selesaikan Mimpi, Rayakan Bahagia



Oleh: Arizul Suwar

Ada saat-saat ketika kita berdiri di ambang pencapaian, tetapi bukannya melangkah maju, kita justru ragu. 

Bukan karena kita tak mampu, melainkan karena bayang-bayang kesempurnaan menghalangi pandangan kita. 

Keinginan untuk menjadi sempurna, meski terdengar mulia, sering kali justru menjadi belenggu tak kasat mata. 

Sebagaimana diungkapkan oleh Soviah K dan Mulasih Tari dalam Sayangi Diri Sendiri, Stop Memaksa Jadi Sempurna, perfeksionisme dapat membuat kita abai pada kebahagiaan yang sebenarnya sudah ada di depan mata.

Bayang-Bayang Kesempurnaan

Bayangkan seorang mahasiswa yang memimpikan kelulusan. 

Setelah bertahun-tahun berjuang menghadapi tugas, ujian, dan skripsi, momen itu akhirnya tiba. 

Tetapi alih-alih meluapkan kegembiraan, ia justru dihantui satu pikiran: “Aku tidak cumlaude.” 

Semua perjuangan selama bertahun-tahun tiba-tiba terasa tak berarti hanya karena satu label tak tersemat di belakang namanya. 

Kebahagiaan yang seharusnya ia rayakan menjadi sunyi, terkubur oleh ekspektasi yang bahkan tak pernah ia sepakati dari awal.

Lalu, bayangkan seorang penulis yang bertahun-tahun berupaya menulis buku. 

Setelah melewati ratusan halaman revisi, naskahnya akhirnya diterbitkan. 

Mimpinya menjadi nyata: karyanya menghuni rak-rak toko buku. Tapi, kebahagiaan itu tak kunjung hadir. 

Bukan karena karyanya tak laku, melainkan karena bukunya tidak berada di rak atas yang terlihat jelas. 

Ia melihat bukunya di rak bawah, tersembunyi dari pandangan pengunjung. Alih-alih bangga, ia merasa gagal. 

Padahal, mimpi yang dulu sekadar angan-angan telah menjadi nyata.

Logika Keliru yang Menjebak

Ketakutan akan kegagalan kerap kali lebih besar daripada kegagalan itu sendiri. 

Ketika impian tampak jauh dari "sempurna," kita memilih berhenti. 

Kita mundur, bukan karena tak mampu, tetapi karena takut terluka. 

Logika keliru ini sering kali tak kita sadari. 

Kita meyakini bahwa tak mencoba lebih aman daripada mencoba dan gagal. 

Ini adalah jebakan perfeksionisme: kita tidak ingin memulai jika hasil akhirnya tak dijamin sempurna.

Namun, kita lupa satu hal yang mendasar: nilai “selesai” jauh lebih besar daripada nilai “sempurna.” 

Lulus, meski tanpa predikat cumlaude, tetaplah lulus. 

Menulis buku, meski hanya satu eksemplar di rak bawah toko, tetaplah pencapaian luar biasa. 

Tapi, perfeksionisme membelokkan logika kita. Kita hanya merasa berharga jika hasilnya sempurna. 

Kita lupa bahwa proses dan keberanian untuk menyelesaikan jauh lebih penting.

Selesai Lebih Baik dari Sempurna

Kesempurnaan itu ilusi. Sempurna adalah standar yang terus bergerak maju seiring dengan ekspektasi kita. 

Ketika satu target tercapai, kita menciptakan target baru yang lebih tinggi. 

Dalam logika perfeksionisme, kebahagiaan selalu tertunda. Ada sejenis kesepakatan tak tertulis di dalam diri kita: "Aku akan bahagia kalau...," diikuti oleh serangkaian syarat yang terus bertambah. 

Kalau bisa cumlaude. Kalau bisa dapat pekerjaan bergaji besar. Kalau bisa memiliki rumah sendiri. Kalau, kalau, dan kalau.

Padahal, kebahagiaan tak harus menunggu semua itu. Kebahagiaan bukan soal berdiri di puncak tertinggi, melainkan soal merayakan langkah-langkah kecil di sepanjang perjalanan. 

Ini yang sering kali terlupakan: kebahagiaan adalah proses, bukan hasil akhir.

Refleksi dan Pilihan

Di titik ini, kita perlu bertanya pada diri sendiri: untuk siapa kita mengejar kesempurnaan? Apakah untuk diri kita sendiri, atau untuk memenuhi ekspektasi orang lain? 

Jangan-jangan kita selama ini lebih sibuk mengejar pengakuan daripada merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Socrates pernah berkata, "Hidup yang tak direfleksikan tidak layak dijalani." Jika kita terus-menerus mengejar kesempurnaan, kita mungkin kehilangan momen-momen kecil yang justru layak dirayakan. 

Sempurna adalah angan-angan, sementara "selesai" adalah kenyataan.

Penutup

Kita tak perlu menunggu semua sempurna untuk merasa bahagia. Sempurna adalah ilusi yang tak pernah tiba. 

Sebaliknya, "selesai" adalah pencapaian nyata yang bisa kita genggam. 

Kebahagiaan tidak harus menunggu predikat cumlaude, posisi buku di rak atas, atau pengakuan orang lain. 

Kebahagiaan hadir saat kita bisa melihat bahwa setiap langkah kecil menuju tujuan layak dirayakan. 

Sebab, selesai selalu lebih berarti daripada sempurna yang tak pernah datang.

Mari berhenti menunda kebahagiaan. Biarkan kesempurnaan menjadi mimpi, tapi biarkan "selesai" menjadi kenyataan. 

Sebab di antara keduanya, hanya "selesai" yang benar-benar membawa kita pada kebahagiaan.[]
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan