Menemukan Pengawas dalam Diri Sendiri
Oleh: Arizul Suwar
Dalam Go Set a Watchman, Harper Lee mengisahkan perjalanan Jean Louise Finch yang harus menghadapi kenyataan pahit bahwa ayahnya, Atticus Finch, bukanlah sosok sempurna yang selama ini ia bayangkan.
Baginya, Atticus adalah simbol moral yang teguh, pilar kebenaran yang tak tergoyahkan. Namun, seiring waktu, idealismenya runtuh ketika ia menemukan sisi lain dari ayahnya—sisi yang berlawanan dengan prinsip-prinsip yang ia pegang erat.
Proses ini mengguncang, tapi sekaligus menyadarkan: idealisme masa kecil sering kali berbenturan dengan kenyataan hidup.
Aku merasa kisah Jean Louise begitu dekat dengan pengalaman pribadiku. Dalam hidup, aku pun tumbuh dengan mengidolakan sosok-sosok tertentu—orang tua, guru, atau pemimpin.
Mereka adalah penuntun moral, sosok yang aku anggap tak pernah salah. Tapi kenyataan berbicara lain. Lambat laun, aku menyadari bahwa mereka hanyalah manusia biasa, dengan kelemahan, kekurangan, bahkan kontradiksi.
Ketika kebenaran ini muncul, aku dihadapkan pada dilema: apakah aku harus menghancurkan semua keyakinan yang pernah aku pegang, atau belajar menerima kompleksitas mereka dan dunia ini?
Harper Lee melalui kisah Jean Louise memberiku pelajaran penting: pengawas sejati tidak terletak pada figur luar, tetapi dalam diriku sendiri.
Aku harus menjadi penjaga moral untuk diriku sendiri, mendasarkan keputusan dan tindakan pada hati nuraniku, bukan pada bayangan ideal tentang orang lain.
Konsep “pengawas” ini mengingatkanku pada suara hati—intuisi yang sering kali terabaikan di tengah kebisingan dunia.
Suara itu tidak selalu mudah didengar, apalagi jika aku terbiasa bergantung pada orang lain untuk menentukan arah.
Tapi Harper Lee mengingatkanku bahwa suara hati adalah panduan paling jujur yang aku miliki. Jean Louise, pada akhirnya, menemukan bahwa pengawas sejati bukanlah ayahnya atau siapa pun.
Pengawas itu ada dalam dirinya sendiri, dan ia harus belajar mendengarkannya.
Pelajaran ini membuatku merenungkan kembali cara aku memandang dunia dan orang-orang di sekitarku. Ketika aku melihat kelemahan dalam diri mereka, apakah itu berarti aku harus menghapus semua kebaikan yang pernah mereka tunjukkan?
Tidak. Justru, aku belajar bahwa menerima ketidaksempurnaan adalah bentuk cinta yang lebih dalam. Aku menghargai mereka bukan karena mereka sempurna, tetapi karena mereka adalah manusia, seperti aku, yang juga sedang belajar memahami kehidupan.
Aku menyadari bahwa hidup adalah proses pendewasaan yang tak pernah berhenti. Ketika idealismeku bertabrakan dengan kenyataan, itu bukan tanda kekalahan. Itu adalah momen untuk tumbuh, untuk belajar menyeimbangkan antara harapan dan realitas.
Dunia ini tidak pernah hitam-putih, dan itu bukan hal yang buruk. Justru di tengah ambiguitas itu, aku diajak untuk menjadi lebih bijaksana, untuk memikul tanggung jawab moralku sendiri tanpa bergantung sepenuhnya pada siapa pun.
Go Set a Watchman mengajarkanku keberanian untuk berdiri sendiri dalam mencari kebenaran. Dunia ini penuh kebingungan, dan aku tidak bisa selalu berharap orang lain menunjukkan jalan yang benar.
Pada akhirnya, aku harus menjadi pengawas bagi diriku sendiri, setia pada hati nurani yang jujur.
Harper Lee mengingatkanku bahwa kebebasan sejati tidak terletak pada kepatuhan buta kepada figur otoritas atau aturan tertentu, tetapi pada keberanian untuk mendengar suara hati.
Ketika aku berani mendengarkan suara itu, aku akan menemukan arah, bahkan di tengah kekacauan. Dan di situlah aku benar-benar merdeka—merdeka untuk menerima diriku sendiri dengan segala kekurangan, dan tetap mencintai dunia apa adanya.[]