Meraih Pengalaman Ontologis Al-Qur’an



Oleh: Ramli Cibro*

Sebuah artikel ditulis oleh Ismail Fajrie Alatas, guru besar antropologi di New York University Amerika Serikat. Fajrie Alatas mengulas tentang tradisi membaca, mendengar dan sima’an Al-Qur’an yang berlaku di kalangan Bani Ba’alwi dan Tarekat Alawiyin. 

Artikel tersebut berjudul Voicing God’s presence; Qurʾānic recitation, Sufi ontologies and the theatro-graphic experience, yang dapat diartikan sebagai Memperdengarkan Kehadiran Tuhan, Tradisi Qira’at, Ontologi Sufi dan Pengalaman Theatro-graphic atau drama penyaksian.

Dalam artikel yang diterbitkan oleh HAU: Journal of Ethnographic Theory Vol.14 No.1 2024 tersebut, Fajrie Alatas membuka narasi dengan kisah yang diambil dari kitab Awā’rif al-Ma’ārif karya Shahab al-Din Abu Hafs Umar al-Suhrawardi ( c. 1145 – 1234). Tentang Ja’far Shādiq yang mengalami ektase setelah membaca Al-Qur’an. 

Ja’far ditanya bagaimana ia sampai pada pengalaman puncak ontologis, ektase dan perasaan perjumpaan? Ja’far menjawab, “Saya terus menerus membaca Al-Qur’an, hingga saya mampu mendengar bahwa Tuhan sendiri yang memperdengarkan kalam-Nya.

Al-Qur’an, sesuai dengan namanya yang diambil dari qara’a dan iqra’, bukanlah mushaf kodifikasi semata, tapi ia adalah bacaan itu sendiri (qur’anan) (Graham, 1987). 

Kata Al-Ghazali, “Membaca Al-Qur’an adalah jalan menuju keabadian.” Karena nilai tertinggi dari Al-Qur’an adalah pembacaan sembari mentadabburi setiap maknanya. Firman Allah, “Dan bacalah Al-Qur’an secara pelan dan penuh penghayatan” (QS 73:4).

Bagi sufi, Al-Qur’an bukan sekedar sumber referensi dan argumentasi (bayān dan burhān), tapi ia adalah medium menuju ‘irfān (syuhud dan penyaksian). 

Tuhan, dalam kacamata sufistik adalah transenden (tanzîh) sekaligus imanen (tasybîh) kemudian transenden semata-mata (tanzîh mahad). Tuhan ber-tajalli (eksis) dalam alam semesta, dan menyuarakan kalam abadi-Nya, salah satunya dalam medium lirik dan larik ayat-ayat Al-Qur’an. 

Membaca Al-Qur’an, berarti menjalin temali komunikasi dengan Sang Tuhan. Membaca Al-Qur’an, berarti memperdengarkan kalam Tuhan, hingga pada pengalaman puncak yang tidak biasa yakni mendengarkan Tuhan membacakan kalam-Nya sendiri. 

Bagi ulama sufi, hubungan Tuhan dengan alam semesta adalah huwa la huwa (Dia tapi bukan Dia). Namun, dalam paradoksal epistemik dan ambiguitas psiko-linguistik, keberadaan Tuhan dapat dirasa secara terus menerus melalui pembacaan yang mendalam akan Al-Qur’an.

Al-Qur’an, Ba’alwi dan Tarekat Alawiyin.

Ba’alwi artinya Bani Alawi, di mana Ba’ dalam dialek Hadramaut disebut dengan Bani. Komunitas Ba’alwi kemudian terhubung dengan Tarekat Alawiyin yang dilembagakan secara formal oleh Sayyid Ba’alwi dan keturunannya pada abad ke 13 di lembah Hadramaut, Tarim, Yaman Selatan. 

Sejak berdiri hingga tahun 1990, keberadaan Tarekat Alawiyin belum sepopuler sekarang lantaran situasi politik Yaman yang tidak stabil. Namun pasca 1990, Tarekat Alawiyin berekspansi melintasi laut Afrika, menyeberangi India hingga masuk ke Indonesia. 

Salah satu perwakilan terkemuka dari tarekat ini adalah Habib Umar Al Hafiz (lahir 1962). Beliau mendapatkan populeritas berkat keilmuan, kesalehan dan kemampuan menyentuh audien. 

Beliau secara terus-menerus mendorong pada kesalehan publik, setelah pada pemerintahan sebelumnya, kesalehan itu diprivatisasi oleh negara. Beliau mendirikan Madrasah Darul Mustafa yang memiliki santri dari berbagai belahan dunia termasuk Indonesia, di mana di pesantren tersebut diajarkan hukum Islam, teologi, tafsir Al-Qur’an dan ajaran spiritualitas Ba’alwi. 

Di madrasah tersebut, mereka diajarkan untuk menjalani hidup dan meniru perilaku nabi, mendaki stasiun aḥwâl dan maqâmât. Mereka melalui proses panjang takhalli (menghilangkan sifat tercela), tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat yang baik) dan tajalli (mempersiapkan diri untuk menerima pengalaman theatro-graphic atau drama penyaksian) (Fajrie, 2024:52).

Bagi Ba’alwi, salah satu cara untuk menjadi wali Allah adalah melalui Al-Qur’an. Menurut Ba’alwi, orang yang dekat dengan Tuhan adalah mereka yang sering duduk di majelis Al-Qur’an. Seperti ungkapan Abdurrahman Mustafa Al Aidarus (d. 1779), “Bahwa mereka yang bersahabat dengan Tuhan atau jālis al-rahṃān adalah mereka yang mengungkapkan perkataan-Nya secara terus menerus dan sebanyak-banyaknya, hingga bahasa Tuhan meresap dan membuang tabiat buruk dari dalam batin mereka. 

Untuk itu, Madrasah Darul Mustafa menjamin rantai sanad pembacaan murattal Al-Qur’an, sampai kepada Nabi untuk memastikan legitimasi ‘irfâni dari pengalaman puncak yang diperoleh dengan jalan ishq-ma’suq (bergumul) dengannya. 

Kalam ilahi yang meresap ke dalam hati, siap menyaksikan drama keagungan, dan Al-Qur’an adalah media ilahi yang menghubungkan manusia dengan Penciptanya. 

Membaca Al-Qur’an artinya menjadi saksi dari wawasan pengetahuan Al-Qur’an, mengenai sejarah, mistik dan ontologi (Fajrie, 2024:52).

Pengalaman Ontologis

Pengalaman ontologi adalah pengalaman mengenai hakikat. Ini adalah cara baru memahami Al-Qur’an dari bukan sekedar paham maknanya. 

Pengalaman ontologis membaca Al-Qur’an adalah munculnya kejutan-kejutan pemahaman dan pemaknaan batin mendalam, yang terkadang sosiologis, tapi lebih sering teatrikal dan memukau rasa. 

Al-Qur’an menyajikan pengalaman ontologi bukan saja bagi yang paham akan maksudnya, bahkan bagi mereka yang tidak paham sama sekali. Membaca Al-Qur’an, tanpa memahami makna tetap memberi nilai (pahala dan sensasi spiritual). 

Orang yang membaca Al-Qur’an secara terus menerus akan mendapatkan kenikmatan mardhiyah dan malfazah, yakni nikmat terang dalam menjalani kehidupan dan nikmat manis dalam membacanya. 

Membaca Al-Qur’an disertai dengan tadabbur makna akan menumbuhkan akhlak mulia, mendorong manusia untuk bersikap zuhud, di mana hatinya terbebas dari sangkutan kepada selain Allah. Meminjam ungkapan Syekh Abdurrauf Singkel, bahwa pucak dari keutaman zikir adalah thubut qadim ala matni tauhid, atau keadaan senantiasa mengingat Allah dan tenggelam di dalam lautan tauhid yang juga bisa didapat dari medium zikir bernama Al-Qur’an. “Pada saat itu, engkau menyadari keberadaanmu seperti tiada, hingga sampailah sirr-mu kepada Allah.” Kata Syekh Abdurrauf Singkel.

Dalam tradisi sufi, kemenyatuan kalam Tuhan dengan kalam manusia mengandung nilai dan tafsir makna tersendiri. 

Pada tahap syari’at, dia membaca Al-Qur’an sebagai sesuatu yang disunnahkan dan mendapatkan keberkahan hidup dan kemanisan ibadah darinya; Pada tahap tarekat, dia membaca Al-Qur’an dalam rangka muraqabah dan musyahadah, ingin mendekat dan menyaksikan kebesaran Allah dan merasakan dzauq ilahi; Pada tahap hakikat, dia membaca Al-Qur’an karena gerakan (getaran kosmik) dari Allah, pada saat itu, geraknya adalah gerakan yang digerakkan oleh Tuhan. Pada tahap ini, seperti peristiwa spiritual yang dialami oleh Ja'far Shadiq, Allah sendiri memperdengarkan kalam-Nya dalam drama teatrikal theatro-graphic dan pengalaman mistis. Terakhir, pada tahap makrifat, dia tidak ada, yang ada hanya Allah semata.[]

*Ramli Cibro, Sekretaris Rumah Moderasi Beragama STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh
Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan