Berkebun atau Rebahan? Pilihan Sederhana untuk Masa Depan yang Lebih Baik
Oleh: Abigail
Sementara itu, anak-anak muda? Mereka sibuk rebahan, scroll media sosial, lalu mengeluh soal hidup. Kalau lapar? Tinggal buka aplikasi, pesan makanan online, dan protes di X karena ongkirnya kemahalan. Dompet pun makin tipis, lebih bocor dari galon tua di pojokan dapur.
Padahal, kalau mau sedikit bergerak, mengotori tangan dengan tanah, dan memanfaatkan lahan yang ada, hidup bisa jauh lebih hemat dan berkualitas.
Bayangkan bangun pagi, keluar rumah, dan di halaman sudah ada cabai merah segar yang bisa langsung dipetik. Tidak perlu ribet ke pasar, tidak perlu adu akting dengan pedagang soal harga. Tidak ada debat sengit antara logika dan dompet ketika harga cabai tiba-tiba meroket.
Begitu juga dengan kunyit, tomat, dan sayuran lainnya. Semua tersedia di pekarangan sendiri. Urusan dapur jadi lebih ringan, dan yang paling penting, tak ada lagi serangan jantung mendadak gara-gara harga bawang naik lebih cepat daripada perasaan mantan yang pindah ke lain hati.
Berkebun bukan sekadar soal menanam dan panen. Ini tentang pola pikir, tentang bagaimana kita melihat dunia dan menjalani hidup. Kita sudah terlalu terbiasa dengan segala yang serba instan—makanan cepat saji, belanja online dalam hitungan detik, hiburan yang bisa diakses kapan saja tanpa usaha. Tapi, di tengah dunia yang bergerak kilat, berkebun mengajarkan sesuatu yang perlahan kita lupakan: kesabaran.
Tanaman tidak tumbuh dalam semalam. Kamu tidak bisa menabur benih hari ini dan besok langsung panen. Ada proses yang harus dilalui, ada kesabaran yang harus dirawat. Seperti hidup, kita sering menginginkan hasil cepat, kesuksesan instan, tapi kenyataan tidak bekerja seperti itu.
Begitu juga dengan kunyit, tomat, dan sayuran lainnya. Semua tersedia di pekarangan sendiri. Urusan dapur jadi lebih ringan, dan yang paling penting, tak ada lagi serangan jantung mendadak gara-gara harga bawang naik lebih cepat daripada perasaan mantan yang pindah ke lain hati.
Berkebun bukan sekadar soal menanam dan panen. Ini tentang pola pikir, tentang bagaimana kita melihat dunia dan menjalani hidup. Kita sudah terlalu terbiasa dengan segala yang serba instan—makanan cepat saji, belanja online dalam hitungan detik, hiburan yang bisa diakses kapan saja tanpa usaha. Tapi, di tengah dunia yang bergerak kilat, berkebun mengajarkan sesuatu yang perlahan kita lupakan: kesabaran.
Tanaman tidak tumbuh dalam semalam. Kamu tidak bisa menabur benih hari ini dan besok langsung panen. Ada proses yang harus dilalui, ada kesabaran yang harus dirawat. Seperti hidup, kita sering menginginkan hasil cepat, kesuksesan instan, tapi kenyataan tidak bekerja seperti itu.
Berkebun mengajarkan bahwa setiap pertumbuhan butuh waktu, perhatian, dan ketekunan. Ada kebahagiaan tersendiri saat melihat tunas kecil yang dulu kamu tanam perlahan berubah menjadi pohon subur. Itu bukan sekadar daun dan batang, tapi bukti bahwa kerja keras dan ketekunan selalu berbuah manis. Rasanya lebih memuaskan daripada melihat saldo rekening naik setelah gajian—karena kali ini, kamu benar-benar melihat hasil dari tanganmu sendiri.
Tapi mari bicara soal yang lebih realistis: uang. Tak bisa dimungkiri, pengeluaran terbesar dalam rumah tangga selalu berkaitan dengan makanan. Kita bisa menunda beli baju baru, bisa skip kopi kekinian, tapi urusan makan? Itu kebutuhan pokok.
Nah, di sinilah berkebun bisa jadi penyelamat dompet. Bayangkan kalau setiap rumah punya kebun kecil dengan cabai, tomat, kangkung, atau kunyit. Setiap kali butuh bumbu atau sayuran, tinggal petik. Tidak perlu repot ke pasar, tidak perlu tawar-menawar, dan yang pasti, tidak perlu stres melihat harga cabai melambung tinggi.
Tapi mari bicara soal yang lebih realistis: uang. Tak bisa dimungkiri, pengeluaran terbesar dalam rumah tangga selalu berkaitan dengan makanan. Kita bisa menunda beli baju baru, bisa skip kopi kekinian, tapi urusan makan? Itu kebutuhan pokok.
Nah, di sinilah berkebun bisa jadi penyelamat dompet. Bayangkan kalau setiap rumah punya kebun kecil dengan cabai, tomat, kangkung, atau kunyit. Setiap kali butuh bumbu atau sayuran, tinggal petik. Tidak perlu repot ke pasar, tidak perlu tawar-menawar, dan yang pasti, tidak perlu stres melihat harga cabai melambung tinggi.
Jika lebih serius, berkebun bisa bertransformasi dari sekadar kegiatan santai menjadi peluang bisnis kecil-kecilan. Banyak orang yang awalnya menanam untuk konsumsi pribadi, lalu sadar bahwa ini bisa menjadi sumber penghasilan. Dari kebiasaan menanam, berkembang jadi hobi, lalu akhirnya berujung jualan. Dari pekarangan rumah sendiri, siapa tahu, kamu bisa jadi pemasok sayuran organik untuk tetangga.
Namun, berkebun bukan hanya soal uang atau hemat belanja dapur. Ini juga tentang kemandirian. Di zaman ketika ketergantungan pada pasar makin besar, berkebun adalah cara kecil untuk mengambil kendali. Tidak harus selalu mengandalkan supermarket atau pasar untuk memenuhi kebutuhan dasar. Ada kepuasan tersendiri saat bisa menanam dan memanen sendiri. Ada kebanggaan saat tahu bahwa makanan di meja berasal dari jerih payah sendiri, bukan dari kantong plastik belanjaan minimarket.
Selain itu, berkebun juga bentuk kepedulian terhadap lingkungan. Tanaman menyerap karbon dioksida, menghasilkan oksigen, dan membuat lingkungan lebih hijau dan nyaman. Dalam dunia yang semakin panas dan penuh polusi, setiap pot tanaman yang kamu tanam adalah kontribusi kecil untuk bumi yang lebih sehat.
Jadi, anak muda, mau terus jadi penonton di tanah kosong yang menunggu jadi film horor, atau mulai berkebun dan menyelamatkan dompet dari nasib tragisnya? Pilihan ada di tanganmu. Atau lebih tepatnya, di cangkul yang masih berdebu di gudang rumahmu.
Satu hal yang pasti: kalau kamu mulai sekarang, dalam beberapa bulan ke depan, kamu akan bersyukur telah mengambil langkah kecil ini. Siapa tahu, suatu hari nanti, saat menikmati sepiring nasi hangat dengan tumis kangkung dan sambal dari cabai kebun sendiri, kamu akan tersenyum dan berpikir, ternyata berkebun bukan sekadar menanam. Ini tentang kehidupan itu sendiri.[]
Namun, berkebun bukan hanya soal uang atau hemat belanja dapur. Ini juga tentang kemandirian. Di zaman ketika ketergantungan pada pasar makin besar, berkebun adalah cara kecil untuk mengambil kendali. Tidak harus selalu mengandalkan supermarket atau pasar untuk memenuhi kebutuhan dasar. Ada kepuasan tersendiri saat bisa menanam dan memanen sendiri. Ada kebanggaan saat tahu bahwa makanan di meja berasal dari jerih payah sendiri, bukan dari kantong plastik belanjaan minimarket.
Selain itu, berkebun juga bentuk kepedulian terhadap lingkungan. Tanaman menyerap karbon dioksida, menghasilkan oksigen, dan membuat lingkungan lebih hijau dan nyaman. Dalam dunia yang semakin panas dan penuh polusi, setiap pot tanaman yang kamu tanam adalah kontribusi kecil untuk bumi yang lebih sehat.
Jadi, anak muda, mau terus jadi penonton di tanah kosong yang menunggu jadi film horor, atau mulai berkebun dan menyelamatkan dompet dari nasib tragisnya? Pilihan ada di tanganmu. Atau lebih tepatnya, di cangkul yang masih berdebu di gudang rumahmu.
Satu hal yang pasti: kalau kamu mulai sekarang, dalam beberapa bulan ke depan, kamu akan bersyukur telah mengambil langkah kecil ini. Siapa tahu, suatu hari nanti, saat menikmati sepiring nasi hangat dengan tumis kangkung dan sambal dari cabai kebun sendiri, kamu akan tersenyum dan berpikir, ternyata berkebun bukan sekadar menanam. Ini tentang kehidupan itu sendiri.[]