Dendam, Keadilan, dan Siklus Kekerasan yang Tak Berujung: Review Blade of the Immortal

Ilustrasi seorang samurai dengan jubah penuh darah di bawah langit mendung, menggambarkan siklus kekerasan dan balas dendam yang tiada akhir. Seorang gadis muda berdiri di belakangnya, menyaksikan pertempuran dengan ketakutan dan tekad. Terinspirasi dari Blade of the Immortal, gambar ini merefleksikan dilema antara keadilan dan kebencian.
Siklus Dendam dan Keadilan dalam Blade of the Immortal dibuat oleh AI
Oleh: Arizul Suwar

Pendahuluan 

Dendam sering kali dianggap sebagai bentuk keadilan pribadi. Ketika seseorang dirugikan, keinginan untuk membalas menjadi naluri alami yang sulit dihindari.

Namun, apakah balas dendam benar-benar menyelesaikan masalah, atau justru menciptakan luka baru yang lebih dalam?

Dalam banyak kisah, termasuk dalam film Blade of the Immortal (2017), kita melihat bagaimana dendam tidak hanya membebani mereka yang mengejarnya, tetapi juga menyeret orang lain ke dalam pusaran kekerasan yang tiada akhir.

Ketika kebencian diwariskan dan pembalasan terus berlanjut, batas antara korban dan pelaku menjadi kabur.

Pada titik ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah keadilan bisa benar-benar dicapai melalui balas dendam, atau justru ia menjadi jalan tanpa ujung yang semakin memperpanjang penderitaan?

Pertanyaan ini menjadi inti dari Blade of the Immortal, sebuah film laga samurai garapan Takashi Miike yang diadaptasi dari manga karya Hiroaki Samura.

Kisahnya berpusat pada Manji, seorang samurai yang dikutuk dengan keabadian setelah pertempuran brutal yang merenggut nyawa adik perempuannya.

Keabadian yang dimilikinya bukanlah anugerah, melainkan hukuman yang memaksanya terus bertarung, terjebak dalam siklus kekerasan yang tak berkesudahan.

Hidupnya berubah ketika seorang gadis bernama Rin datang meminta bantuannya untuk membalas dendam terhadap kelompok pembunuh yang telah menghancurkan keluarganya.

Terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu, Manji menerima permintaan tersebut, meskipun di lubuk hatinya, ia memahami bahwa dendam bukanlah jalan menuju kedamaian.

Dari sinilah refleksi dimulai. Apakah dendam membawa keadilan, atau hanya memperpanjang derita? Apakah balas membalas dapat menyembuhkan luka, atau justru semakin mengoyaknya?
Tulisan ini bertujuan untuk merenungkan makna dendam dan keadilan melalui perjalanan Rin dan Manji. Dengan menelaah bagaimana keduanya menghadapi kebencian dan kehilangan, kita diajak untuk melihat bahwa balas dendam sering kali lebih membebani daripada membebaskan.
Dunia tidak kekurangan amarah dan permusuhan, tetapi yang lebih sulit ditemukan adalah keberanian untuk melepaskan.

Merenungkan Dendam dan Keadilan: Antara Beban dan Pembebasan

Dendam sering kali dianggap sebagai cara untuk menegakkan keadilan, terutama bagi mereka yang merasa dirugikan dan tidak mendapatkan balasan yang setimpal.

Namun, dalam Blade of the Immortal, kita melihat bahwa dendam tidak sekadar menjadi alat untuk mencari keadilan, melainkan juga perangkap yang bisa memperpanjang penderitaan.

Melalui perjalanan Rin dan Manji, film ini menggambarkan bagaimana dendam yang terus diwariskan hanya menciptakan lingkaran kebencian yang sulit dipatahkan.

1. Dendam Sebagai Beban: Luka yang Tak Kunjung Sembuh

Bagi Rin, dendam adalah satu-satunya alasan untuk bertahan hidup. Ia ingin membalas kematian orang tuanya yang dibantai oleh kelompok Itto-Ryu.

Namun, seiring waktu, perjalanannya bersama Manji mengungkap bahwa dendam bukanlah sesuatu yang bisa dengan mudah membawa ketenangan.

Setiap pertarungan yang ia saksikan, setiap nyawa yang melayang, justru semakin memperdalam lukanya.

Ini menunjukkan bahwa membalas dendam tidak serta-merta menyembuhkan rasa sakit, melainkan memperpanjang penderitaan yang sudah ada.

Hal yang sama juga dialami oleh Manji. Keabadian yang ia miliki membuatnya harus terus bertarung, bahkan ketika ia lelah dan ingin berhenti.

Ia telah menyaksikan berkali-kali bagaimana orang-orang yang terjebak dalam dendam akhirnya kehilangan arah hidup mereka.

Dendam bukan hanya menjadi beban emosional, tetapi juga menjadi siklus tanpa akhir yang sulit diputus.

2. Dendam Sebagai Jalan Tanpa Ujung: Kaburnya Batas Antara Korban dan Pelaku

Seiring berjalannya cerita, batas antara siapa yang benar dan siapa yang salah menjadi semakin kabur.

Para anggota Itto-Ryu, yang awalnya tampak sebagai musuh, juga memiliki kisahnya sendiri.

Mereka bukan sekadar penjahat tanpa alasan, melainkan individu yang juga memiliki masa lalu kelam dan dendam yang mereka warisi.

Ini menunjukkan bahwa dendam, jika terus dipelihara, akan menjadikan seseorang yang dulu adalah korban menjadi pelaku kekerasan berikutnya.

Anotsu Kagehisa, pemimpin Itto-Ryu, adalah contoh nyata bagaimana dendam dan ambisi saling berkaitan. Ia tidak sekadar ingin menghancurkan lawannya, tetapi juga ingin mengubah sistem yang ia anggap tidak adil.

Namun, caranya yang penuh kekerasan hanya menciptakan lebih banyak musuh, dan pada akhirnya, ia sendiri menjadi target balas dendam orang lain.

Siklus ini terus berulang, menegaskan bahwa dendam bukanlah jalan menuju keadilan, tetapi hanya memperpanjang konflik.

3. Melepaskan Dendam: Jalan yang Lebih Sulit, Tetapi Membebaskan

Salah satu pesan tersirat dalam film ini adalah bahwa membalas dendam bukanlah satu-satunya pilihan.

Meskipun Rin dipenuhi kebencian, ada momen-momen di mana ia meragukan apakah membunuh musuhnya benar-benar akan membuatnya merasa lebih baik.

Manji, yang telah menjalani hidup penuh kekerasan, juga memahami bahwa membunuh bukanlah solusi untuk menghapus luka masa lalu.

Film ini tidak memberikan jawaban pasti, tetapi mengajak kita untuk bertanya: apakah dunia membutuhkan lebih banyak pembalasan, atau lebih banyak keberanian untuk memaafkan dan melepaskan?

Dalam filsafat, Nietzsche pernah berkata bahwa mereka yang melawan monster harus berhati-hati agar tidak menjadi monster itu sendiri.

Dalam Blade of the Immortal, kita melihat bagaimana mereka yang terperangkap dalam dendam perlahan kehilangan diri mereka sendiri, berubah menjadi sesuatu yang dulu mereka benci.

Dendam memang terasa adil dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang, ia sering kali hanya menambah penderitaan.

Penutup: Keadilan yang Sesungguhnya

Melalui perjalanan Rin dan Manji, Blade of the Immortal mengajarkan bahwa keadilan sejati bukanlah tentang membalas dendam, tetapi tentang bagaimana seseorang bisa melepaskan kebencian dan menemukan kedamaian dalam dirinya sendiri.

Dendam mungkin terasa sebagai jalan yang benar, tetapi jika tidak diakhiri, ia hanya akan menjadi rantai yang mengikat seseorang pada masa lalu yang penuh luka.

Maka, apakah keadilan bisa dicapai melalui balas dendam?

Film ini menunjukkan bahwa keadilan sejati bukanlah tentang siapa yang menang atau kalah dalam pertempuran, melainkan tentang siapa yang berani menghentikan siklus kebencian dan memilih jalan yang lebih sulit: memaafkan dan melanjutkan hidup. []

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan