Menjadi Manusia Merdeka: Refleksi atas Pemikiran Erich Fromm
Manusia selalu dihadapkan pada dilema kebebasan. Erich Fromm melihat dua kecenderungan utama: tunduk atau menaklukkan. Sebagian memilih menjadi "domba" yang patuh, sementara yang lain menjadi "serigala" yang agresif. Tetapi, apakah tidak ada pilihan lain? Tulisan ini mengeksplorasi bagaimana manusia bisa keluar dari dua ekstrem ini dan menemukan kebebasan sejati.
Sejak kecil, kita diajarkan untuk menaati aturan. Kita terbiasa mengikuti norma dan mencari rasa aman dalam kepatuhan. Akibatnya, banyak yang takut mengambil keputusan sendiri. Mereka lebih nyaman menjadi "domba," menyerahkan hidup mereka kepada figur otoritas. Dengan begitu, mereka merasa bebas dari tanggung jawab.
Sebaliknya, ada yang menolak tunduk. Mereka melihat dunia sebagai ajang persaingan. Mereka ingin menang, mengendalikan, dan menguasai. Inilah "serigala" yang percaya bahwa bertahan hidup berarti memangsa lebih dulu. Mereka tidak mau diperintah, tetapi ingin memerintah.
Fromm menolak gagasan bahwa manusia hanya punya dua pilihan ini. Ia menawarkan jalan ketiga: kebebasan sejati. Kebebasan yang bukan sekadar lepas dari kontrol orang lain, tetapi kebebasan untuk berpikir sendiri, bertindak dengan tanggung jawab, dan menjalani hidup yang bermakna.
Namun, jalan ini tidak mudah. Kebebasan sejati menuntut keberanian. Ia berarti menghadapi ketidakpastian, menanggung konsekuensi dari pilihan sendiri, dan berani berbeda dari mayoritas. Di masyarakat modern, tantangan ini semakin besar. Media sosial, budaya konsumtif, dan politik populis membuat banyak orang kembali memilih menjadi "domba" atau "serigala."
Lalu, bagaimana cara keluar dari jebakan ini? Fromm menawarkan tiga langkah.
1. Memahami Diri Sendiri
Kebebasan sejati tidak bisa dicapai tanpa kesadaran diri. Banyak orang tunduk kepada otoritas bukan karena mereka benar-benar setuju, tetapi karena mereka takut akan ketidakpastian.
Sebaliknya, ada juga yang agresif bukan karena mereka benar-benar kuat, tetapi karena mereka merasa tidak cukup berharga.
Fromm menekankan bahwa kita perlu menyadari motif di balik tindakan kita. Apakah kita mengikuti aturan karena kita benar-benar meyakininya, atau hanya karena takut dihukum? Apakah kita mendominasi orang lain karena ingin dihormati, atau karena merasa tidak cukup baik tanpa kekuasaan?
Kesadaran ini penting karena sering kali manusia hidup dalam ilusi. Kita berpikir bahwa kita bebas, padahal sesungguhnya kita dikendalikan oleh ketakutan dan ketidaktahuan terhadap diri sendiri. Dengan memahami diri, kita bisa mulai mengambil keputusan yang benar-benar berasal dari keinginan dan nilai kita sendiri, bukan dari tekanan eksternal.
2. Mengembangkan Cinta dan Solidaritas
Fromm berpendapat bahwa cinta adalah kunci kebebasan. Namun, cinta yang dimaksud bukan sekadar perasaan romantis atau kasih sayang yang pasif. Cinta dalam arti Fromm adalah sikap aktif yang menghargai kebebasan orang lain tanpa berusaha menindas atau tunduk.
Banyak orang mengira bahwa mencintai berarti memiliki atau mengontrol. Padahal, cinta sejati adalah tentang memberikan kebebasan. Dalam hubungan yang sehat, tidak ada dominasi atau kepatuhan mutlak. Setiap individu tetap memiliki ruang untuk tumbuh dan berkembang.
Solidaritas juga penting. Manusia bukan makhluk yang bisa hidup sendiri. Namun, keterhubungan yang sehat bukanlah hubungan yang didasarkan pada ketakutan atau ketergantungan berlebihan. Solidaritas sejati terjadi ketika individu-individu yang merdeka saling mendukung, bukan saling mengontrol atau mengeksploitasi.
3. Mengekspresikan Diri
Kebebasan sejati bukan hanya tentang melawan atau mengikuti aturan. Menjadi bebas berarti mampu mencipta dan mengekspresikan diri.
Banyak orang merasa kosong karena mereka hanya menjalani hidup tanpa benar-benar menciptakan sesuatu yang bermakna. Mengekspresikan diri bisa dilakukan melalui seni, pemikiran, pekerjaan, atau kontribusi sosial. Apa pun bentuknya, ekspresi diri ini adalah wujud dari keberadaan yang autentik.
Individu yang bebas tidak sekadar menerima hidup sebagaimana adanya, tetapi juga berusaha memberi makna pada hidupnya. Ia tidak sekadar mengikuti tren atau melawan sistem, tetapi menciptakan sesuatu yang benar-benar berasal dari dirinya sendiri.
Sebagai penutup, pada akhirnya, manusia tidak harus memilih antara menjadi domba yang tunduk atau serigala yang menaklukkan. Ada pilihan lain: menjadi manusia yang sepenuhnya sadar, bertanggung jawab, dan merdeka. Kebebasan sejati bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Ia adalah sesuatu yang harus dipelajari, dijalani, dan dirayakan.[]