Menolak Menyerah pada Ketidakpastian: Belajar dari Albert Camus
Oleh: Arizul Suwar
Di zaman ini, hidup seolah bergerak tanpa kepastian. Pandemi datang tanpa aba-aba, merenggut jutaan nyawa, lalu pergi meninggalkan ketakutan yang tak sepenuhnya sirna.
Ekonomi yang tak menentu membuat banyak orang ragu apakah esok mereka masih bisa bertahan.
Perubahan iklim semakin nyata, namun seakan-akan tidak ada yang benar-benar peduli.
Dalam dunia yang seperti ini, apa yang bisa dilakukan manusia? Haruskah kita menyerah pada absurditas keadaan, menerima segalanya dengan pasrah? Ataukah masih ada alasan bagi kita untuk tetap bertindak, meskipun hasil akhirnya tak pernah bisa dijamin?
Albert Camus, seorang filsuf eksistensialis, pernah menyinggung kebingungan ini dalam karyanya. Baginya, dunia memang tidak menawarkan kepastian atau makna yang bisa diberikan begitu saja kepada manusia. Segala yang kita upayakan mungkin berakhir sia-sia.
Namun, ketidaksempurnaan dan absurditas bukan alasan untuk berhenti. Justru di sanalah letak kebebasan kita: memilih untuk tetap bertindak, meskipun kita tahu tidak ada jaminan akan berhasil.
Di dalam novel La Peste (Sampar), Camus menghadirkan sosok Dokter Rieux, seorang yang berada di tengah-tengah kehancuran, dikelilingi oleh wabah yang tidak bisa ia hentikan.
Kota Oran, tempat ia tinggal, mendadak terisolasi.
Orang-orang mati satu per satu, dan tidak ada yang tahu kapan bencana ini akan berakhir.
Tidak ada obat, tidak ada harapan yang bisa dijual dengan mudah.
Tapi Rieux tidak diam. Ia menyingsingkan lengan bajunya, bekerja sepanjang malam di rumah sakit yang penuh sesak, mencoba menyelamatkan nyawa meskipun ia tahu, pada akhirnya, kematian tetap akan menang.
Ketika seorang rekannya bertanya mengapa ia terus berjuang, Rieux tidak memberikan jawaban yang heroik. Ia tidak bicara tentang kebajikan, harapan, atau kemenangan. Ia hanya berkata, “Karena itu tugas saya.” Kata-kata itu sederhana, tapi di dalamnya tersimpan makna mendalam.
Camus ingin menunjukkan bahwa manusia tidak perlu sebuah alasan transenden untuk bertindak. Kita tidak harus dijanjikan surga atau kemenangan akhir untuk melakukan sesuatu yang benar. Kita hanya perlu memahami bahwa dalam menghadapi absurditas, perlawanan kita sendiri sudah cukup.
Inilah yang membuat pemikiran Camus begitu relevan. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, kita bisa memilih untuk menyerah atau bertindak. Kita bisa menjadi seperti mereka yang pasrah pada keadaan, membiarkan penderitaan terus terjadi tanpa perlawanan. Atau kita bisa seperti Rieux—tetap bertindak meskipun kita tahu bahwa perjuangan ini mungkin takkan pernah benar-benar berakhir.
Mungkin inilah yang membuat kisah Rieux begitu kuat. Ia bukan pahlawan dalam arti klasik. Ia tidak berusaha menyelamatkan dunia, tidak mengharapkan pujian, dan tidak mencari makna di luar dirinya. Ia hanya melakukan apa yang harus dilakukan, bukan karena ia berharap menang, tetapi karena ia menolak untuk kalah. Dan dalam keteguhan seperti itulah, manusia menemukan kebebasannya yang sejati.
Kita mungkin tidak hidup di Oran yang dikepung wabah, tetapi kita semua menghadapi absurditas dalam bentuk yang berbeda.
Ketidakpastian pekerjaan, ketakutan akan masa depan, kebingungan tentang makna hidup—semua ini adalah sampar modern yang menguji keteguhan kita.
Camus mengajarkan bahwa tidak ada jawaban pasti atas penderitaan, tetapi ada satu hal yang bisa kita lakukan: menolak menyerah. Seperti Rieux, kita bisa memilih untuk bertindak, bukan karena kita dijamin akan menang, tetapi karena dalam perlawanan itu sendiri, kita benar-benar hidup.[]