Antara Bukowski, Camus, dan Nietzsche: Menari di Atas Absurd
![]() |
Gambar ilustrasi dibuat dengan AI |
Oleh: Arizul Suwar
Pendahuluan
Sejak kecil, kita diajarkan bahwa kerja keras adalah kunci kesuksesan. "Kalau mau berhasil, kamu harus berusaha lebih keras," kata guru di sekolah, orang tua di rumah, dan hampir semua motivator di luar sana.
Pesannya sederhana: semakin besar usaha, semakin besar hasil yang akan didapat. Tapi, apakah benar selalu begitu?
Kenyataan sering kali tidak sejalan dengan teori. Ada orang yang bekerja mati-matian tetapi tetap gagal, sementara ada yang tampak santai dan malah mencapai lebih banyak.
Tidak sedikit orang yang menua dalam kegagalan, meskipun mereka telah memberikan segalanya.
Di sisi lain, ada pula yang tampaknya "beruntung" tanpa banyak usaha. Jika memang kerja keras menjamin kesuksesan, mengapa ada begitu banyak ketimpangan dalam hasil?
Dalam puisinya yang terkenal, So You Want to Be a Writer?, ia menulis, "Jangan mencoba." Namun, kalimat ini bukan ajakan untuk menyerah, melainkan sindiran terhadap mereka yang memaksakan diri melakukan sesuatu tanpa gairah sejati.
Menurut Bukowski, kita terlalu sering terjebak dalam ilusi bahwa kerja keras pasti membawa kesuksesan. Padahal, dunia tidak selalu berjalan seperti itu.
"Jangan mencoba" adalah ekspresi ketidakpercayaannya terhadap mentalitas kerja keras sebagai satu-satunya jalan menuju keberhasilan.
Ia percaya bahwa yang terbaik dalam hidup bukanlah hasil dari paksaan, tetapi dari dorongan alami yang datang dari dalam diri.
Namun, ini bukan berarti Bukowski seorang fatalis yang pasrah pada nasib. Dalam hidupnya, ia menjalani berbagai pekerjaan kasar sebelum akhirnya menemukan jalannya sebagai penulis.
Bukowski tetap menulis—bukan demi kesuksesan, tetapi karena menulis adalah bagian dari dirinya. Ia mengabaikan standar konvensional tentang keberhasilan dan tetap berkarya tanpa terbebani harapan akan pengakuan atau penghargaan.
Tentu saja, mengikuti Bukowski secara ekstrem dapat berisiko membawa seseorang pada sikap pasif.
Jika kita hanya menunggu sesuatu terjadi tanpa pernah berusaha, kita bisa terjebak dalam ketidakberdayaan. Di sinilah pemikiran Camus menawarkan perspektif lain.
Dalam bukunya The Myth of Sisyphus, ia memperkenalkan Sisifus, tokoh dalam mitologi Yunani yang dikutuk untuk mendorong batu ke puncak gunung hanya agar batu itu jatuh kembali.
Ini adalah kerja keras yang tidak pernah membuahkan hasil—sebuah kehidupan yang, dalam logika manusia, tampak sia-sia.
Namun, di sinilah letak kejeniusan Camus: ia mengandaikan bahwa Sisifus bahagia. Mengapa? Karena ia menerima absurditas hidupnya tanpa berusaha melarikan diri ke dalam ilusi makna yang transenden.
Ia tidak menggantungkan kebahagiaannya pada hasil akhir, tetapi justru menemukan kebebasan dalam tindakan itu sendiri.
Bagi Camus, pemberontakan terhadap absurditas bukan berarti menyerah atau berhenti berusaha, tetapi kesadaran bahwa usaha kita mungkin tidak akan membawa kita ke tempat yang kita inginkan, dan itu tidak masalah.
Hidup memang tidak masuk akal, tetapi kita tetap bisa menjalaninya dengan penuh gairah. Kita bisa menemukan kebahagiaan dalam perjuangan itu sendiri, bukan pada hasil akhirnya.
Namun, apakah cukup hanya menerima absurditas? Jika kita hanya menerima tanpa bertindak, bukankah itu bisa menjadi bentuk kepasrahan yang lain? Nietzsche menawarkan solusi atas dilema ini.
Nietzsche menolak gagasan bahwa hidup harus memiliki makna yang sudah jadi. Baginya, makna bukanlah sesuatu yang ditemukan, tetapi sesuatu yang diciptakan.
Ia memperkenalkan konsep Will to Power—kehendak untuk terus berkembang, melampaui diri sendiri, dan menciptakan nilai-nilai baru, bukan sekadar menerima dunia sebagaimana adanya.
Nietzsche juga memperkenalkan konsep Übermensch (Manusia Unggul), yaitu sosok yang tidak hanya menerima absurditas hidup, tetapi menggunakannya sebagai bahan bakar untuk melampaui batas-batas yang ada.
Ia tidak menyerah pada nihilisme, tetapi justru menjadikannya pijakan untuk menciptakan makna dan nilai bagi dirinya sendiri.
Dalam konteks ini, Nietzsche menawarkan jalan keluar dari paradoks antara usaha dan hasil.
Ia tidak menyuruh kita untuk berhenti mencoba seperti Bukowski, dan juga tidak sekadar menerima absurditas seperti Camus.
Sebaliknya, ia mengajak kita untuk mengambil alih kendali atas kehidupan kita sendiri—untuk tetap bergerak, tetap berusaha, tetapi bukan demi jaminan kesuksesan, melainkan demi perayaan terhadap kehidupan itu sendiri.
Kita tidak harus memaksakan diri pada ilusi bahwa semua kerja keras akan berbuah manis, tetapi juga tidak perlu terjebak dalam keputusasaan.
Kita bisa tetap bergerak, bukan karena yakin akan hasilnya, tetapi karena ada sesuatu yang berharga dalam perjalanan itu sendiri.
Kita bisa tetap mencoba, tetapi tanpa mengikatkan kebahagiaan kita pada hasil akhir.
Seperti seorang seniman yang melukis tanpa memikirkan apakah karyanya akan laku, seperti seorang pendaki yang mendaki bukan untuk puncak tetapi untuk perjalanan itu sendiri—begitulah cara kita bisa menghadapi absurditas tanpa kehilangan makna.
Nietzsche tidak menolak absurditas, tetapi ia juga tidak menyerah padanya. Alih-alih hanya menerima absurditas, kita juga bisa menari di atasnya.
Bukowski mengingatkan kita untuk tidak memaksakan sesuatu yang tidak datang dengan sendirinya, Camus mengajarkan kita untuk menerima hidup sebagaimana adanya, dan Nietzsche menantang kita untuk menciptakan makna kita sendiri.
Mungkin, kebebasan sejati ada di tengah-tengah: ketika kita tetap bergerak, tetap berusaha, tetapi tanpa beban ekspektasi yang berat. Ketika kita bisa menertawakan absurditas, dan tetap memilih untuk hidup dengan cara kita sendiri. Bukan demi kepastian, tetapi demi perjalanan itu sendiri.[]
Pesannya sederhana: semakin besar usaha, semakin besar hasil yang akan didapat. Tapi, apakah benar selalu begitu?
Kenyataan sering kali tidak sejalan dengan teori. Ada orang yang bekerja mati-matian tetapi tetap gagal, sementara ada yang tampak santai dan malah mencapai lebih banyak.
Tidak sedikit orang yang menua dalam kegagalan, meskipun mereka telah memberikan segalanya.
Di sisi lain, ada pula yang tampaknya "beruntung" tanpa banyak usaha. Jika memang kerja keras menjamin kesuksesan, mengapa ada begitu banyak ketimpangan dalam hasil?
Esai ini ingin menelusuri paradoks antara usaha dan hasil dengan bertumpu pada tiga pemikir yang, dalam cara mereka masing-masing, menertawakan kepastian hidup: Charles Bukowski, Albert Camus, dan Friedrich Nietzsche.Bukowski mencemooh gagasan bahwa usaha selalu berbuah hasil, Camus mengajak kita menerima absurditas hidup, dan Nietzsche menawarkan jalan untuk terus menjadi tanpa terjebak dalam nihilisme.
Bukowski dan Ilusi Kesuksesan
Bukowski, seorang penyair yang dikenal dengan gaya hidup berantakan dan sinisme tajam, tidak percaya pada janji-janji besar tentang kesuksesan.Dalam puisinya yang terkenal, So You Want to Be a Writer?, ia menulis, "Jangan mencoba." Namun, kalimat ini bukan ajakan untuk menyerah, melainkan sindiran terhadap mereka yang memaksakan diri melakukan sesuatu tanpa gairah sejati.
Menurut Bukowski, kita terlalu sering terjebak dalam ilusi bahwa kerja keras pasti membawa kesuksesan. Padahal, dunia tidak selalu berjalan seperti itu.
"Jangan mencoba" adalah ekspresi ketidakpercayaannya terhadap mentalitas kerja keras sebagai satu-satunya jalan menuju keberhasilan.
Ia percaya bahwa yang terbaik dalam hidup bukanlah hasil dari paksaan, tetapi dari dorongan alami yang datang dari dalam diri.
Namun, ini bukan berarti Bukowski seorang fatalis yang pasrah pada nasib. Dalam hidupnya, ia menjalani berbagai pekerjaan kasar sebelum akhirnya menemukan jalannya sebagai penulis.
Bukowski tetap menulis—bukan demi kesuksesan, tetapi karena menulis adalah bagian dari dirinya. Ia mengabaikan standar konvensional tentang keberhasilan dan tetap berkarya tanpa terbebani harapan akan pengakuan atau penghargaan.
Tentu saja, mengikuti Bukowski secara ekstrem dapat berisiko membawa seseorang pada sikap pasif.
Jika kita hanya menunggu sesuatu terjadi tanpa pernah berusaha, kita bisa terjebak dalam ketidakberdayaan. Di sinilah pemikiran Camus menawarkan perspektif lain.
Camus dan Penerimaan Absurditas
Albert Camus melihat dunia sebagai tempat yang absurd—sebuah tempat di mana kita mencari makna, tetapi tidak pernah menemukannya.Dalam bukunya The Myth of Sisyphus, ia memperkenalkan Sisifus, tokoh dalam mitologi Yunani yang dikutuk untuk mendorong batu ke puncak gunung hanya agar batu itu jatuh kembali.
Ini adalah kerja keras yang tidak pernah membuahkan hasil—sebuah kehidupan yang, dalam logika manusia, tampak sia-sia.
Namun, di sinilah letak kejeniusan Camus: ia mengandaikan bahwa Sisifus bahagia. Mengapa? Karena ia menerima absurditas hidupnya tanpa berusaha melarikan diri ke dalam ilusi makna yang transenden.
Ia tidak menggantungkan kebahagiaannya pada hasil akhir, tetapi justru menemukan kebebasan dalam tindakan itu sendiri.
Bagi Camus, pemberontakan terhadap absurditas bukan berarti menyerah atau berhenti berusaha, tetapi kesadaran bahwa usaha kita mungkin tidak akan membawa kita ke tempat yang kita inginkan, dan itu tidak masalah.
Hidup memang tidak masuk akal, tetapi kita tetap bisa menjalaninya dengan penuh gairah. Kita bisa menemukan kebahagiaan dalam perjuangan itu sendiri, bukan pada hasil akhirnya.
Namun, apakah cukup hanya menerima absurditas? Jika kita hanya menerima tanpa bertindak, bukankah itu bisa menjadi bentuk kepasrahan yang lain? Nietzsche menawarkan solusi atas dilema ini.
Nietzsche dan Jalan Keluar dari Nihilisme
Jika Bukowski mengkritik obsesi terhadap usaha dan hasil, dan Camus mengajak kita menerima absurditas, Nietzsche menawarkan elemen yang hilang: kehendak untuk berkuasa (Will to Power).Nietzsche menolak gagasan bahwa hidup harus memiliki makna yang sudah jadi. Baginya, makna bukanlah sesuatu yang ditemukan, tetapi sesuatu yang diciptakan.
Ia memperkenalkan konsep Will to Power—kehendak untuk terus berkembang, melampaui diri sendiri, dan menciptakan nilai-nilai baru, bukan sekadar menerima dunia sebagaimana adanya.
Nietzsche juga memperkenalkan konsep Übermensch (Manusia Unggul), yaitu sosok yang tidak hanya menerima absurditas hidup, tetapi menggunakannya sebagai bahan bakar untuk melampaui batas-batas yang ada.
Ia tidak menyerah pada nihilisme, tetapi justru menjadikannya pijakan untuk menciptakan makna dan nilai bagi dirinya sendiri.
Dalam konteks ini, Nietzsche menawarkan jalan keluar dari paradoks antara usaha dan hasil.
Ia tidak menyuruh kita untuk berhenti mencoba seperti Bukowski, dan juga tidak sekadar menerima absurditas seperti Camus.
Sebaliknya, ia mengajak kita untuk mengambil alih kendali atas kehidupan kita sendiri—untuk tetap bergerak, tetap berusaha, tetapi bukan demi jaminan kesuksesan, melainkan demi perayaan terhadap kehidupan itu sendiri.
Menari di Atas Absurd
Maka, berselancar di antara Bukowski, Camus, dan Nietzsche mungkin adalah pilihan terbaik.Kita tidak harus memaksakan diri pada ilusi bahwa semua kerja keras akan berbuah manis, tetapi juga tidak perlu terjebak dalam keputusasaan.
Kita bisa tetap bergerak, bukan karena yakin akan hasilnya, tetapi karena ada sesuatu yang berharga dalam perjalanan itu sendiri.
Kita bisa tetap mencoba, tetapi tanpa mengikatkan kebahagiaan kita pada hasil akhir.
Seperti seorang seniman yang melukis tanpa memikirkan apakah karyanya akan laku, seperti seorang pendaki yang mendaki bukan untuk puncak tetapi untuk perjalanan itu sendiri—begitulah cara kita bisa menghadapi absurditas tanpa kehilangan makna.
Nietzsche tidak menolak absurditas, tetapi ia juga tidak menyerah padanya. Alih-alih hanya menerima absurditas, kita juga bisa menari di atasnya.
Penutup
Hidup tidak selalu tentang menang atau kalah. Ada ruang untuk menikmati ketidakpastian, untuk menerima bahwa tidak semua usaha akan menghasilkan sesuatu yang kita harapkan.Bukowski mengingatkan kita untuk tidak memaksakan sesuatu yang tidak datang dengan sendirinya, Camus mengajarkan kita untuk menerima hidup sebagaimana adanya, dan Nietzsche menantang kita untuk menciptakan makna kita sendiri.
Mungkin, kebebasan sejati ada di tengah-tengah: ketika kita tetap bergerak, tetap berusaha, tetapi tanpa beban ekspektasi yang berat. Ketika kita bisa menertawakan absurditas, dan tetap memilih untuk hidup dengan cara kita sendiri. Bukan demi kepastian, tetapi demi perjalanan itu sendiri.[]