Antara Kesombongan dan Kesepian: Mengapa Kita Mendamba Pujian?

Ilustrasi bergaya realis menunjukkan Pangeran Cilik berdiri di hadapan seorang pria sombong bertopi tinggi di atas planet mungil. Pria tersebut berdiri dengan angkuh, tangan di dada, sementara Pangeran Cilik menatapnya dengan ekspresi heran dan polos. Latar belakang menggambarkan langit luas dan bintang-bintang, menekankan suasana luar angkasa dan kesendirian sang pria.
Di suatu sudut kecil alam semesta, Pangeran Cilik mendarat di sebuah planet mungil yang dihuni oleh pria sombong mengenakan topi tinggi, dengan kepercayaan diri yang menjulang bak menara. Begitu melihat kedatangan tamu kecil itu, ia langsung berseru dengan penuh semangat

“Ah, ah, inilah berkunjung seorang pengagum!”

Bagi orang sombong, kehadiran orang lain selalu dianggap sebagai pengakuan. Mereka tidak mengenali keberadaan orang lain sebagai individu yang bebas berpikir dan merasakan, tetapi hanya sebagai cermin untuk memantulkan kebesaran dirinya.

"Sebab bagi orang-orang sombong, semua orang lain adalah pengagumnya."

Kesombongan memiliki cara licik dalam menipu kesadaran. Ia membuat seseorang merasa agung di atas panggung, padahal panggung itu hanya ada dalam kepalanya. Ia membuat orang meyakini bahwa ia dikagumi, bahkan ketika tak ada siapa pun yang benar-benar peduli.

Pangeran Cilik, seperti biasa, mencoba memahami. Ia ikut bermain dalam permainan kecil pria itu, memberi tepuk tangan saat disuruh, menonton sang pria membungkuk dengan elegan. Namun dalam lima menit, rasa jenuh menyergap.

"Setelah bermain-main demikian selama lima menit, Pangeran Cilik merasa jenuh."
“Dan apa yang harus dilakukan agar topi itu jatuh?” tanya Pangeran Cilik.


Sebuah pertanyaan sederhana yang justru memperlihatkan keanehan situasi itu. Namun, seperti yang sering terjadi pada orang yang hanya ingin mendengar pujian, pertanyaan itu tidak pernah sampai pada telinga tujuannya.

"Tetapi orang sombong tidak mendengarnya. Orang-orang sombong hanya mendengar pujian semata."

Inilah salah satu tragedi kesombongan: ia menulikan. Dalam keasyikan menerima pujian, mereka menjadi tuli terhadap suara yang tidak mengandung sanjungan. Padahal, kehidupan terdiri dari beragam suara—pertanyaan, kritik, gurauan, bahkan keheningan. Sayangnya, semua itu tidak terdengar ketika yang dicari hanyalah pengakuan belaka.

Dalam psikologi, kesombongan sering dikaitkan dengan mekanisme pertahanan diri. Menurut Alfred Adler, individu yang merasa inferior akan berusaha menutupi perasaannya dengan membangun superioritas palsu. Pria dengan topi tinggi itu mungkin hanyalah cermin dari manusia yang merasa kecil di dalam, tapi ingin tampak besar di luar.

Filsuf Prancis, Jean-Paul Sartre, juga pernah menulis bahwa "neraka adalah orang lain." Namun dalam kasus pria sombong ini, "surga adalah pengakuan dari orang lain." Ketiadaan pengakuan membuatnya terjebak dalam neraka kesendirian yang ia tolak akui.

Tak lama kemudian, pria itu bertanya dengan nada penuh harap:

“Apakah kamu benar-benar mengagumiku?”

Pangeran Cilik menjawab dengan polos, “Apa artinya mengagumi?” Dan dari sanalah kita menyaksikan absurditas dunia orang sombong.

“Mengagumi artinya mengakui bahwa aku orang yang paling tampan, berpakaian paling bagus, paling kaya, dan paling pandai di planet ini.”
“Tapi kamu sendirian saja di planetmu!”
“Berbaik hatilah, kagumilah aku juga!”

Lucu, sekaligus menyedihkan. Di balik tuntutan untuk dikagumi, tersembunyi kegetiran yang dalam: kesepian. Ia berdiri sendiri di planet kecil itu, tanpa siapa-siapa, namun masih ingin dipuja. Ia tak punya saingan, tak punya penonton, tapi tetap ingin merasa lebih dari yang lain. Bahkan, dalam kesendirian pun, orang sombong tetap haus akan pujian.

Realitas ini sangat relevan dengan zaman kita hari ini. Di media sosial, manusia bisa dengan mudah menjadi seperti pria sombong itu: berdiri di panggung digital, berharap sorak-sorai dari penonton maya. Kita menata tampilan, memilih kata, menciptakan citra demi sebuah pengakuan.

Dalam proses itu, relasi antar manusia berubah menjadi cermin satu arah. Kita tak benar-benar melihat orang lain sebagai pribadi, melainkan sebagai alat ukur untuk mengukur validitas diri kita sendiri. “Apakah aku cukup menarik? Apakah aku cukup dikagumi?” Padahal, relasi yang sehat bukan tentang siapa yang lebih dikagumi, melainkan siapa yang mau saling memahami.

Inilah pelajaran dari perjumpaan Pangeran Cilik dengan sang sombong: bahwa kesombongan kadang tidak lahir dari kelebihan, tapi dari kekosongan. Dari kesepian yang tidak diakui. Dari ketakutan bahwa tanpa adanya pengakuan orang lain, dirinya tak berarti apa-apa.

Namun kekaguman sejati tak pernah bisa diminta. Ia tumbuh dari keaslian, bukan dari paksaan. Dan mungkin, yang paling kita butuhkan dalam hidup ini bukanlah dikagumi, tetapi dipahami. Bukan dipuja, tetapi diterima—terutama oleh diri kita sendiri.

Seperti Pangeran Cilik, kita juga perlu belajar diam sejenak—untuk tidak sekadar menepuk tangan bagi topi-topi tinggi, tetapi bertanya: "Apa artinya mengagumi?" Dan lebih dari itu, bertanya kepada diri sendiri: "Untuk siapa sebenarnya semua ini kita lakukan?"

BrenĂ© Brown, peneliti tentang kerentanan dan keberanian, pernah berkata, “True belonging doesn’t require you to change who you are; it requires you to be who you are.” Mungkin yang kita butuhkan bukanlah dikagumi oleh dunia, tetapi diterima oleh hati kita sendiri. Dan di situlah letak kebebasan sejati—ketika kita tak lagi butuh topi tinggi untuk merasa berarti.[]

Penulis: Arizul Suwar
Ilustrasi: Pangeran Cilik dan Pria Sombong di Planet Kecil/dibuat dengan AI
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan