Fasih Revolusi Industri, Gagap Pasang Gas Elpiji

Ilustrasi digital bergaya flat menunjukkan dua dunia berbeda—di satu sisi siswa belajar teori revolusi industri di kelas, di sisi lain seorang dewasa bingung memasang tabung gas elpiji di dapur.
Kita menghabiskan umur bertahun-tahun di bangku sekolah, mempelajari sejarah, sains, geografi, sosiologi, hingga matematika. Namun begitu lulus dan masuk ke dunia nyata, pertanyaan-pertanyaan mendasar justru muncul: mengapa kita tidak tahu cara memasak makanan yang kita makan setiap hari, atau menyetrika baju yang kita kenakan?
 
Dalam semangat kritik Ivan Illich dalam Deschooling Society, pendidikan formal terlalu menekankan hafalan konsep-konsep teoretis—seperti mitokondria—namun abai terhadap keterampilan hidup sederhana, seperti membaca label nutrisi pada kemasan makanan. Kita fasih menjelaskan teori revolusi industri, tapi bingung saat harus memasang gas elpiji. Kita bisa berdebat soal siklus air di atmosfer, tapi gagap mencuci baju yang luntur.
 
John Taylor Gatto, seorang guru yang frustrasi dengan sistem pendidikan, menyebut ini sebagai "pencurian waktu dan potensi"—sekolah lebih banyak mengajarkan kepatuhan daripada kemandirian.
 
Hal-hal paling mendasar yang kita butuhkan untuk hidup sehari-hari—seperti cara menyetrika baju, mengupas nanas, atau mengatur pengeluaran agar tak lebih besar pasak daripada tiang—justru terasa asing dan menyulitkan. Padahal bukankah pendidikan seharusnya membekali kita dengan kemampuan untuk hidup mandiri dan bertanggung jawab?
 
Setelah lulus, kita sering merasa tidak siap. Kita tahu teori, tapi tidak tahu praktik. Banyak hal praktis tidak pernah disentuh di kelas. Dan jika sekolah gagal mempersiapkan kita untuk hidup, dunia kerja justru memperparah keadaan.
 
David Graeber, dalam Bullshit Jobs, menggambarkan betapa banyak pekerjaan modern hanyalah "ritual tanpa makna"—rapat berjam-jam tanpa keputusan, laporan yang tak dibaca siapa pun, proyek yang mati sebelum diimplementasikan.
 
Ingatan kita tentang masa sekolah pun lebih sering dipenuhi rasa bosan ketimbang rasa ingin tahu. Yang teringat bukan keseruan bereksperimen atau berkreasi, melainkan tumpukan hafalan dan ulangan yang terasa tak berujung. Kita belajar untuk menjawab soal, bukan untuk menjawab tantangan hidup. Banyak pelajaran terasa penting hanya di atas kertas, namun tak berguna di luar pagar sekolah.
 
Matthew B. Crawford, seorang mekanik sekaligus filsuf, pernah membandingkan kepuasan seorang tukang kayu yang bisa melihat hasil karyanya dengan pekerja kantoran yang hanya meninggalkan jejak digital. Kita kehilangan kebanggaan mencipta, menurutnya. Yang tersisa hanyalah kelelahan setelah seharian menggerakkan mouse di layar.
 
Dan keganjilan itu tidak berhenti di sekolah. Dunia kerja menyimpan ironi serupa. Banyak dari kita menjalani pekerjaan yang tak berkaitan dengan proses mencipta atau memproduksi sesuatu yang nyata. Kita duduk berjam-jam dalam rapat yang membosankan, menulis memo yang jarang dibaca, atau larut dalam sesi curah pendapat yang tak kunjung menghasilkan keputusan konkret. Kita sibuk menyusun strategi, tapi keputusan penting biasanya dibuat oleh orang lain.
 
Di ujung rantai ini, AndrĂ© Gorz dalam Critique ofEconomic Reason mengungkapkan paradoks yang kejam: Kita menjual waktu untuk membeli kebebasan, tapi kebebasan itu hanya kita gunakan untuk memulihkan diri sebelum kembali menjual waktu. Byung-Chul Han menyebutnya sebagai "masyarakat kelelahan"—kita seperti tikus dalam roda, berlari semakin cepat hanya untuk tetap di tempat yang sama.
 
Bayangkan seorang pekerja kantoran yang setiap hari berangkat pukul tujuh pagi dan pulang pukul delapan malam. Gaji bulanannya ia gunakan untuk membayar cicilan rumah, kendaraan, biaya makan, dan sesekali liburan singkat. Namun liburan itu pun sering diisi dengan tidur panjang dan mencoba melupakan kelelahan. Waktu luangnya terbatas, dan ketika ia memiliki sedikit jeda, tubuh dan pikirannya sudah terlalu lelah untuk menikmati kebebasan itu secara utuh. Hari Senin pun datang lagi, dan ia kembali ke rutinitas yang sama, mengorbankan waktu demi penghasilan, demi kebebasan yang tak pernah sungguh-sungguh hadir.
 
Dalam kondisi seperti ini, kita mulai kehilangan rasa memiliki terhadap apa yang kita kerjakan. Tak ada produk nyata yang bisa kita tunjuk dengan bangga dan berkata, "Ini hasil kerjaku." Keterampilan kita tidak benar-benar terasah, dan pekerjaan yang kita lakukan semakin terasa abstrak—sekadar rutinitas demi gaji setiap akhir bulan.
 
Pendidikan yang panjang dan pekerjaan bergengsi pun tak menjamin kepuasan. Alain de Botton dalam The Pleasures and Sorrows of Work menceritakan tentang para profesional—bankir, konsultan, eksekutif—yang justru merasa terasing dari pekerjaan mereka sendiri. Meskipun mereka dibayar tinggi, seperti pandangan de Botton, Gaji yang besar tak pernah cukup untuk mengganti rasa sia-sia yang muncul ketika kau tak lagi mengerti apa nilai dari apa yang kita kerjakan.
 
Akhirnya, kita bekerja bukan karena cinta pada pekerjaan itu sendiri, tapi demi uang. Uang yang semoga cukup untuk membeli waktu libur, tempat pelarian dari pekerjaan yang melelahkan dan terasa hampa. Kita menunggu akhir pekan seolah hidup hanya layak dijalani dua hari dalam seminggu. Ironisnya, pendidikan yang panjang dan pekerjaan bergengsi belum tentu memberi rasa puas atau kebermaknaan.
 
Dunia yang kita hidupi saat ini penuh dengan ironi. Seperti yang dikritik oleh David Graeber dalam Bullshit Jobs: A Theory, banyak dari kita terjebak dalam pekerjaan yang tidak benar-benar menghasilkan sesuatu yang nyata—pekerjaan yang bahkan kita sendiri sulit membela urgensi atau manfaatnya.
 
Kita menghabiskan berjam-jam dalam rapat yang berputar-putar tanpa keputusan, menulis memo yang jarang dibaca, atau terjebak dalam sesi brainstorming tanpa tindak lanjut. Graeber menyebut ini sebagai "pekerjaan omong kosong" (bullshit jobs), di mana orang tetap dibayar bukan karena kontribusi riil, tetapi karena memenuhi ritual birokrasi korporat.
 
Matthew B. Crawford, dalam Shop Class as Soulcraft, mengamati bahwa pekerjaan modern semakin abstrak dan teralienasi. Dulu, seorang tukang kayu bisa langsung melihat hasil tangannya: sebuah meja, lemari, atau rumah. Sekarang? Kita hanya menghasilkan slide presentasi, laporan Excel, atau email berantai yang menguap begitu dikirim.
 
Crawford berargumen bahwa pekerjaan tangan (manual labor) justru lebih memuaskan karena memberi kepastian: ada objek nyata yang bisa kita sentuh dan banggakan. Sementara pekerjaan kantoran sering kali membuat kita bertanya, "Apa sebenarnya yang sudah kukerjakan hari ini?"
 
Dalam kondisi seperti ini, seperti yang diingatkan oleh AndrĂ© Gorz, kerja tak lagi menjadi sarana aktualisasi diri, melainkan sekadar alat untuk mendapatkan uang. Kita bekerja bukan karena mencintai apa yang kita lakukan, melainkan karena terpaksa—uang itu nantinya akan membeli kebebasan semu: liburan akhir pekan, belanja online, atau pelarian sementara melalui hiburan.
 
Byung-Chul Han, dalam The Burnout Society, menyebut ini sebagai logika self-exploitation: kita menghukum diri sendiri dengan kerja tak bermakna, lalu mencari pelarian melalui konsumsi, yang pada akhirnya hanya mengembalikan kita ke siklus lelah yang sama.
 
Kita terjebak dalam paradoks: bekerja untuk hidup, tapi justru merasa tidak benar-benar hidup ketika bekerja. Kita menanti akhir pekan seolah hidup hanya layak dijalani dua hari dalam seminggu. Mungkin kita telah mengubah kerja dari aktivitas manusiawi menjadi semacam kultus—sebuah kepercayaan yang kita yakini tanpa pernah benar-benar mempertanyakan mengapa kita melakukannya.
 
Betapa ironisnya: uang yang kita cari dengan susah payah justru ingin kita habiskan untuk berlari sejenak dari pekerjaan yang menjadi tempat kita mencarinya. Kita menukar waktu dan energi demi penghasilan, lalu menggunakan penghasilan itu untuk melupakan sejenak beban pekerjaan. Hidup terasa seperti lingkaran tanpa ujung—bekerja untuk berlibur, dan berlibur agar kuat kembali bekerja.
 
Penulis: Arizul Suwar
Ilustrasi:Antara Revolusi Industri dan Gas Elpiji: Ironi Pendidikan Modern/dibuat dengan AI
Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan